Ketika saya membaca berita tentang kasus-kasus kekerasan seperti yang dilakukan oleh R (14) yang membakar sekolah atau siswi di Guyana yang membakar Asrama, saya teringat akan pernyataan Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari, seorang konsultan pengasuhan anak yang disiarkan oleh Kompas TV.
Ia menyatakan bahwa semua pelaku kekerasan pada dasarnya memiliki penyebab, di mana salah satu penyebab utamanya adalah pola asuh.Â
Ada kesamaan dalam pesan yang disampaikan oleh Ihsan dan apa yang ditulis oleh Patresia. Keduanya menyoroti pentingnya peran orang tua dalam membentuk dan mempengaruhi perilaku anak.
Ihsan menekankan bahwa jika kita ingin melihat perubahan pada anak, kita perlu mulai mengubah perilaku kita dalam berinteraksi dengan mereka.
Dia menyarankan agar semakin dewasa anak kita, semakin banyak kita mengajak mereka berbicara daripada hanya menceramahi hingga overdosis nasehat kepada mereka.Â
Ini menunjukkan pentingnya mendengarkan dan memberi ruang bagi anak untuk mengekspresikan diri mereka, sehingga mereka merasa dihargai dan diperhatikan.Â
"Seharusnya semakin dewasa anak kita semakin banyak diajak ngomong, bukan diomongin," kata Ihsan.
Kasus R (14) yang membakar sekolah karena dirundung oleh teman-temannya, termasuk gurunya sendiri, adalah contoh tragis dari dampak yang dapat timbul akibat pola asuh yang tidak sehat dan kekerasan yang dialami oleh seorang anak. Â
Patresia mengutip buku Homecoming: Reclaiming and Championing Your Inner Child karya John Bradshaw. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa ketika anak tidak mendapatkan kasih sayang yang layak sebagai manusia dari orang tua, keluarga, guru, dan sebagainya, hal ini dapat menyebabkan timbulnya frustrasi yang kemudian berkembang menjadi trauma yang signifikan.Â
Selain itu, dampak dari inner child yang terluka dapat tercermin dalam berbagai perilaku destruktif saat seseorang tumbuh dewasa. Contohnya termasuk sabotase diri, menyakiti diri sendiri, perilaku agresif, dan bahkan kekerasan.