Masa-masa sekolah merupakan periode krisis identitas bagi Kathi. Ia merasa bukan orang Indonesia karena setiap kali ia bertemu seseorang dan mengaku berasal dari Yogyakarta, tak seorang pun yang percaya.
Pernah pada zaman kuliah, Kathi pernah mewarnai rambutnya menjadi hitam agar terlihat lebih seperti orang Indonesia.
Abdul Ghafur, atau Apong, salah satu peserta diskusi, lantas bertanya, "Apa yang ingin Kathi perjuangkan dari menulis buku ini?"
Menurut Apong, bukan hanya Kathi yang sering menjadi objek perundungan, Apong sendiri juga mengalaminya karena ia berasal dari Madura. Beberapa stereotip yang selalu melekat pada orang Madura, seperti "penjual sate" dan "pengumpul besi tua." Sehingga setiap kali bertemu orang baru, selalu muncul pertanyaan "Enggak jualan sate?" atau "Enggak jadi bandar besi?"
"Aku ingin orang pernikahan campur (seperti aku dan yang lainnya) juga dianggap sebagai orang Indonesia," Kathi menimpali. "Kami juga ingin diakui sebagai warga Indonesia dan berkontribusi untuk Indonesia," tambah Kathi.
Buku berjudul Ich Komme aus Sewon terbagi menjadi tiga lapisan bab, yaitu "Pada Suatu Hari", "Keluarga yang Biasa Saja", dan "Menikmati Kerumitan-Kerumitan Duniawi".
Pada bab pertama, diceritakan masa kecil, termasuk sebelum Kathi lahir, seperti cerita tentang pertemuan ayah dan ibunya. Setelah itu, kisah berlanjut pada masa kanak-kanak yang ternyata telah mencapai tahap konflik identitas, yang dimulai dengan pengalaman Kathi menghadapi ejekan londho.
Beralih ke bab kedua, Kathi mulai menceritakan cerita-cerita unik, lucu, konyol, dan cukup menggelitik. Tulisan-tulisan dalam bab ini lebih banyak membahas tentang kehidupan remaja menuju awal dewasa. Kemudian, masuk ke bab ketiga sebagai bab penutup, kita mulai melihat nilai-nilai moral yang ingin disampaikan melalui buku Ich Komme aus Sewon.
Konflik yang diangkat dalam bab ini bukan hanya konflik internal, melainkan sudah melibatkan skala yang lebih luas, yaitu konflik yang melibatkan negara. Kathi dengan tegas mengungkapkan pengalaman dan perjuangan yang harus dihadapinya.
Dalam diskusi pekan ini, Gusti Purbo Darpitojati, salah satu peserta diskusi, memberikan testimoni mengenai gaya penulisan Kathi.