Persepsi tersebut muncul karena pemerintah pusat cenderung melihat Aceh hanya sebagai "Provinsi Termiskin" yang memerlukan bantuan materi, sehingga upaya-upaya seperti pemberian Dana Otonomi Khusus dianggap sudah cukup untuk menyelesaikan masalah.Â
Sejak Hasan Tiro memulai pemberontakan dengan mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 4 Desember 1976, hingga tercapainya perdamaian pada tahun 2005, Aceh telah mengalami berbagai fase "pembersihan kemanusiaan" yang berlangsung dari tahun 1989 hingga 1998.Â
Selama periode ini, terjadi berbagai bentuk penyiksaan, pemelaratan, penyengsaraan, pembunuhan, dan bahkan pembantaian yang melanda daerah tersebut.
Salah satu tragedi yang sangat terkenal terjadi di Aceh adalah tragedi Rumoh Geudong, dari sekian banyak tragedi yang berhasil diungkap oleh aktivis Hak Asasi Manusia (HAM).
Periode dimana terjadi pelanggaran HAM yang didefinisikan oleh rakyat Aceh sebagai era pembersihan etnik Aceh (Genosida). Hal itu adalah konsekuensi logis dari kebrutalan aparat, yang tidak lagi memilah mana GAM dan mana masyarakat sipil.
Untuk kamu yang belum tau, kejahatan kemanusiaan di Rumoh Geudong begitu mengerikan, dengan setidaknya 109 penduduk sipil menjadi korban penyiksaan yang keji. Sementara 74 perempuan diperkosa secara brutal oleh aparat TNI dan Polri selama masa konflik di Aceh.
Sembilan orang kehilangan nyawa mereka di Rumoh Geudong, sedangkan delapan orang lainnya tak pernah kembali ke pelukan keluarga mereka hingga hari ini.
Mengutip dari buku yang ditulis oleh Abdul Manan, dkk berjudul From Fears to Tears (Kasus Kekerasan Pada Tragedi Rumoh Geudong, Krueng Arakundoe dan Jambo Keupok), Rumoh Geudong hanya merupakan salah satu dari puluhan kamp penyiksaan militer yang tersebar di Aceh pada masa Operasi Militer (DOM).
Kala itu, Rumoh Geudong dijadikan sebagai basis Pos Satuan Taktis dan Strategis (Pos Sattis) selama masa DOM di Aceh.
Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa para militer yang sedang meniti karir membawa pulang tidak hanya harta benda milik masyarakat sipil Aceh, tetapi juga manusia Aceh yang dituduh sebagai anggota Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) tanpa proses hukum dan bukti.
Dalam buku Rumoh Geudong: Tanda Luka Orang Aceh yang ditulis oleh Dyah Rahmani, terungkap sejumlah tindak penyiksaan yang mengerikan. Para militer pada masa itu melakukan perlakuan kejam terhadap masyarakat sipil.