Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Author

Hidup adalah perpaduan cinta, tawa, dan luka. Menulis menjadi cara terbaik untuk merangkai ketiganya.

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Perjalanan Melawan Stereotip: Ulasan Buku 'Ich Komme aus Sewon', Katharina Stogmuller

27 Agustus 2023   12:55 Diperbarui: 2 September 2023   10:47 878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Ich Komme aus Sewon karya Katharina Stgmller. Foto: Dok. Klub Buku Main-Main

"Mamah, kapan sih rambutku bisa hitam kayak teman-teman yang lain?" "Nanti kalau sudah gedhe, rambutmu akan hitam sendiri kok."

Adalah Katharina Stogmuller (aslinya tertulis dengan karakter khusus, namun di Kompasiana tidak support). Ia biasa disapa Kathi, adalah salah satu dari sekian banyak perempuan yang gigih dalam melawan stereotip tentang bule. 

Sepanjang hidupnya, Kathi sudah kenyang dengan komentar-komentar "ajaib" yang dilontarkan orang-orang Indonesia untuknya.

Terlahir sebagai anak blasteran Jawa-Austria dengan fisik yang lebih dominan ras Kaukasia membuat banyak orang berpikir bahwa hidup Kathi "enak-enak" saja di Indonesia.

Benarkah demikian? Apakah benar, bule berkasta lebih tinggi sehingga mendapatkan privilege lebih di masyarakat?


Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Klub Buku Main-Main mengundang Kathi untuk membedah bukunya bertajuk Ich Komme aus Sewon -- aku dari Sewon, Bantul -- dalam diskusi pekan ke-63 bertema "Benarkah Bule Berkasta Lebih Tinggi?" pada Senin, 21 Agustus 2023 lalu.

Dalam diskusi yang bertempat di Kineta Coffee & Public Sphere, Kathi bercerita sejak sekolah dasar, ia sering dirundung oleh gurunya sendiri.

Salah satu peristiwa yang masih terkenang adalah saat ia masih belum bisa berbahasa Inggris dengan baik. Pada suatu waktu, saat ia tidak bisa menulis kata eight, gurunya berkata, "Kamu kan bule, kamu pasti bisa berbahasa Inggris," sambil menirukan ucapan sang guru.

Padahal, Kathi sudah berulang kali menjelaskan bahwa orangtuanya berasal dari Austria dan mayoritas berbicara dalam bahasa Jerman. Selain persoalan bahasa, saat Kathi kecil seringkali dihadapkan dengan tuduhan bahwa ayahnya menikahi ibunya karena ada motif tertentu, misalnya agar bisa membeli tanah di Indonesia.

"Bagaimana pun aku menjelaskan, guru-guruku tetap tidak percaya," kata Kathi.

Masa-masa sekolah merupakan periode krisis identitas bagi Kathi. Ia merasa bukan orang Indonesia karena setiap kali ia bertemu seseorang dan mengaku berasal dari Yogyakarta, tak seorang pun yang percaya.

Pernah pada zaman kuliah, Kathi pernah mewarnai rambutnya menjadi hitam agar terlihat lebih seperti orang Indonesia.

Abdul Ghafur, atau Apong, salah satu peserta diskusi, lantas bertanya, "Apa yang ingin Kathi perjuangkan dari menulis buku ini?"

Menurut Apong, bukan hanya Kathi yang sering menjadi objek perundungan, Apong sendiri juga mengalaminya karena ia berasal dari Madura. Beberapa stereotip yang selalu melekat pada orang Madura, seperti "penjual sate" dan "pengumpul besi tua." Sehingga setiap kali bertemu orang baru, selalu muncul pertanyaan "Enggak jualan sate?" atau "Enggak jadi bandar besi?"

"Aku ingin orang pernikahan campur (seperti aku dan yang lainnya) juga dianggap sebagai orang Indonesia," Kathi menimpali. "Kami juga ingin diakui sebagai warga Indonesia dan berkontribusi untuk Indonesia," tambah Kathi.

Buku berjudul Ich Komme aus Sewon terbagi menjadi tiga lapisan bab, yaitu "Pada Suatu Hari", "Keluarga yang Biasa Saja", dan "Menikmati Kerumitan-Kerumitan Duniawi".

Pada bab pertama, diceritakan masa kecil, termasuk sebelum Kathi lahir, seperti cerita tentang pertemuan ayah dan ibunya. Setelah itu, kisah berlanjut pada masa kanak-kanak yang ternyata telah mencapai tahap konflik identitas, yang dimulai dengan pengalaman Kathi menghadapi ejekan londho.

Beralih ke bab kedua, Kathi mulai menceritakan cerita-cerita unik, lucu, konyol, dan cukup menggelitik. Tulisan-tulisan dalam bab ini lebih banyak membahas tentang kehidupan remaja menuju awal dewasa. Kemudian, masuk ke bab ketiga sebagai bab penutup, kita mulai melihat nilai-nilai moral yang ingin disampaikan melalui buku Ich Komme aus Sewon.

Konflik yang diangkat dalam bab ini bukan hanya konflik internal, melainkan sudah melibatkan skala yang lebih luas, yaitu konflik yang melibatkan negara. Kathi dengan tegas mengungkapkan pengalaman dan perjuangan yang harus dihadapinya.

Dokumentasi Diskusi Pekan 63 Klub Buku Main-Main: Membahas 'Ich Komme aus Sewon' Foto: Dok. Maheng
Dokumentasi Diskusi Pekan 63 Klub Buku Main-Main: Membahas 'Ich Komme aus Sewon' Foto: Dok. Maheng

Dalam diskusi pekan ini, Gusti Purbo Darpitojati, salah satu peserta diskusi, memberikan testimoni mengenai gaya penulisan Kathi.

Menurut Gusti, tulisan Kathi memiliki kedekatan dengan pembaca karena dua hal. Pertama, bahasanya ringan dan mudah dipahami. Kedua, Kathi sering menggunakan bahasa lokal sebagai interferensi, seperti ungkapan-ungkapan dalam bahasa Jawa, sehingga tulisannya terasa relevan dengan kehidupan pribadi Gusti.

Tidak hanya bagi Gusti, buku ini pada dasarnya relevan bagi siapa pun yang memperjuangkan anti-diskriminasi dan menyuarakan kesetaraan.

Tidak ada satu pun ras yang memiliki kedudukan lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain. Oleh karena itu, pertanyaan "Benarkah Bule Berkasta Lebih Tinggi?" seharusnya telah mendapatkan jawaban sejak awal diskusi.

Budaya hasil warisan kolonialisme telah menyebabkan Kathi mengalami pelabelan bahwa dirinya, yang memiliki ras Kaukasoid, seakan-akan lebih unggul daripada orang yang bukan campuran, atau ras mongoloid. Masyarakat kita masih terpengaruh oleh pemikiran "inlander" yang merendahkan diri sendiri.

Contoh yang tidak jauh-jauh adalah dalam penamaan tempat wisata. Kita sering melihat penambahan ".... van Java" pada nama-nama tempat tersebut agar lokasi tersebut lebih "menjual." Begitu pula dengan berita di media yang sering berulang kali melaporkan kasus pernikahan antara orang Indonesia dan bule sebagai sebuah "prestasi".

Misi utama yang ingin disampaikan oleh Katharina melalui tulisannya adalah untuk menyadarkan akan hal ini.

Kita tidak perlu merasa lebih rendah atau lebih tinggi, yang terpenting adalah saling cinta dan menghargai.

Meskipun dalam hal administrasi kenegaraan, Kathi mengatakan bahwa situasinya telah membaik sejak dikeluarkannya UU No. 12 tahun 2006. Sebelum adanya kebijakan tersebut, Kathi harus memperpanjang izin tinggal di Indonesia karena ia tidak diakui sebagai warga negara Indonesia.

Hal ini terkait dengan prinsip hukum ius sanguinis yaitu pemahaman bahwa kewarganegaraan ditentukan oleh garis keturunan orang tua yang dianut oleh negara Indonesia, di mana garis keturunan anak mengikuti garis keturunan ayahnya, patriarki.

Selain mengenai izin tinggal dan status kewarganegaraan, hal yang tidak terlewatkan dalam cerita Kathi adalah perihal izin kepemilikan tanah. Kathi dan semua "orang keturunan" tidak diperkenankan memiliki tanah dengan status Sertifikat Hak Milik (SHM). Mereka hanya bisa mendapatkan Hak Guna Bangunan (HGB) yang memungkinkan untuk menempati tanah.

Menurut Kathi, jikalau ada yang mengatakan bahwa tanah di Indonesia ini dikuasai oleh orang asing, itu tidak benar dan tidak semudah yang dibayangkan.

Terlebih lagi, ketika membicarakan masalah agraria di Yogyakarta, semuanya menjadi lebih rumit. Konflik mengenai UU Keistimewaan dan UU Agraria pun menjadi konflik eksternal yang harus terus dihadapi dan diperjuangkan oleh Kathi serta individu-individu seperti dirinya.

Jawaban dari pertanyaan yang diajukan di awal tulisan ini dapat ditemukan setelah kamu membaca buku Ich Komme aus Sewon karya "Mbak Bul," yang saat ini hidupnya dihabiskan di Sewonderland. 

Jadi, selamat membaca! 

***
Jika Anda telah sampai di sini, terima kasih telah membaca. Jangan ragu untuk meninggalkan kritik dan saran di kolom komentar agar saya dapat menulis dengan lebih baik lagi. [Mhg].

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun