Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Travel Writer

Lahir di Aceh, Terinspirasi untuk Menjelajahi Indonesia dan Berbagi Cerita Melalui Karya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kesalehan Sosial dalam Idul Adha: Menggapai Persatuan dan Keadilan Sosial Melalui Ibadah Qurban

29 Juni 2023   23:51 Diperbarui: 30 Juni 2023   00:44 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Panitia sedang ,menghitung dan menyiapkan daging Qurban untuk dibagikan. Foto: Dokumentasi Maheng

Setelah lima tahun tidak bisa merayakan Idul Adha di kampung halaman, pada hari Kamis, 29 Juni 2023, saya terbangun sekitar pukul lima lewat tiga puluh pagi.

Dengan terburu-buru saya melangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk membasuh badan. Cuaca pagi, seperti biasa, dingin menusuk tulang, membuat saya menggigil, sementara suara takbir terus bergema dari lapangan Masjid At-Taqwa di Kalasan, Sleman.

Setelah salat Subuh, saya berangkat menggunakan sepeda motor menuju lapangan Masjid At-Taqwa untuk melaksanakan salat Id.   

Kalasan, dengan pepohonannya yang melimpah, menyajikan udara pagi yang segar. 

Jalanan ditutupi kabut pagi dan dipenuhi oleh orang-orang yang berjalan kaki menuju masjid untuk melaksanakan shalat berjamaah, tua dan muda, pria dan wanita.

Sementara itu, di lapangan, kerumuman manusia mulai meluap. Semua sibuk mempersiapkan diri untuk salat.

Setelah sampai di lokasi, meskipun cuaca mendung, saya tak memperdulikannya. Saya duduk dan mempersiapkan diri, ikut serta dalam takbiran.   

Imam untuk salah Id dan khatib hari ini adalah Riki Habibullah. Suaranya merdu, dan saya terpesona mendengarkan tilawah ayat-ayat suci al-Quran, baik dalam rakaat pertama dan kedua.

Setidaknya ini dapat sedikit menghilangkan kerinduan saya pada orang tua di kampung halaman. Saya tak yakin mengapa, tetapi tahun ini benar-benar bisa menikmati shalat Id secara dalam.  

Riki, dalam khotbahnya, menekankan bahwa Idul Adha tahun ini harus diartikan dengan taqwa, yang diejawantahkan melalui tindakan sehari-hari.

Tindakan yang dimaksud di sini melampaui sekadar ritual ibadah kepada Allah; ia juga meluas ke ibadah sosial, terutama terhadap masyarakat sekitar dan tetangga.  

Ini penting karena daerah tempat tinggal saya mengadakan salat Idul Adha dua kali: pada Rabu, 28 Juni, dan hari ini, Kamis, 29 Juni 2023.

"Perbedaan pendapat, perbedaan apa pun yang disifati dengan toleransi itulah kasih sayang, apalagi kita hidup di negeri Indonesia yang jelas kita harus menghargai dan saling menghormati," kata Riki.

Hikmah lain dari Idul Adha terletak pada anjuran menyembelih qurban.

Dalam konteks Indonesia, hewan qurban dapat berupa domba, kambing, sapi, atau bahkan kerbau. Dagingnya kemudian didistribusikan, dengan memberi prioritas kepada orang-orang yang kurang beruntung. 

Ini yang dikenal sebagai "saleh sosial". Saleh sosial adalah istilah yang diperkenalkan oleh Mustofa Bisri dalam bukunya berjudul Saleh Ritual Saleh Sosial.  

Konsep kesalehan sosial menekankan bahwa kesalehan seseorang tidak hanya diukur dari kesetiaannya terhadap praktik keagamaan, tetapi juga dari perlakuannya terhadap sesama manusia, tetangga, hingga lingkungan.

Ketaqwaan terhadap Sang Pencipta ditunjukkan melalui cinta dan kasih sayang terhadap ciptaan-Nya.  

Saya mengerti apa yang dimaksudkan oleh Riki. Bangsa kita lelah dengan banyaknya isu yang memecah belah. Terlebih tidak lama lagi Indonesia akan mengadakan Pilpres pada 2024 mendatang.

Pemilihan presiden sebelumnya telah memecah belah bangsa kita menjadi dua kubu yang saling bertentangan, sering disebut sebagai "Cebong" dan "Kampret," yang menjadi simbol perbedaan ideologi dan pandangan politik.  

Memang, pada saat itu, bangsa ini terpolarisasi bahkan meluas ke ranah keagamaan.

Sulit untuk diakui bahwa ada kasus di mana individu mengeksploitasi sentimen keagamaan dan terlibat dalam praktik tidak etis "jual-beli ayat" demi keuntungan perut mereka sendiri.  

Mungkin inilah yang dimaksudkan oleh Riki; dalam bahasa gampangnya, kita bisa mengatakan, "Cukup hewan yang boleh diqurbankan, bangsa ini jangan!"

Suasana Salad Id di Lapangan Masjid at-Taqwa Kalasan. Foto Dokumentasi Maheng
Suasana Salad Id di Lapangan Masjid at-Taqwa Kalasan. Foto Dokumentasi Maheng

Sebanyak tiga belas ekor sapi dan sepuluh ekor kambing dijadikan hewan qurban di Masjid Nurul Islam di Kadirojo. Sekitar pukul delapan pagi, sapi dan kambing-kambing tersebut disembelih, diiringin hujan gerimis.

para warga dengan antusias menyaksikan hewan-hewan itu disembelih satu per satu, terutama anak-anak. Momen tahunan ini memang layak untuk dirayakan.

Bagi para perantau seperti diri saya, ini adalah momen untuk menjalin ikatan dengan masyarakat lokal, yang jarang terjadi saat tinggal di kota-kota besar seperti Yogyakarta.  

Budaya gotong royong, yang merupakan pondasi bangsa kita, bahkan menjadi apa yang Sukarno sebut sebagai weltanschauung, atau pandangan dunia, yang terwujud dalam prinsip dasar negara Indonesia, Pancasila. 

Nilai budaya ini menekankan persatuan, solidaritas, dan tanggung jawab kolektif. 

Ini sejalan dengan apa yang dimaksudkan oleh Riki dengan saleh sosial dalam khotbahnya tadi pagi. Qurban, bukan hanya tentang menyembelih hewan.

Sebanyak 13 ekor Sapi dan 10 ekor Kambing dijadikan hewan Qurban, di Masjid Nurul Islam Kadirojo. Foto Dokumentasi Maheng
Sebanyak 13 ekor Sapi dan 10 ekor Kambing dijadikan hewan Qurban, di Masjid Nurul Islam Kadirojo. Foto Dokumentasi Maheng

Ini adalah momen di mana orang kaya dan yang tak berpunya saling bersatu. Ilustrasi sederhana, mungkin daging atau steak bukan barang mewah bagi orang berpunya. Bagi yang tak berpunya, bisa mengonsumsi daging sekali setahun adalah berkah luar biasa.

Qurban mengingatkan akan kesenjangan sosial-ekonomi yang tajam yang ada dalam masyarakat kita. Ini menyoroti pentingnya kasih sayang, empati, dan berbagi dengan mereka yang kurang beruntung. 

Panitia sedang ,menghitung dan menyiapkan daging Qurban untuk dibagikan. Foto: Dokumentasi Maheng
Panitia sedang ,menghitung dan menyiapkan daging Qurban untuk dibagikan. Foto: Dokumentasi Maheng

Distribusi daging qurban kepada orang-orang yang membutuhkan melambangkan semangat peduli satu sama lain, membina rasa solidaritas dan keadilan sosial. 

Melalui tindakan ini, kita dapat menjembatani kesenjangan antara latar belakang sosial-ekonomi yang berbeda dan menciptakan masyarakat yang lebih inklusif.

Namun, tentu hal ini tidak terbatas hanya pada momen Idul Qurban semata. Cinta, dukungan bersama, dan kesalehan sosial harus ditanamkan secara berkelanjutan.  

Sama seperti otot yang bisa dilatih, sensitivitas sosial juga bisa dikembangkan melalui latihan yang konsisten. Qurban dapat menjadi katalisator atau titik awal untuk proses ini. 

Dengan harapan, qurban dapat menginspirasi individu untuk merenungkan esensi pengorbanan, empati, dan ketulusan. 

Di sisi lain, hal ini berkaitan dengan bulan Juni, karena Idul Adha tahun ini bertepatan dengan bulan kelahiran Pancasila. Mari kita akhiri bulan yang penuh semangat ini, yang dikenal sebagai "Bulan Bung Karno," dengan merayakan persatuan dan solidaritas.

Dengan merangkul sesama dalam bingkai Pancasila dan nilai-nilai kesalehan sosial, kita dapat berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, toleran, dan sejahtera.  

***

Jika Anda telah sampai di sini, terima kasih telah membaca. Jangan ragu untuk meninggalkan kritik dan saran di kolom komentar agar saya dapat menulis dengan lebih baik lagi. [Mhg].

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun