Salah satu contoh ketidakpekaan adalah kasus seorang siswi SMA di Bandung yang dikeluarkan dari sekolah karena mengenakan jilbab. Hal ini merupakan contoh konflik yang muncul akibat kurangnya kepekaan terhadap berbagai bentuk kesadaran beragama di kalangan remaja Muslim saat itu.
Kasus di Lamongan, di mana seorang guru dengan serampangan memotong rambut beberapa siswi karena tidak mengenakan ciput, juga merupakan contoh ketidakpekaan yang lainnya.
Meskipun guru tersebut telah "dimutasi" ke Dinas Pendidikan setempat, konflik ini tidak dapat diselesaikan melalui "tindakan disipliner" terhadap petugas dan guru di sekolah atau siswa karena tindakan tersebut tidak akan menyelesaikan akar permasalahannya.
Konflik semacam ini kemungkinan akan terus terjadi dan harus diselesaikan melalui dialog serta pemahaman yang lebih komprehensif tentang kesadaran beragama.
Diskusi dilanjutkan dengan tanggapan dari Aslamiah, yang melanjutkan perspektif Naufal. Ia menambahkan bahwa saat ini jilbab bukan lagi sekedar identitas agama, namun juga telah memasuki ranah kapitalisme. Jilbab telah menjadi lebih dari sekadar masalah keyakinan, tetapi juga menjadi penanda identitas kelas sosial dan ekonomi.
Di sisi lain, kata-kata seperti "jilbab", "hijab", "kerudung", dan "khimar" sering digunakan untuk menggambarkan penutup kepala bagi muslimah.
Meskipun secara istilah, kata-kata ini sering digunakan secara bergantian, tergantung pada model, bahan, dan ukuran penutup kepala. Namun, yang paling mengganggu pikiran saya adalah istilah "hijab syar'i". Apakah ada yang namanya hijab non-syari? Atau mungkinkah istilah "syar'i" hanya digunakan untuk tujuan pemasaran agar jilbab lebih laku? Silahkan Kompasianer yang menjawabnya di kolom komentar.
Bagaimanapun, hal terpenting yang perlu kita renungkan adalah bahwa hijab menjadi sejenis "konsensus" oleh banyak muslimah sebagai sarana untuk menutupi aurat. Hal ini telah memicu dialog yang tak ada habisnya, seperti pertanyaan Musdar, "Apa yang dimaksud dengan 'aurat' itu sendiri?"
Adalah Kamalatan Nihaya, pemantik diskusi kali ini, ia berpendapat bahwa 'aurat' dapat didefinisikan sebagai "rasa malu" atau, saya menduga mungkin maksudnya, "aib." Hal ini masuk akal secara bahasa, karena 'hijab' berarti penutup. Apakah itu berarti penutup rasa malu (atau aib), atau lebih jauh menutup pandangan yang menimbulkan "fitnah"?
Dialog menjadi semakin menarik, ketika kita mengecek kembali pernyataan Aslamiah sebelumnya, bahwa jilbab telah kehilangan esensinya. Saat ini, jilbab lebih dikenal sebagai sebuah gaya berbusana, sehingga menimbulkan kegamangan dengan munculnya istilah "jilbab syar'i" tadi.
Tak pelak, lantas membuat Wasil melontarkan pertanyaan khususnya kepada para peserta cangrukan perempuan, "Jika begitu, mengapa kalian memakai jilbab?". Ica kemudian menimpali, "Karena saya terlahir dari keluarga yang memakainya, dan saya sudah memakainya sejak kecil, jadi sudah nyaman."