Penggunaan Artificial Intelligence (AI) di Indonesia, khususnya di Jakarta, dalam menanggulangi kemacetan bukanlah barang baru. Mulai dari Electronic-Traffic Law Enforcement alias tilang CCTV, penerapan Electronic Road Pricing (ERP), dan sejumlah aturan lainnya.
Namun, semua itu nyatanya belum mampu mengatasi kemacetan di Jakarta dan beberapa kota besar lain di Indonesia.
Salah satu akar permasalahan kemacetan adalah pemusatan kegiatan masyarakat di kota-kota besar sehingga memicu urbanisasi tak terkendali dan menyebabkan urban sprawl.
Urban sprawl adalah fenomena perluasan perkotaan yang tidak terkendali dan tidak teratur. Biasanya terjadi ketika kawasan perkotaan tumbuh secara luas ke wilayah-wilayah sekitarnya tanpa perencanaan yang baik.
Perluasan perkotaan yang tak terkendali ditandai oleh alih fungsi lahan dari penggunaan awalnya menjadi wilayah pemukiman, komersial, dan jaringan jalan di sekitar kota yang tidak terkontrol secara teratur. Â Misalnya alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan.
Setiap tahun, lahan pertanian di Daerah Istimewa Yogyakarta, tempat domisili saya, menyusut sekitar 250 hektar.Â
Besaran luas alih fungsi lahan yang mencapai angka 2,3% per tahun untuk Kabupaten Sleman dan 7% per tahun untuk Kota Yogyakarta merupakan angka yang cukup besar dan perlu disikapi secara serius.
Berdasarkan Buku Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 2022, terjadi kenaikan laju pertumbuhan penduduk dari 0,58% menjadi 1,61% pada tahun 2020-2021. Â
Lantas bagaimana dengan DKI Jakarta?
Dalam artikel The Change and Transformation of Indonesian Spatial Planning after Soeharto's New Order Regime: The Case of the Jakarta Metropolitan Area karya Deden Rukmana yang diterbitkan pada Februari 2015 lalu, disebutkan bahwa terdapat pelanggaran rencana tata ruang DKI Jakarta sejak tahun 1985 hingga 2005.