Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Author

Redaktur di Gusdurian.net dan CMO di Tamasya Buku. Penulis feature dan jurnalisme narasi di berbagai media.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mahasiswa KKN Diusir: Bukti Pendidikan Kita Telah Kehilangan Kecerdasan Emosional

28 Juni 2023   16:50 Diperbarui: 28 Juni 2023   16:55 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pengalaman saya KKN di Balai Desa Wonokerto, Foto: Dokumentasi #Poskoria

Entah apa yang ada di pikiran mahasiswa saat ini, setelah sebelumnya sebanyak 15 mahasiswa dari Universitas Jambi dihukum karena menghina Desa Kubu Kandang tempat mereka menyelenggarakan Kuliah Kerja Nyata (KKN).

Para mahasiswa KKN yang mencela nama desa itu bahkan dikenakan denda adat berupa kambing, beserta selemak semanis, pisau sebilah, kain putih sekabung, asam-asaman, dan sirih seminang lengkap.

Kini, kejadian serupa kembali terulang. Sembilan mahasiswa dari Universitas Negeri Padang, yang seharusnya menjalani KKN di Bungus Teluk Kabung, Kota Padang, Sumatera Barat, justru diusir oleh masyarakat setempat setelah menyindir fasilitas yang ada di daerah tersebut. 

Lantas pertanyaan muncul dalam pikiran saya, bukankah mahasiswa KKN itu seharusnya jadi agen of change dalam bentuk pengabdiannya kepada masyarakat?  

Bukankah tugas mereka adalah membawa perubahan melalui program-program yang mereka jalankan, sehingga ketika mereka kembali ke kampus, masyarakat dapat merasakan dampak positif yang berkelanjutan dari program-program yang telah mereka susun?

Dalam benak saya, masalah minimnya fasilitas, keterbatasan akses, atau persoalan lain yang dihadapi oleh masyarakat seharusnya menjadi bahan evaluasi yang kemudian menjadi landasan untuk merancang program-program yang dapat mengatasi penderitaan masyarakat akibat masalah tersebut.  

Jika mahasiswa hanya menginginkan fasilitas yang baik, akses internet yang lancar, dan kenyamanan semata, bukankah itu lebih mirip staycation, liburan, holiday atau perjalanan wisata? 

Kegiatan KKN sendiri telah dilaksanakan sejak tahun akademik 1971/1972 sebagai bentuk pengabdian mahasiswa kepada masyarakat. Pada awalnya, kegiatan ini diprakarsai oleh Universitas Gajah Mada, Universitas Hasanudin, dan Universitas Andalas. 

Namun, upaya pengabdian kepada masyarakat semakin ditingkatkan setelah Presiden Republik Indonesia pada bulan Februari 1972 mengeluarkan anjuran dan dorongan kepada setiap mahasiswa untuk bekerja di desa dalam jangka waktu tertentu. 

Mahasiswa diharapkan tinggal dan membantu masyarakat pedesaan dalam memecahkan permasalahan pembangunan sebagai bagian integral dari kurikulum mereka. 

Pengabdian kepada masyarakat merupakan salah satu komponen penting dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. 

Tri Dharma Perguruan Tinggi merujuk pada tiga kewajiban utama yang harus diemban oleh perguruan tinggi, yaitu Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian dan Pengembangan, serta Pengabdian kepada Masyarakat. 

Dokumentasi pengalaman saya KKN di Masjid Desa Wonokerto, Foto: Dokumentasi #Poskoria
Dokumentasi pengalaman saya KKN di Masjid Desa Wonokerto, Foto: Dokumentasi #Poskoria

Dalam konteks pengabdian kepada masyarakat, perguruan tinggi memiliki tanggung jawab untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki guna memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi masyarakat luas. 

Salah satu tujuan utama dari KKN adalah untuk meningkatkan empati dan kepedulian mahasiswa terhadap masyarakat. Hal ini dikarenakan, pada akhirnya, mahasiswa akan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat itu sendiri. 

Universitas dapat dianggap sebagai sebuah laboratorium raksasa yang diciptakan untuk menghasilkan generasi yang tidak hanya memiliki kecerdasan akademik, tetapi juga sensitivitas terhadap lingkungan, kondisi sosial, dan keberagaman budaya yang ada di sekitar mereka.

Dalam konteks ini, KKN berfungsi sebagai sebuah "latihan" atau uji teori dari apa yang telah dipelajari di dalam kelas. Melalui KKN, mahasiswa memiliki kesempatan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang telah mereka peroleh dalam konteks yang nyata. 

Mereka dapat merasakan secara langsung tantangan dan kompleksitas yang dihadapi oleh masyarakat. Mereka belajar untuk beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda, berinteraksi dengan berbagai lapisan masyarakat, dan menangani masalah-masalah yang dihadapi secara langsung.

Adalah ironis dan mungkin terasa lucu ketika mahasiswa yang sedang menjalani KKN justru menyindir atau mengeluhkan tentang fasilitas, akses, atau hal-hal lain yang ada di masyarakat tempat mereka berada. 

Padahal, tujuan utama KKN di daerah tersebut sebenarnya adalah untuk menangani dan menjawab semua permasalahan yang ada itu sendiri. 

Seharusnya, mahasiswa yang terlibat dalam KKN menyadari bahwa mereka bukanlah wisatawan atau peserta liburan, tetapi agen perubahan yang bertugas untuk membantu masyarakat dalam memecahkan masalah.

Keluhan mahasiswa terhadap fasilitas merupakan cerminan kehilangan kemampuan berpikir kritis dan kepekaan dalam sistem pendidikan kita. 

A. M. Safwan, Koordinator JAKFI Nusantara, dalam kuliah umum Filsafat Pendidikan, yang diselenggarakan secara daring pada Rabu, 14 Juni 2023 yang lalu,  menyoroti bahwa pendidikan saat ini seharusnya mendorong kreativitas dan tidak hanya fokus pada peningkatan Intelligence Quotient (IQ).

Karena jika pendidikan hanya mengedepankan kecerdasan Intelligence, maka kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) justru lebih unggul daripada manusia.

Sayangnya, pendidikan kita telah kehilangan aspek Emotional Quotient (EQ) dan Transcendental Quotient (TQ), yaitu kecerdasan emosional dan spiritual, yang berdampak pada banyak mahasiswa menghadapi kesulitan dalam beradaptasi dan bahkan menganggur setelah lulus.

Ini bukan isapan jempol belaka, saya bisa mencontohkan, misalnya kamu mahasiswa akuntansi. Perkembangan teknologi telah memungkinkan kehadiran aplikasi akuntansi yang canggih, saat ini sudah sangat banyak aplikasi akuntan yang bisa membuat laporan keuangan yang jauh lebih effisien dan akurat ketimbang mahasiswa lulusan akuntansi. 

Aplikasi AI itu hanya perlu dibayar mulai 500 ribu perbulan, bayangkan jika perusahaan mempekerjakan manusia, harus menggajinya berdasarkan UMP beserta tunjangan lainnya. 

Namun, jangan lupa bahwa dalam kehebatan teknologi ini, ada hal yang tak bisa dibeli: rasa, jiwa, dan kecerdasan emosional. Mesin tidak punya rasa empati, tidak pernah paham apa itu kecerdasan emosional atau spiritual. 

Jadi, jika kita sebagai mahasiswa kehilangan EQ dan TQ, apa bedanya kita dengan mesin? 

Kehilangan EQ dan TQ memang memiliki dampak yang signifikan terhadap mahasiswa, terutama dalam hal kehilangan kreativitas dalam memecahkan masalah. 

Tanpa kecerdasan emosional dan spiritual yang kuat, mahasiswa dapat kehilangan kemampuan untuk berpikir out-of-the-box dan menciptakan solusi inovatif. 

Akibatnya, menciptakan banyak pengangguran baru, karena mesin-mesin canggih siap mengambil alih pekerjaan manusia.

***

Jika Anda telah sampai di sini, terima kasih telah membaca. Jangan ragu untuk meninggalkan kritik dan saran di kolom komentar agar saya dapat menulis dengan lebih baik lagi. [Mhg].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun