Alumnus jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Muhammadiyah, Yogyakarta ini mencontohkan jempol. Kita sering tidak menyadari bahwa jempol adalah anugerah atau musibah.Â
Jempol bisa digunakan untuk mengetik, mengklik, like, dan berkomentar dengan kebencian kepada orang lain yang belum kita kenal sepenuhnya.
Sebab itu, untuk menumbuhkan dan memupuk "rasa" menurut Joni, dibutuhkan bacaan yang banyak. Di saat di mana tingkat baca masih relatif rendah, generasi kita terdorong beralih ke audio visual, sosial media.Â
"Dan itu semacam dopamin, wujud narkoba yang membuat denyar-denyar kesenangan. Ketika dihadapkan kepada teks, ruwet itu sudah. Susah."
Sang rawi perlahan meredup, mengisyaratkan Ngobrol Pintar Ramadan harus ditutup. Bunga Kitolod yang tadinya mekar dengan anggun, kini mulai tertutup. Bunga putih dari tumbuhan babadotan pun tak lagi terlihat menjendul, sayup-sayup.
Di atas meja kayu sederhana, sudah tersaji semangka merah merekah, siap dinikmati untuk melepas dahaga dan lelah. Kacang rebus, ubi, dan gorengan, teh panas, dan kopi hitam. Suara kumandang azan magrib bergema, berirama indah diiringi gemericik air selokan dari pohon kihujan terus mengalir dengan riang.
Setelah berbuka melahap kudapan, setelah salat magrib ditunaikan, satu persatu peserta mulai berarak pulang hingga hanya saya dan Joni Ariadinata yang masih melanjutkan obrolan [mhg].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H