Sedangkan Generasi X (lahir 1965-1980), persentase yang menjadi korban mencapai 67%. Modus penipuan yang paling sering dialami oleh generasi ini adalah penipuan berkedok hadiah.Â
Generasi milenial (lahir 1981-1996) juga tidak terhindarkan dari menjadi korban penipuan. Riset CFDS menunjukkan bahwa sebanyak 62,8% dari generasi ini pernah menjadi korban penipuan digital, dengan modus penipuan yang paling sering dialami adalah pengiriman tautan berisi malware/virus. Â
Oleh karena itu, riset oleh tim penelitian yang dipimpin oleh Dr. Novi Kurnia ini mencatat bahwa melihat cerita para korban penipuan digital dan mekanisme pelaporan serta penegakan hukum yang tersedia di Indonesia, upaya untuk meminimalkan risiko penipuan digital masih kurang optimal, bahkan bisa dikatakan tertinggal dibandingkan dengan upaya mitigasi yang dilakukan negara-negara lain.Â
Karena itu, ada lima rekomendasi untuk memitigasi kasus-kasus kejahatan siber agar tidak lagi terjadi di masa depan.
Pertama, diperlukan penertiban nomor seluler. Banyaknya nomor seluler aktif yang tidak terdaftar secara baik menjadi persoalan besar mengingat penipuan melalui jaringan seluler, terutama SMS berhadiah, menjadi pesan atau modus penipuan yang paling banyak diterima oleh responden sekaligus mencatat korban paling banyak.
Kedua, diperlukan kepastian hukum dalam tindak lanjut laporan penipuan digital. Kejahatan siber menjadi ranah kepolisian dan kejaksaan, dengan kepolisian sebagai instansi yang pertama menghadapinya. Di Indonesia, telah ada mekanisme pelaporan penipuan digital yang terpusat di Patrolisiber.id, yang dikelola oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri.
Namun, Direktorat Tindak Pidana Siber harus menangani segala jenis kejahatan di ranah siber, seperti perjudian, pencemaran nama baik, ujaran kebencian, perdagangan manusia, pornografi anak, dan lain-lain. Hal ini membuat kepolisian kewalahan dalam menangani laporan penipuan digital sesuai harapan masyarakat.
Pengalaman para korban menunjukkan bahwa mereka merasa diabaikan karena "kerugiannya kecil", "ada antrean korban lain yang kerugiannya jauh lebih banyak", dan "setelah melapor, tidak ada tindak lanjut" sehingga mereka merasa harus ikhlas merelakan kerugian finansial yang dialami.
Ketiga, diperlukan perlindungan data pribadi dan keamanan siber. Data pribadi menjadi sumber informasi berharga bagi penipu, dan oleh karena itu, penerapan kebijakan dan Undang-undang (UU) Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi untuk melindungi seluruh lapisan masyarakat menjadi sangat penting.
Keempat, diperlukan sosialisasi dari otoritas terkait. Sebagai salah satu contoh, Australia dan Selandia Baru pada tahun 2015 membentuk Australasian Consumer Fraud Taskforce, yang kemudian berubah nama menjadi Scams Awareness Network.Â
Jejaring kerja ini melibatkan beragam lembaga publik seperti kepolisian, komisi informasi, kementerian komunikasi, dan otoritas perlindungan konsumen untuk menyebarkan informasi tentang penipuan digital secara rutin dan melakukan kampanye yang terkoordinasi kepada masyarakat.