Namun, di balik fasad yang tampak biasa, suasana di dalamnya terkesan gelap dan mencekam. Ruangan-ruangan kecil terbagi menjadi delapan kamar yang dipisahkan dengan sekat-sekat.Â
Setiap kamar kecil ini diberi nama hewan, seperti Bilik Anjing, Kerbau, Harimau, Monyet, Kambing, dan sebagainya.
Di ruang-ruang kecil tersebut, terdapat benda-benda yang digunakan untuk menyiksa korban, seperti balok kayu dan kabel listrik. Tidak hanya itu, bahkan di halaman rumah terdapat beberapa kolam yang digunakan untuk menerapkan metode penyiksaan terhadap para korban.Â
Rumoh Geudong sendiri memiliki bentuk rumah panggung khas rumah adat Aceh.Â
Bagian belakangnya memiliki sebuah bangunan besar yang membuat masyarakat menamakannya Rumoh Geudong. Nama "Geudong" sendiri dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai "gedung" yaitu rumah orang kaya. Â
Rumoh Geudong awalnya, memang milik seorang tokoh masyarakat dan pemiliknya termasuk dalam kalangan orang kaya di Aceh.
Dalam buku berjudul Fakta Bicara, Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005, ditulis oleh Qahar Muzakar dan Mellyan serta dikutip oleh Daspriani Y. Zamzami dalam laporannya di Kompas.com, Rumoh Geudong sebenarnya merupakan warisan dari seorang ulee balang lantas diwarisi oleh cucunya bernama Almarhum T A Rahman Ahmad.
Ulee balang adalah kepala pemerintahan yang ditetapkan secara turun-temurun dalam kesultanan Aceh. Â
Mereka memimpin sebuah daerah atau sago, merupakan wilayah setingkat kabupaten dalam struktur pemerintahan Indonesia saat ini.
Pemegang jabatan ulee balang biasanya diberi gelar Teuku untuk laki-laki atau Cut untuk perempuan. Â
Mengganti Rumoh Geudong dengan living park, tidak lebih dari sekadar material giving, tidak akan pernah mengobati psikis para penyintas, termasuk diri saya sendiri yang lahir dan besar di Aceh.Â