Peribahasa "besar pasak daripada tiang" merupakan pengingat agar kita tidak hidup boros dan melampaui batas kemampuan finansial. Jangan sampai peribahasa ini benar-benar terjadi dalam hidup kita, terjerat dalam lilitan utang tak berkesudahan.
Mendengar peribahasa ini, saya teringat lirik lagu "Gaya Hudep" yang dipopulerkan oleh Haji Uma, penyair kondang asal Aceh. Berikut kutipan liriknya:
Keu gaya hudep hana meu oeh ban (Gaya hidup sekarang sudah tidak menentu).
Peubloe tanoeh blang geujak bloe HP (Rela jual tanah sawah untuk beli smartphone).
Lirik lagu ini menggambarkan realitas gaya hidup konsumtif yang menjerumuskan banyak orang, termasuk muda-mudi di Aceh, yang rela mengorbankan aset berharga demi mengikuti tren dan keinginan sesaat.
Dalam buku The Top 10 Distinctions Between Millionaires and the Middle Class, Keith Cameron mengungkap hasil temuannya setelah meneliti orang super kaya selama dua tahun.Â
Salah satu temuan penting dalam situasi saat ini adalah perbedaan mencolok dalam kebiasaan mengelola keuangan antara orang kaya dan kelas menengah.
Kelas menengah sering terjebak dalam gaya hidup konsumtif yang melampaui kemampuan mereka. Paylater menjadi pilihan yang kian populer, memungkinkan mereka membeli barang-barang di luar jangkauan finansial.Â
Uang mereka banyak dihabiskan untuk hal-hal seperti gadget terbaru, pakaian bermerek, dan liburan mewah, daripada ditabung untuk masa depan.
Selain utang, keinginan untuk sesuatu yang "fast" atau instan juga berbahaya. Fast food dan fast fashion memang menarik, tetapi memiliki risiko yang tinggi, baik bagi lingkungan maupun diri kita sendiri.
Contohnya, membeli "fast fashion" dengan harga murah. Walaki mendapatkan banyak baju (100 ribu dapat lima), kualitasnya tidak tahan lama. Baru dipakai beberapa bulan, bajunya sudah sobek.Â