Ihwal ini justru menggerogoti keuangan karena kita harus terus membeli baju baru. Lebih baik membeli "slow fashion" yang berkualitas baik. Sekali beli, bisa dipakai bertahun-tahun.
Kebiasaan "flash sale" juga perlu diwaspadai. Jangan langsung tergoda untuk check out tanpa pertimbangan matang. Tanyakan pada diri sendiri, apakah barang tersebut benar-benar kamu butuhkan?
Mungkin kamu bertanya-tanya, apakah Mahéng sendiri sudah bebas dari utang? Jawabannya, belum. Saat ini, saya sedang berjuang untuk melunasi utang-utang saya dan berusaha untuk tidak membuka akad utang baru, kecuali dalam situasi yang benar-benar mendesak.
Selama kita masih memiliki utang dan dikejar cicilan, kita akan selalu terkungkung dalam lingkaran setan yang melelahkan.
Memang benar, ada beberapa faktor di luar kendali individu yang dapat menghambat kelas menengah untuk mencapai kekayaan. Faktor-faktor tersebut termasuk gaji pas-pasan, biaya hidup tinggi, dan inflasi.Â
Namun, perlu diingat bahwa literasi keuangan yang rendah juga dapat menjadi salah satu penyebab utama kesulitan mencapai kemapanan finansial.Â
Sekalipun memiliki gaji tinggi, seseorang yang tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan mengelola keuangan dengan baik akan mudah terjebak dalam gaya hidup konsumtif dan kesulitan menabung.
Tulisan ini pun merupakan refleksi dan pengingat diri saya sendiri. Bahwa setinggi apa pun gaji seseorang, tidak akan pernah cukup jika tidak dibarengi dengan literasi keuangan yang baik.
Akhirnya, utang bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi membantu, di sisi lain menjerat. Bagi kelas menengah, utang sering kali menjadi jebakan yang sulit dihindari, menghambat mereka mencapai kemapanan finansial.
Kebiasaan berutang, terutama untuk gaya hidup konsumtif, adalah salah satu faktor utama yang menghambat kelas menengah untuk mencapai kemapanan finansial.Â
Ditambah lagi dengan godaan "racun" di media sosial dan solusi "tidak solutif" seperti paylater, semakin mempermudah kita untuk terjerumus dalam lilitan utang [mhg].