Ada satu bagian yang cukup menarik perhatian, yaitu ketika Ecka juga membahas isu sustainable fashion dan fast fashion dalam bukunya ini.Â
Fast fashion sangat erat kaitannya dengan limbah fashion. Fast fashion menjadi salah satu penyebab terbesar polusi limbah fashion yang dapat merusak lingkungan, seperti polusi air, tanah, dan juga menghasilkan gas emisi rumah kaca yang dapat menyebabkan perubahan iklim.Â
Diskusi semakin menarik ketika Wanda menyinggung tentang thrift shop. Secara istilah, thrift berarti hemat, namun di media sosial, kata ini telah bergeser maknanya sebagai aktivitas belanja pakaian bekas impor.Â
Menurut Wanda, dalam proses penyortiran, lebih banyak "sampah" daripada baju yang masih layak pakai, dan ini juga berdampak pada matinya UMKM dalam negeri.
Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga senada dengan apa yang disampaikan oleh Ndeye Kor, peserta diskusi asal Senegal yang hijrah ke New York dan saat ini sedang magang di Yogyakarta.Â
Menurut penuturan Kor, sampah-sampah dari negara-negara Barat kini mencemari negara-negara Afrika karena yang dikirim bukan lagi pakaian bekas, hanya limbah fast fashion dengan sistem dumping. Â
Selain mencemari lingkungan, fast fashion juga menghilangkan kearifan lokal dalam fashion. Misalnya, di Indonesia, tenun, pakaian etnik, batik, dan lain sebagainya telah kehilangan 'marwahnya'.Â
Seperti disinggung dalam buku ini, tidak semua orang mendukung gerakan dan kampanye sustainable fashion atau bahkan mempromosikan kearifan lokal. Tidak jarang ada yang berkata kurang lebih seperti ini, "Memangnya kenapa kalau aku mau beli produk fast fashion semauku? Toh, itu tidak membuatmu kehilangan apa pun, baik harta maupun nyawa. Aku menggunakan uang sendiri kok."
Memang, secara langsung sih enggak terlalu ngaruh ke hidup kita. Siapa pun boleh belanja sebanyak apa pun asal punya duit. Tapi, ada pekerja garmen yang sering jadi korban, alam rusak, dan makanan yang kita makan bisa tercemar mikro plastik, mungkin makananmu juga.
Selain itu, berbicara isu fashion memang tidak sesederhana isu salah kostum, seperti yang disampaikan Gusti Purbo.Â