Mungkin kamu pernah mendengar kutipan berikut, 'jangan sampai baju yang kamu punya lebih banyak daripada buku yang kamu baca.'
Dalam buku Madilog, Tan Malaka, menyitir lebih keras lagi, ia bilang, "Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi." Â Â
Secara kebetulan, atau kebetulan yang direncanakan kali yak, pada Senin, 11 September 2023, lalu, Klub Buku Main-main mengangkat tema ini dengan mengundang Ecka Pramita, penulis buku Tanggalkan Pakaianmu, Karena Pakaian Tidak Hanya Baju.
Ecka adalah jurnalis fashion, dia telah menulis banyak buku. Hebatnya, buku Tanggalkan Pakaianmu yang bergenre faksi---gabungan antara fiksi dan nonfiksi---ia tulis dalam waktu 30 hari. Buku ini diperankan oleh desainer Varsha Eila dengan label VE sebagai narator dalam bentuk journaling.
VE adalah tokoh fiksi, akan tetapi apa yang dinarasikan dan diceritakannya adalah berdasarkan kisah nyata (based on true story), itulah mengapa buku ini diklasifikasikan sebagai bergenre faksi.
Ecka memotret kehidupan desainer dengan segala dinamikanya, mulai dari pencapaian, polemik sesama desainer, perkumpulan, tren, idealisme, politik, hingga romansa melalui catatan harian VE. Sehingga, seperti kata Nur, salah satu peserta diskusi, pembaca seperti diajak bergabung di dalam cerita.
Â
Sehingga kita akan manggut-manggut ketika membacanya, 'Kayaknya aku pernah dengar deh' atau 'Oh ya, ya.'
Dalam diskusi bersama Klub Buku Main-main, Ecka mengatakan, 'Meskipun kita mungkin tidak tertarik dengan isu fashion, kita tidak bisa lepas darinya. Fashion tidak hanya soal baju, tetapi juga soal gaya.' Saya setuju, karena tidak sedikit orang yang rela berhutang, terjebak dengan pinjaman online, bahkan ada yang rela menjual aset mereka, hanya untuk mendapatkan validasi, agar dianggap fashionable atau keren.
Ada satu bagian yang cukup menarik perhatian, yaitu ketika Ecka juga membahas isu sustainable fashion dan fast fashion dalam bukunya ini.Â
Fast fashion sangat erat kaitannya dengan limbah fashion. Fast fashion menjadi salah satu penyebab terbesar polusi limbah fashion yang dapat merusak lingkungan, seperti polusi air, tanah, dan juga menghasilkan gas emisi rumah kaca yang dapat menyebabkan perubahan iklim.Â
Diskusi semakin menarik ketika Wanda menyinggung tentang thrift shop. Secara istilah, thrift berarti hemat, namun di media sosial, kata ini telah bergeser maknanya sebagai aktivitas belanja pakaian bekas impor.Â
Menurut Wanda, dalam proses penyortiran, lebih banyak "sampah" daripada baju yang masih layak pakai, dan ini juga berdampak pada matinya UMKM dalam negeri.
Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga senada dengan apa yang disampaikan oleh Ndeye Kor, peserta diskusi asal Senegal yang hijrah ke New York dan saat ini sedang magang di Yogyakarta.Â
Menurut penuturan Kor, sampah-sampah dari negara-negara Barat kini mencemari negara-negara Afrika karena yang dikirim bukan lagi pakaian bekas, hanya limbah fast fashion dengan sistem dumping. Â
Selain mencemari lingkungan, fast fashion juga menghilangkan kearifan lokal dalam fashion. Misalnya, di Indonesia, tenun, pakaian etnik, batik, dan lain sebagainya telah kehilangan 'marwahnya'.Â
Seperti disinggung dalam buku ini, tidak semua orang mendukung gerakan dan kampanye sustainable fashion atau bahkan mempromosikan kearifan lokal. Tidak jarang ada yang berkata kurang lebih seperti ini, "Memangnya kenapa kalau aku mau beli produk fast fashion semauku? Toh, itu tidak membuatmu kehilangan apa pun, baik harta maupun nyawa. Aku menggunakan uang sendiri kok."
Memang, secara langsung sih enggak terlalu ngaruh ke hidup kita. Siapa pun boleh belanja sebanyak apa pun asal punya duit. Tapi, ada pekerja garmen yang sering jadi korban, alam rusak, dan makanan yang kita makan bisa tercemar mikro plastik, mungkin makananmu juga.
Selain itu, berbicara isu fashion memang tidak sesederhana isu salah kostum, seperti yang disampaikan Gusti Purbo.Â
Pakaian juga bisa jadi alat komunikasi efektif, seperti seragam security atau polisi. Mirip dengan pernyataan Rachel Zoe yang dikutip Ecka dalam buku ini, "Style is a way to say who you are without having to speak."Â
Obrolan kita belum berakhir sampai di sana, fashion bisa menjadi relasi kuasa seperti yang disinggung Misni. Pakaian bisa mencerminkan posisi atau jabatan seseorang dalam masyarakat, seberapa banyak kekuasaan yang dimilikinya, atau apa latar belakang budayanya.Â
Pakaian dapat digunakan untuk menunjukkan status sosial, kekuasaan, atau identitas politik seseorang.
Dalam konteks politik, pakaian dapat digunakan untuk menciptakan citra tertentu bagi calon pemimpin. Misalnya, seorang calon pemimpin yang ingin menunjukkan dirinya sebagai sosok yang sederhana dan merakyat, mungkin akan memilih pakaian yang sederhana dan tidak mewah.
Jadi, jangan heran jika sebentar lagi akan banyak muncul iklan jelang pemilu atau pilpres yang menggunakan kostum tertentu dengan label "sederhana," meskipun harganya belum tentu sederhana.Â
Sudah kayak Rumah Makan Padang saja [mhg].
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H