Harus diingat adalah meskipun orang tua, atau guru sudah duluan "makan pisang, asam garam" tapi saat ini makanan bukan lagi sekadar asam garam, dunia yang kita hadapi saat ini telah berubah secara signifikan.Â
Saat ini anak-anak sudah makan  "makan stroberi, micin" di mana orang tua dan guru saat mereka kecil belum kenal dengan makanan itu.Â
Oleh karena itu penting bagi kita untuk terbuka terhadap perubahan dan tidak terjebak dalam pola pikir "orang tua saya dulu ngajarnya gini kok", atau "Ah dicubit doang udah nangis, saat saya kecil dipukul sampai biru-biru masih bisa tahan".
Dalam bukunya Si Kecil yang Terluka dalam Tubuh Orang Dewasa, Patresia Kirnandita mengungkapkan bahwa pola asuh yang tidak ideal dapat menyebabkan luka emosional yang berkepanjangan pada diri seorang individu, bahkan ketika ia dewasa.
Konsep ini sering dikaitkan dengan inner child issues atau inner child.
Konsep inner child awalnya diperkenalkan oleh psikolog Carl Jung (1875-1961), yang berpendapat bahwa terdapat bagian dalam diri setiap individu yang memengaruhi perilaku dan keputusan yang mereka ambil.
Pengalaman pola asuh yang buruk dapat memberikan dampak jangka panjang pada individu, terutama terkait dengan inner child mereka.Â
Beban emosional dan trauma dari masa kecil yang tidak teratasi dapat memengaruhi hubungan sosial dan kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan yang baik.Â
Memori masa lalu yang buruk dapat mempengaruhi cara individu berinteraksi dengan orang lain, seperti kesulitan membangun hubungan yang sehat, dan juga dapat menciptakan pola pikir dan perilaku yang merugikan diri sendiri.
Mungkin ada yang menganggap bahwa konsep orang tua toksik hanya omong kosong, dan yang sebenarnya ada hanyalah anak yang tak berbakti, mudah mengeluh, suka menyalahkan, atau durhaka.Â
Bahkan, beberapa orang berpikir bahwa ini hanyalah pengaruh negatif dari kebarat-baratan pada anak-anak zaman sekarang.