konser "Eras Tour" Taylor Swift.
Beberapa hari terakhir, layar gawai dan explore media sosial saya dipenuhi oleh 'pembelaan' Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong terkait tuduhan monopoliPerdana Menteri Thailand, Srettha Thavisin, menukas bahwa Singapura menawarkan subsidi hingga 3 juta dolar Singapura per konser kepada Taylor Swift.
Sebagai imbalannya, bintang pop berusia 34 tahun diduga tidak akan tampil di negara lain di Asia Tenggara selama turnya. Rumor ini diperkuat oleh anggota parlemen Filipina, Joey Salceda.
Terlepas dari kontroversi yang beredar, langkah Singapura dalam mengamankan konser eksklusif dan premium ini patut diacungi jempol.
Keputusan Singapura untuk mengadakan kesepakatan eksklusif dengan Taylor Swift terbukti menarik jutaan penggemar penyanyi tersebut ke negeri singa.
Ini berpotensi meningkatkan pariwisata dan mendorong perekonomian Singapura melalui efek domino yang ditimbulkan, seperti peningkatan permintaan hotel, transportasi, dan konsumsi.
Singapura, dengan keterbatasan sumber daya alam dan budaya, telah lama menerapkan strategi serupa. Mereka mengimpor sumber daya dan budaya dari luar negeri untuk menunjang kemajuan negara.
Kondisi Singapura dengan keterbatasan sumber daya alam dan budaya seharusnya dapat menjadi bahan evaluasi bagi Indonesia yang kaya akan budaya. Kita memiliki ratusan atau mungkin ribuan jenis musik dan seni yang seharusnya bisa kita kembangkan.
Kita seharusnya juga bisa belajar dari Korea Selatan yang telah berhasil mencapai "soft power" di dunia melalui upaya pemerintahnya yang aktif mempromosikan drama Korea, film, dan musik pop yang dicanangkan lebih dari 23 tahun lalu.
Pada tahun 1998, pemerintah Korea Selatan aktif mempromosikan drama Korea, film, dan musik pop sebagai salah satu solusi krisis ekonomi.
Hal ini menghasilkan gelombang budaya pop Hallyu yang menarik minat masyarakat dunia untuk mencoba makanan khas Korea, mengunjungi negaranya, dan membeli produk-produknya.
Beberapa waktu lalu, saya kedatangan teman dari Cambridge, Ebac. Ia datang ke Yogyakarta untuk mengisi waktu liburannya. Saat saya ajak berkeliling Keraton Yogyakarta, di salah satu sudut terdapat seperangkat alat musik gamelan.
Saya pun mengajak Ebac untuk melihatnya lebih dekat. Yang mengejutkan saya, Ebac mengaku bisa memainkan hampir semua alat musik gamelan! Ebac menceritakan bahwa dia belajar gamelan di Cambridge.
Pengalaman ini mengingatkan saya kembali kepada daerah asal saya, Aceh. Di sana, tari Saman, sebuah tarian tradisional yang indah dan penuh filosofi, hampir dilupakan oleh generasi muda.
Ironisnya, tari Saman justru lebih dikenal dan dilestarikan di negara lain, termasuk Inggris tempat Ebac berasal.
Ini membuat saya merenung. Mengapa budaya kita sendiri justru lebih dihargai oleh orang lain daripada kita sendiri? Mengapa generasi muda kita lebih tertarik dengan budaya asing daripada budaya warisan leluhur?
Saya tidak iri dengan Singapura. Saya justru iri dengan Korea Selatan. Kita harus belajar dari mereka bagaimana membangun fanbase yang kuat di luar negeri.
Bayangkan jika fanbase Tari Saman dan gamelan sekuat ARMY BTS. Budaya Indonesia akan semakin dikenal di dunia. Setiap tahun, pergelaran wayang di London dengan tiket puluhan juta bisa sold out. Penampilan Tari Saman di Berlin dapat dihadiri puluhan juta pasang mata.
Bukankah itu akan mengundang jutaan manusia untuk hadir ke Indonesia, seperti yang dialami Korea Selatan saat ini? Berimajinasi saja dulu, karena imajinasi itu gratis!
Saya tidak alergi dengan konser band-band besar dunia di Indonesia. Saya juga ingin mereka manggung di sini, membuka peluang untuk pariwisata dan budaya Indonesia dikenal.
Namun, ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan sebelum Indonesia bisa menjadi "Negara Konser" seperti Singapura.
Pertama, kapasitas kita harus diperbaiki. Fasilitas, keamanan, dan bebas dari calo harus dijamin. Masih ingat kasus dugaan penipuan dan penggelapan tiket konser Coldplay di Jakarta? Belum lagi kalau kita bahas fasilitas, seperti keluhan penonton konser Dewa 19 di JIS.
Kedua, infrastruktur perlu ditingkatkan. Kita perlu membangun infrastruktur yang memadai untuk konser besar, seperti stadion dan arena konser yang bertaraf internasional. Kalau sudah begitu, bayangan Pak Jokowi konser-konser besar kelak bisa diadakan di IKN bisa terwujud.
Ketiga, edukasi dan penegakan hukum perlu diperkuat. Baik calo maupun penipuan tiket harus diberantas sampai akar-akarnya. Penonton juga perlu diedukasi tentang keamanan dan kenyamanan selama konser.
Keempat, kerjasama antar stakeholder perlu ditingkatkan. Pemerintah, promotor, dan pihak keamanan harus bekerja sama untuk memastikan kelancaran dan keamanan konser.
Keempat poin di atas memerlukan biaya besar. Pun Singapura, yang sekarang disebut "Singapura Negara Konser," juga mengeluarkan biaya besar.
Pertanyaannya, mengapa biaya mahal itu tidak kita gunakan untuk mengangkat industri musik, kesenian, dan kebudayaan tanah air?
Musik tanah air masih terkendala oleh berbagai faktor, seperti tingginya tingkat pembajakan, honor yang tidak sepadan, dan minimnya apresiasi. Akibatnya, hanya sedikit pegiat seni yang mampu menjalani profesinya dengan layak di industri ini.
Memang benar bahwa kedatangan artis-artis dan band-band besar dunia dapat memberikan efek domino positif bagi perekonomian Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan sektor pariwisata, hotel, transportasi, dan kuliner.
Namun, efek ini bersifat tentatif dan eventual. Artinya, efeknya tidak selalu pasti dan hanya terjadi pada saat konser berlangsung.
Singapura, yang mengandalkan strategi mendatangkan artis luar negeri, harus terus-menerus "mengimpor" band-band besar untuk menjaga efek domino tersebut.
Ini dapat menjadi ketergantungan yang tidak sehat dan tidak berkelanjutan dalam jangka panjang.
Di sisi lain, Korea Selatan fokus pada pengembangan industri musik lokalnya. Meskipun membutuhkan waktu puluhan tahun, strategi ini terbukti berhasil. Saat ini, Korea Selatan telah menjadi salah satu kekuatan utama dalam industri musik global.
Keberhasilan Korea Selatan menunjukkan bahwa membangun industri musik lokal adalah strategi yang lebih berkelanjutan dan berdaya tahan dalam jangka panjang [mhg].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H