Perkembangan terkini dalam industri e-commerce mengindikasikan bahwa platform-platform marketplace (lokapasar) mulai ditinggalkan sebagai saluran penjualan utama.
Bahkan, tren ini tampak terjadi di berbagai belahan dunia.Â
Di Amerika Serikat, merek-merek ternama seperti Nike, IKEA, dan Birkenstock secara masif meninggalkan Amazon, salah satu platform lokapasar terbesar di dunia.Â
Bukan hanya di Amerika Serikat, Indonesia juga mengalami tren serupa. Pemilik brand di negeri ini semakin intensif beralih dari marketplace ke "platform sendiri," seperti website. Â
Sejak tahun 2021, pemilik brand  mulai merasa gerah dengan berbagai permasalahan yang muncul dalam penggunaan lokapasar.
Mulai dari persaingan harga yang tidak sehat, hasil penjualan yang tidak langsung cair juga menjadi masalah yang mengganggu keuangan dan pengembangan bisnis bagi beberapa brand. Â Â
Selain itu, masalah pembajakan produk juga menjadi perhatian utama.Â
Dalam industri perbukuan, masalah pembajakan buku telah menjadi perhatian serius sejak tahun 2019. Konsorsium Penerbit Jogja, sebagai salah satu kelompok penerbit di Jogja, bahkan sampai melaporkan kasus pembajakan buku ke pihak kepolisian.Â
Pada tahun yang sama, Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) menerima laporan tentang pelanggaran hak cipta dari 11 penerbit, dengan estimasi kerugian mencapai angka Rp116,050 miliar.Â
Namun, angka tersebut hanyalah gambaran kecil dari potensi kerugian yang sebenarnya, mengingat tidak semua kasus pembajakan buku dilaporkan.Â
Kondisi ini menunjukkan bahwa marketplace dianggap kurang tegas dalam menangani masalah pembajakan buku.Â
Saat ini penjual yang diduga terlibat dalam pembajakan buku di marketplace masih hanya mendapatkan teguran atau penurunan produk sebagai sanksi.
Jika lokapasar di Indonesia mau mengambil pendekatan yang lebih serius terhadap pembajakan, maka penindakan terhadap pelaku harus lebih tegas dan berdampak signifikan.Â
Langkah-langkah yang dapat diambil antara lain adalah penghapusan akun pelaku pembajakan dan memasukkan KTP mereka ke dalam daftar hitam, sehingga mereka tidak dapat lagi melakukan aktivitas jual-beli di platform tersebut.Â
Dengan mengambil tindakan yang tegas seperti ini, akan ada efek jera yang lebih kuat dan pelaku pembajakan akan berpikir dua kali sebelum melanggar hak cipta.
toko buku @mabookoutletcom berhasil bertahan hingga saat ini.
Sebagai penjual di lokapasar, saya telah menghadapi berbagai tantangan dalam menjalankan bisnis. Namun syukur alhamdulillah,Berdasarkan pengalaman pribadi saya, saya melihat bahwa kebanyakan pembeli buku di marketplace telah kehilangan kepercayaan terhadap keaslian produk, terutama ketika berhubungan dengan toko-toko kecil seperti kami.Â
Pertanyaan seputar keaslian produk seperti "Apakah produk ini original?" seharusnya tidak lagi menjadi hal yang sering muncul dalam pertanyaan yang sering diajukan (FAQ) di lokapasar.Â
Saya sendiri merasa jenuh harus menjawab pertanyaan tersebut berulang kali, meskipun sudah jelas tertera label [ORI] pada judul produk yang kami tampilkan.Â
Kehilangan kepercayaan konsumen terhadap keaslian produk di marketplace adalah masalah yang serius dan mempengaruhi penjualan kami. Â Sayangnya, para konsumen telah terpengaruh oleh "psikologi murah" yang tertanam dalam pikiran mereka karena terbiasa membeli produk yang tidak original.Â
Hal ini menyebabkan ketika mereka mempertimbangkan untuk membeli produk original, mereka cenderung merasa bahwa harga tersebut "terlalu mahal" atau tidak sebanding.
Terima kasih telah membaca tulisan saya sejauh ini.Â
Saya ingin memberikan perspektif yang sedikit berbeda bagi kamu. Paradigmamu dalam berbelanja perlu diubah. Ketika kamu membeli sesuatu, pertimbangan utama seharusnya didasarkan pada "kebutuhan" bukan "keinginan", kecuali jika semua kebutuhanmu sudah terpenuhi. Â
Selanjutnya, untuk merasa bahwa kamu membeli sesuatu dengan harga yang terjangkau, jangan hanya melihat barang tersebut sebagai benda fisik semata. Misalnya, ketika kamu membeli sebuah buku, jangan hanya menganggap bahwa kamu hanya membeli kertas yang ditempeli tinta.
Sebuah buku berkualitas melalui proses yang panjang dan melibatkan banyak usaha.Â
Dari riset, menulis, mendesain, mengedit, berdebat, diskusi, hingga menjadi sebuah buku yang memiliki potensi untuk mengubah hidupmu.
Bayangkan jika kamu berada dalam posisi penulis atau penerbit. Setelah bekerja keras, karyamu dicuri oleh orang lain dan dijual secara ilegal. Sakit tidak?
Hal ini tentu berlaku tidak hanya pada produk buku, tetapi juga pada produk lainnya, seperti fashion, makanan, atau bahkan apapun yang melibatkan jerih payah dalam proses menciptakannya.Â
Misalnya, dalam industri fashion, sebuah pakaian tidak hanya terdiri dari bahan dan jahitan semata.Â
Ada pemilihan desain yang cermat, pemilihan bahan berkualitas, penjahitan yang teliti, dan serangkaian proses lainnya yang dilakukan untuk menciptakan pakaian yang baik dan berkualitas.Â
Begitu pula dengan industri makanan, sebuah hidangan tidak hanya tentang bahan-bahan mentah yang digunakan.Â
Ada penelitian, pengembangan resep, pemilihan bahan berkualitas, proses memasak yang membutuhkan keterampilan dan dedikasi, serta upaya lainnya yang dilakukan untuk menghadirkan makanan yang lezat dan bernutrisi.
Dalam setiap karya yang dihasilkan, ada pemikiran, kreativitas, dan usaha yang dilibatkan. Para kreator dan produsen berinvestasi waktu, energi, dan sumber daya mereka untuk menghasilkan produk yang memiliki nilai dan kualitas yang tinggi.Â
Dampak dari jual beli barang palsu atau buku bajakan tidak dapat dianggap remeh. Dalam kenyataannya, dampaknya sangat kompleks dan meluas ke berbagai aspek. Dampak dari masalah pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) ini tidak hanya terbatas pada sektor ekonomi, tetapi juga melibatkan reputasi dan integritas negara.
Di Indonesia, pelanggaran  HKI masih menjadi masalah yang serius. Mahkamah Agung mencatat adanya 126.675 kasus sengketa merek terkait pelanggaran HKI yang terjadi sepanjang tahun 2020.
Tingginya jumlah kasus ini menyebabkan Indonesia tetap berada dalam Priority Watch List yang dikeluarkan oleh United States Trade Representative (USTR).Â
Status ini memiliki dampak yang signifikan baik secara nasional maupun global. Secara nasional, Indonesia akan menghadapi kesulitan dalam menarik investasi karena investor akan menjadi waspada terhadap pelanggaran HKI yang sering terjadi.Â
Selain itu, secara global, citra Indonesia akan selalu terkait dengan peredaran barang palsu, yang dapat merugikan daya saing negara dalam perdagangan internasional.
Permasalahan produk bajakan bukanlah satu-satunya alasan mengapa penjual mulai meninggalkan lokapasar. Biaya administrasi yang tinggi juga menjadi faktor yang signifikan dalam keputusan ini.Â
Beberapa marketplace menetapkan tarif administrasi hingga 8%, dan ini memberikan dampak yang cukup signifikan bagi penjual, terutama penjual kecil.
Mari kita ilustrasikan secara kasar untuk memberikan gambaran lebih jelas.Â
Sebagai contoh, toko buku kecil seperti  Mabook Outlet milik saya, membeli buku secara resmi dari penerbit dengan harga 100 ribu rupiah dan mendapatkan diskon sebesar 30%. Â
Kemudian, karena adanya "Psikologi Murah" yang ada pada konsumen, saya menjual buku tersebut dengan diskon 20% di marketplace. Dengan harapan walau hanya memperoleh margin 10% (sebesar 10 ribu rupiah dari 100 ribu) tidak jadi masalah, yang terpenting adalah agar pembeli dapat terus merawat budaya membaca.Â
Namun, permasalahannya tidak sesederhana itu. Karena intensifnya promosi oleh lokapasar, akhirnya penjual yang harus jadi korban. Dari margin 10% yang diharapkan, 8% diambil sebagai biaya administrasi oleh lokapasar.Â
Dalam hal ini, marketplace mendapatkan 8 ribu rupiah sedangkan penjual hanya mendapatkan 2 ribu rupiah. Pertanyaannya, apakah ini adil?Â
Hal ini mendorong penjual hingga pemilik merek untuk beralih ke "platform sendiri" seperti media sosial hingga website, di mana mereka memiliki kontrol lebih besar atas proses penjualan dan tidak perlu membayar biaya administrasi yang tinggi.Â
Dengan demikian, mereka dapat mengoptimalkan margin keuntungan mereka dan memberikan nilai yang lebih baik kepada pelanggan mereka.
Secara keseluruhan, tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran lokapasar seperti Bukalapak, Tokopedia, Shopee, dan lainnya telah memberikan banyak manfaat bagi para brand dan penjual dalam memasarkan produk mereka.Â
Total nilai transaksi pada tahun 2020 mencapai Rp 276,87 triliun, menunjukkan betapa signifikannya peran mereka dalam industri e-commerce di Indonesia.Â
Salah satu alasan mengapa beberapa penjual masih bertahan di lokapasar adalah karena mereka dianggap "lebih aman" oleh pembeli daripada berbelanja melalui media sosial. Lokapasar menyediakan infrastruktur dan mekanisme keamanan yang meminimalkan risiko penipuan atau transaksi yang merugikan pembeli.Â
Namun, penting untuk diingat bahwa saat ini media sosial juga telah bertransformasi menjadi pesaing baru dengan menciptakan "marketplace versi mereka sendiri". Hal ini menunjukkan bahwa persaingan dalam industri e-commerce terus berkembang dan berubah seiring waktu.Â
Jika lokapasar tidak mampu beradaptasi dan berbenah diri, maka mereka harus siap menghadapi risiko kehilangan pangsa pasar.Â
Beberapa marketplace raksasa yang telah lama beroperasi juga tidak terlepas dari risiko tersebut, seperti yang terjadi pada JD.ID, Blanja.com, dan Elevenia yang telah menghentikan operasional di Indonesia mereka setelah bertahun-tahun berkecimpung di industri ini.
***
Jika Anda telah sampai di sini, terima kasih telah membaca. Jangan ragu untuk meninggalkan kritik dan saran di kolom komentar agar saya dapat menulis dengan lebih baik lagi. [Mhg].Â