Beberapa waktu lalu, saya kedatangan teman dari Cambridge, Ebac. Ia datang ke Yogyakarta untuk mengisi waktu liburannya. Saat saya ajak berkeliling Keraton Yogyakarta, di salah satu sudut terdapat seperangkat alat musik gamelan.
Saya pun mengajak Ebac untuk melihatnya lebih dekat. Yang mengejutkan saya, Ebac mengaku bisa memainkan hampir semua alat musik gamelan! Ebac menceritakan bahwa dia belajar gamelan di Cambridge.
Pengalaman ini mengingatkan saya kembali kepada daerah asal saya, Aceh. Di sana, tari Saman, sebuah tarian tradisional yang indah dan penuh filosofi, hampir dilupakan oleh generasi muda.Â
Ironisnya, tari Saman justru lebih dikenal dan dilestarikan di negara lain, termasuk Inggris tempat Ebac berasal.
Ini membuat saya merenung. Mengapa budaya kita sendiri justru lebih dihargai oleh orang lain daripada kita sendiri? Mengapa generasi muda kita lebih tertarik dengan budaya asing daripada budaya warisan leluhur?
Saya tidak iri dengan Singapura. Saya justru iri dengan Korea Selatan. Kita harus belajar dari mereka bagaimana membangun fanbase yang kuat di luar negeri.Â
Bayangkan jika fanbase Tari Saman dan gamelan sekuat ARMY BTS. Budaya Indonesia akan semakin dikenal di dunia. Setiap tahun, pergelaran wayang di London dengan tiket puluhan juta bisa sold out. Penampilan Tari Saman di Berlin dapat dihadiri puluhan juta pasang mata.
Bukankah itu akan mengundang jutaan manusia untuk hadir ke Indonesia, seperti yang dialami Korea Selatan saat ini? Berimajinasi saja dulu, karena imajinasi itu gratis!
Saya tidak alergi dengan konser band-band besar dunia di Indonesia. Saya juga ingin mereka manggung di sini, membuka peluang untuk pariwisata dan budaya Indonesia dikenal.
Namun, ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan sebelum Indonesia bisa menjadi "Negara Konser" seperti Singapura.Â