Dalam sebuah pesan singkat di grup komunitas, Muhammad Fikri Syarif, salah satu peserta Kelas Penggerak Gusdurian (KPG), membuat saya tertawa. Ia berbicara tentang bagaimana saya terlihat begitu bertentangan dengan sosok Tan Malaka dalam banyak aspek kehidupan.
Namun, di sisi lain, saya dan Tan Malaka juga memiliki banyak kesamaan.
Ia bilang saya dan Tan Malaka terlalu besar perhatiannya pada perjuangan sampai tidak ada waktu untuk perempuan. Mungkin Fikri tidak tahu bahwa saya memiliki pasangan, namun saya jarang memunculkannya ke publik.
Saya tau konteksnya bercanda, namun terdapat pesan yang lebih dalam dari percakapan ini, yaitu bahwa dalam komunitas Gusdurian, kita tidak diperkenankan untuk mengkultuskan seseorang, bahkan jika itu adalah Gus Dur sendiri.
Baik Tan Malaka maupun Gus Dur masih memiliki ruang untuk kritik, dan saya yakin keduanya juga bersedia menerima kritik.
Pada pelaksanaan Kelas Penggerak Gusdurian Batch 1 pada tanggal dua puluh tujuh hingga dua puluh sembilan Oktober yang lalu, muncul pertanyaan menggelitik dari Aji Binawan Putra, salah satu fasilitator.
Dia bertanya, "Mungkin enggak kita jadi Gus Dur?"
Banyak peserta menjawab bahwa hal itu sulit dan rumit karena Gus Dur memiliki privilege sejak sebelum lahir. Gus Dur memiliki garis keturunan yang luar biasa dan tinggal di lingkungan yang memudahkannya untuk mengakses segala hal.
Bagi saya pribadi, menjadi Gus Dur adalah sesuatu yang mustahil karena setiap individu adalah unik dan tidak dapat direplikasi. Namun, menjadi sosok seperti Gus Dur, mewarisi semangat pasca-Gus Dur, atau menjadi penerus yang memperjuangkan nilai-nilai Gus Dur adalah sangat mungkin.
Oleh karena itu, menjadi Gus Dur mungkin mustahil, tetapi menjadi muridnya tidak. Ini dapat dicapai salah satunya dengan menjadi anggota penggerak komunitas Gusdurian.
Gusdurian adalah perhimpunan yang terdiri dari individu, komunitas, atau lembaga yang memiliki visi yang sama untuk meneruskan perjuangan yang berlandaskan pada nilai-nilai Gus Dur. Nilai-nilai Gus Dur itu sendiri meliputi ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, persaudaraan, kesederhanaan, kekesatriaan, dan kearifan tradisi.