Indonesia kerap diidentikkan sebagai negara dengan budaya baca rendah. Data UNESCO yang sudah kusam selalu dikutip oleh penulis yang menuduh minat baca Indonesia rendah.Â
Dalam data tersebut disebutkan minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen, artinya dari 1.000 orang Indonesia, cuma satu orang yang rajin membaca.
Namun, apakah data tersebut benar-benar relevan dan menggambarkan realitas minat baca di Indonesia? Â
Pada Senin, 20 November 2023, Pondok Pesantren Asrama Kreatif Bil Qolam mengundang Gol A Gong nama pena dari Heri Hendrayana Harris, Duta Baca Indonesia periode 2021-2026, untuk berdiskusi tentang budaya baca di Indonesia.
Gol A Gong berpendapat bahwa data UNESCO tersebut tidak dapat dijadikan acuan. Menurutnya, minat baca masyarakat Indonesia sebenarnya cukup tinggi, namun ketersediaan buku yang terbatas menjadi kendala utama.Â
Gol A Gong mencontohkan, di perpustakaan-perpustakaan di luar Jawa, sering terjadi antrian panjang untuk membaca buku. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki minat baca yang tinggi, namun buku yang tersedia tidak mencukupi.Â
Indonesia, lanjut Gol A Gong, merupakan bangsa yang memiliki aksara yang beragam, bahkan sebelum kedatangan VOC. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki aksaranya masing-masing, yang digunakan untuk menuliskan bahasa dan budaya bangsa.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya dan bahasa, salah satunya adalah aksara lokal. Aksara lokal adalah aksara yang digunakan untuk menuliskan bahasa daerah di Indonesia. Aksara lokal memiliki banyak jenis, seperti hanacaraka, aksara Batak, aksara Lontara, aksara Rejang, dan masih banyak lagi.
Masyarakat Indonesia yang menggunakan aksara lokal memiliki kemampuan membaca dan menulis yang tinggi dan penuh filosofi. Nenek moyang bangsa Indonesia menggunakan aksara lokal untuk menuliskan berbagai macam teks, mulai dari teks keagamaan, teks sastra, ramalan, hingga teks sejarah.Â
 "Kita ini bangsa yang punya aksaranya banyak banget. Kita disebut bodoh dan buta huruf ketika VOC datang ke sini karena mereka membawa aksara Latin," tegas Gol A Gong.
Adinda, mahasiswa Universitas Nadhlatul Ulama, bercerita tentang perkembangan teknologi yang semakin pesat. Kini, kita bisa membaca buku melalui gawai atau ponsel pintar, seperti e-book. Hal ini menyebabkan mahasiswa dan masyarakat enggan berkunjung ke perpustakaan.