Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Author

Hidup adalah perpaduan cinta, tawa, dan luka. Menulis menjadi cara terbaik untuk merangkai ketiganya.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Menjadi Proaktif di Kompasiana: Mengapa Penting dan Bagaimana Melakukannya?

18 Maret 2024   19:19 Diperbarui: 18 Maret 2024   19:23 1274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jay Akhmad memandu Kelas 7 Habits. Foto: Dokumentasi oleh Siva 

Kompasianer, pernahkah kamu merasa terjebak dalam siklus "latah" di media sosial? Terpancing berkomentar pedas tanpa dipikir panjang, atau tergoda untuk "ikut-ikutan" tren tanpa tujuan jelas? Atau terburu-buru menulis artikel di tajuk Ramadan Bercerita Kompasiana demi hadiah?

Jika ya, kamu tidak sendirian. Banyak orang terjebak dalam pola reaktif, merespons stimulus tanpa kesadaran dan kehendak bebas. Maksudnya bagaimana Mahng?

Tenang, jangan reaktif, dalam artikel ini kita akan bahas!

Dalam risalah ini, kita akan mengupas habit pertama dalam buku The 7 Habits of Highly Effective People  (7 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif)  karya Stephen Covey: menjadi proaktif.

Sebelumnya, di pertemuan perdana Kelas 7 Habits, kita telah merasai fondasi penting: paradigma, karakter, dan kepribadian. Kini, saatnya melangkah lebih jauh dengan membedah habit prima: be proactive.

Menjadi proaktif erat kaitannya dengan prinsip visi pribadi. Ini bukan tentang mendefinisikan diri secara statis, melainkan memahami siapa aku dan apa yang ingin aku capai.

Banyak orang terjebak dalam kesibukan tanpa henti, mengikuti berbagai aktivitas dan organisasi tanpa kejelasan tujuan.

Di pertemuan pertama Kelas 7 Habits, kita telah mendalami definisi dari 'siapa aku?'. Kini, di pertemuan kedua ini, mari kita tingkatkan dengan pertanyaan: "Aku adalah...?"

Luangkan waktu sejenak. Tuliskan di kertas, notebook, gadget, di kolom komentar artikel ini, atau di mana pun kamu suka: "Aku adalah...". Agar kamu lebih memahami apa yang dimaksud dengan be proactive dalam konteks artikel ini.

Definisi "Aku": Sebuah Pergulatan yang Unik dan Personal.

Pemahaman kita tentang "aku adalah ..." dibentuk oleh berbagai faktor, mulai dari pengalaman hidup, pengetahuan, hingga lingkungan. 

Seseorang yang tinggal di Yogyakarta tentu memiliki perspektif yang berbeda tentang "aku" dengan orang yang tinggal di Jakarta, Kalimantan, atau Papua.

Akan tetapi, terdapat stigma yang perlu dikritisi: anggapan bahwa satu wilayah lebih unggul dari yang lain. Stigma ini, seperti anggapan bahwa Jakarta lebih unggul dari Jayapura, sering kali terinternalisasi dalam pengetahuan kita.

Stephen Covey, dalam bukunya 7 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif, mendedikasikan satu sub-bab untuk membahas kesadaran diri dan sosial. Sub-bab ini menggali pertanyaan krusial: "Aku adalah...?"

Kesadaran diri tentang "aku adalah ..." menurut Covey tak luput dari pengaruh determinasi, tekanan, atau kekuatan tak terlihat yang membentuk diri kita.

Tiga determinasi utama ini bagaikan benang kusut yang menenun identitas kita:

Determinasi Genetik: Warisan gen dari orang tua tak terelakkan memengaruhi "Aku Adalah...". Sifat, bakat, dan potensi kita tertanam dalam DNA yang diwariskan.

Determinasi Psikis: Pola asuh dan pendidikan memainkan peran penting dalam membentuk mentalitas kita. Pengalaman masa kecil, baik positif maupun negatif, seperti kekerasan, perundungan, dan ekstremisme agama, dapat meninggalkan bekas luka yang memengaruhi rasa percaya diri dan keberanian.

Determinasi Lingkungan: Tempat tinggal dan interaksi sosial mewarnai "Aku Adalah...". Seseorang yang terkungkung di lingkungan terbatas mungkin memiliki perspektif yang berbeda dengan mereka yang menjelajahi berbagai budaya dan bertemu banyak orang.

Tiga determinasi inilah yang membentuk "siapa aku" dan "aku adalah". Ini yang kemudian dibaca oleh Covey sebagai kesadaran diri dan "cermin sosial" kita yang seringkali tidak kita sadari.

Pernahkah kamu bertanya, "sebenarnya aku seperti ini kenapa?" Jawabannya cek aja, ketiga faktor di atas. Gennya siapa, pola didik atau pola asuhnya bagaimana, lingkungan tempat tinggal seperti apa?

Mengapa Kita Cenderung Bersikap Reaktif?

Pernahkah kamu merasa seperti orang latah, terjebak dalam respon impulsif terhadap stimulus di media sosial? 

Reaktif, mudahnya kita definisikan seperti orang latah. Orang latah merespon sesuatu tanpa kesadaran, seperti "eh kucing" ketika dikagetkan, atau "eh copot" secara otomatis dan spontan. 

Hal ini sama dengan respons kita di media sosial yang mudah dipicu dan langsung merespons tanpa menonton sampai selesai.

Reaktif, dalam bahasa lainnya, adalah merespons secara otomatis terhadap stimulus atau dorongan. Menurut Covey, ini terjadi karena pengkondisian masa lalu.

Pengkondisian masa lalu ini bagaikan program lama yang tertanam dalam diri kita, seperti pada smartphone yang perlu di-instal ulang atau di-upgrade. Sebab akarnya telah tertanam dalam tiga determinasi: gen, pola asuh, dan lingkungan yang sudah saya sebutkan sebelumnya.

Agar dapat meng-instal ulang dan meng-upgrade software di otak kita, membaca buku The 7 Habits ... merupakan salah satu alternatif yang perlu dicoba.

Bagaimana Caranya Menjadi Proaktif? 

Berbeda dengan reaktif, menjadi proaktif adalah ketika kita memiliki kebebasan untuk memilih dalam merespons stimulus. Kebebasan ini didorong oleh "empat anugrah":

Kesadaran Diri (Jeda, Stop): Memberi ruang untuk berpikir sebelum bertindak.
Imajinasi (Think): Membayangkan konsekuensi dari berbagai pilihan.
Suara Hati (Evaluate): Mendengarkan bisikan hati untuk menentukan pilihan terbaik.
Kehendak Bebas (Process): Bertindak berdasarkan pilihan yang telah dipertimbangkan.

Keempat "anugrah" ini, yang dikenal sebagai STEP (Stop, Think, Evaluate, Process), merupakan hak milik setiap manusia, disadari atau tidak.

Meskipun kita memiliki "anugrah" ini, pengkondisian masa lalu masih dapat memengaruhi respon kita.

Bagaimana Cara Mengetahui Apakah Kita Proaktif atau Reaktif? 

Mari kita coba dengan ilustrasi berikut:

Ketika Kompasianer ingin menulis tentang topik Ramadan Bercerita 2024, apa yang ada di dalam top of mind Kompasianer? 

Ingin diangkat sebagai Artikel Utama? Ingin memenangkan smartwatch atau hadiah utama lainnya? Atau sekadar ingin bercerita saja, ada atau tidak ada hadiah? 

Top of mind ini menentukan apakah Kompasianer ini proaktif atau justru reaktif. 

Ketika top of mind Kompasianer masih berkutat pada hadiah dari kompetisi, kemungkinan besar Kompasianer masih terjebak dalam jerat determinasi pola didik dan personal branding.

Determinasi pola didik yang menanamkan rasa ingin selalu terdepan dan mendapatkan pengakuan dapat memengaruhi cara Kompasianer memandang peluang menulis. Personal branding yang berfokus pada pencitraan diri dan kesuksesan individual juga dapat memperkuat pola pikir reaktif.

Apakah itu salah? Buku The 7 Habits ... tidak berbicara tentang salah atau benar, tetapi efektif atau tidaknya kita menjalani hidup. Dan pola pikir reaktif adalah salah satu yang membuat kita tidak efektif dalam menghabiskan sisa umur kita.

Penting untuk diingat bahwa efektivitas berbeda dengan instan.

Makanya kita sering memunculkan pertanyaan, kok enggak kerasa ya, Ramadan sudah seperempat bulan, perasaan baru kemarin tarawih pertama?

Orang-orang yang terjebak dalam pola pikir reaktif cenderung lebih terpengaruh oleh etika kepribadian. Etika kepribadian berfokus pada pencitraan diri, kesuksesan individual, dan pengakuan eksternal. Di sisi lain, etika karakter berfokus pada nilai-nilai internal, kebajikan, dan kontribusi.

Pertanyaan untuk refleksi diri:

  • Apakah identitas aku lebih ditentukan oleh "cermin sosial" dan "determinasi" (tiga faktor) atau oleh "kebebasan memilih" dan "empat anugrah" (STEP)?
  • Apakah aku lebih peduli dengan citra diri di mata orang lain atau dengan nilai-nilai internal aku?

Last but not least, empat anugrah (kesadaran diri, imajinasi, suara hati, dan kehendak bebas) dalam konsep STEP merupakan fondasi bagi etika karakter.

Empat anugrah ini menjadi dasar bagi penerapan prinsip hidup yang akan kita bahas di kelas 7 Habits pertemuan ketiga.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan aforisme yang dikenalkan oleh Stephen Covey: "Saya adalah produk dari keputusan saya, bukan produk dari keadaan."

Bagaimana denganmu? Apakah kamu adalah produk dari keputusan yang kamu buat sendiri atau produk dari keinginan "menyenangkan orang lain" melalui personal branding? [mhg].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun