Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Author

Redaktur di Gusdurian.net dan CMO di Tamasya Buku. Penulis feature dan jurnalisme narasi di berbagai media.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Krisis Lahan Makam di Jakarta: Konsep Makam Jannatul Ma'la dan Capsula Mundi Jadi Alternatif Solusi?

18 Juni 2023   16:40 Diperbarui: 19 Juni 2023   15:12 1504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makam bayi Kambira di Tana Toraja, jelasah bayi dimasukan kedalam pohon tarra. Foto: Kompas.com / Gabriella Wijaya

Jakarta menghadapi ancaman krisis lahan makam yang semakin mendesak. Setiap harinya, sekitar 100 jenazah dimakamkan di ibu kota, menyebabkan permintaan lahan makam semakin meningkat 

Setiap petak makam memerlukan luas lahan sekitar 5,5 meter persegi. Dengan rincian, 3,75 meter persegi dialokasikan untuk petak makam itu sendiri, sedangkan sisanya digunakan untuk sarana dan prasarana seperti jalan di sekitarnya. 

Jika kita berhitung, pelayanan makam untuk 100 jenazah setiap hari, dalam satu tahun dibutuhkan luas lahan sekitar 200.750 meter persegi atau setara dengan 20,075 hektar.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menetapkan target memiliki 794,83 hektar lahan makam di Jakarta hingga tahun 2035. Namun, hingga akhir tahun 2017, baru sekitar 611,59 hektar lahan yang berhasil dibebaskan oleh Dinas Kehutanan DKI. 

Artinya, masih ada sekitar 183,24 hektar lahan yang belum tersedia. 

Dari luas lahan makam yang telah dibebaskan, sekitar 60 persen atau sekitar 365,13 hektar sudah digunakan. Sementara itu, hanya tersedia 38,3 hektar lahan yang siap pakai, sementara sisanya sebesar 208,16 hektar masih dalam proses persiapan. 

Saya sempat berbincang-bincang dengan beberapa teman yang tinggal di Jakarta, salah satunya Sis EA.

Menurut kisah yang dibagikan oleh Sis EA, ia merasa beruntung karena masih bisa memanfaatkan tanah wakaf untuk pemakaman anaknya. 

Bahkan, ayahnya pun telah dimakamkan di lokasi yang sama. Rumahnya terletak di area perumahan perkampungan yang memiliki lahan wakaf yang disediakan khusus untuk warga di sekitar.

Melalui skema ini, biaya pemakaman dapat dikurangi menjadi sekitar 2,5 juta, yang mencakup biaya lahan dan penggalian. 

Namun, harga tersebut hanya berlaku bagi warga yang memiliki KTP dan telah terdaftar di pemakaman tersebut. 

Selain itu, mereka juga diwajibkan membayar iuran rutin sebesar 20 ribu per kepala keluarga untuk perawatan makam. 

Namun, bagi warga yang tidak terdaftar, situasinya berbeda. Mereka akan dikenakan biaya sekitar 10 juta untuk proses pemakaman. Selain biaya lahan dan penggalian, mereka juga harus menghadapi biaya tambahan untuk penataan makam seperti batu nisan dan rumput makam, yang umumnya dikenakan sekitar 1,5 juta. 

Sis R menceritakan pengalaman yang berbeda terkait pemeliharaan makam orang tuanya. 

Menurut ceritanya, ia harus memperpanjang makam setiap tiga tahun sekali, yang pada dasarnya mirip dengan membayar sewa tanah. Harganya pun berbeda berdasarkan kelas dan lokasi makam. 

Makam yang mudah diakses, terutama yang berada di bagian depan, memiliki harga yang jauh lebih mahal daripada makam yang terletak di bagian dalam kompleks pemakaman. 

Saya iseng bertanya, "Bagaimana jika tidak melakukan perpanjangan sewa?" Sis R menjawab, "Jika tidak memperpanjang, maka kemungkinan makamnya akan hilang dan bisa digunakan oleh orang lain."

Analoginya, mirip dengan situasi ketika seseorang tidak mampu membayar sewa kos-kosan, yang berakhir dengan pengusiran dari tempat tinggal. 

Terdapat sedikit kesamaan antara kisah Sis R dan pengalaman pribadi dalam menghadapi kesulitan membayar kos-kosan. Lah kok curhat.

Informasi yang diberikan oleh Sis R tentang perpanjangan sewa lahan makam memang benar adanya. Menurut aturan yang berlaku, perpanjangan sewa lahan makam dapat diajukan paling lama setiap tiga tahun.  

Dalam proses perpanjangan sewa lahan makam, terdapat beberapa dokumen yang perlu dipersiapkan. 

Rincian mengenai persyaratan dan prosedur perpanjangan sewa lahan makam ini diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pemakaman. Jika sewa lahan makam tidak diperpanjang, lahan tersebut akan digunakan sebagai makam baru bagi orang lain.

Saat berdiskusi dengan seorang kenalan lainnya, ia berbagi pemikiran, "Mengapa tidak membuat makam seperti yang ada di Arab Saudi?" Bahwa di Makkah sendiri, makam-makam dibongkar setiap 4 tahun sekali. 

Salah satu makam yang dimaksud adalah Makam Jannatul Ma'la di Kota Makkah, Arab Saudi. Makam ini terletak sekitar 1 km dari Masjidil Haram dan digunakan untuk pemakaman jenazah orang yang meninggal di Makkah. 


Di Makam Jannatul Ma'la, terdapat juga jenazah K.H. Maimun Zubair, seorang ulama besar Indonesia yang wafat di Makkah pada tanggal 6 Agustus 2019.  

Di sini, juga terdapat makam seorang tokoh ulama besar, yaitu Syekh Nawawi Al-Jawi Al-Bantani (1813-1898). 

Syekh Nawawi Al-Bantani adalah salah satu dari tiga ulama Indonesia yang memiliki kehormatan mengajar di Masjid Al-Haram di Makkah Al-Mukarramah pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. 

Dua ulama lainnya adalah muridnya, yaitu Ahmad Khatib Minangkabau dan Syekh Mahfudz Termas. 

Selama hidupnya, Syekh Nawawi menjadi pengajar di Masjid al-Haram hingga akhir hayatnya pada tahun 1898. Setelah wafat, peran pengajaran tersebut dilanjutkan oleh kedua muridnya yang juga terkenal. 

Dengan reputasi dan kontribusinya yang luar biasa, tak heran jika Syekh Nawawi dimakamkan di dekat makam istri Nabi Muhammad, yaitu Khadijah r.a, di Ma'la.

IMPLEMENTASI KONSEP MAKAM seperti di Arab Saudi mungkin sulit diterapkan di Indonesia saat ini karena perbedaan budaya yang signifikan.

Namun, tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti, ketika lahan makam benar-benar habis, ide tersebut dapat menjadi pertimbangan sebagai solusi alternatif.  

Terkait pertanyaan mengenai ke mana tulang-belulang dibawa setelah 4 tahun, hal tersebut masih menjadi misteri di Makam Jannatul Ma'la sendiri. 

Prosedur dan praktik yang terkait dengan pemindahan atau penanganan tulang-belulang setelah jangka waktu tertentu dapat berbeda-beda dalam konteks setiap tempat.

Di Desa Trunyan, Bali misalnya, terdapat tradisi unik yang dikenal sebagai Mepasah. Dalam tradisi ini, jenazah tidak dimakamkan di dalam tanah seperti kebanyakan budaya, melainkan diletakkan di dekat pohon Taru Menyan yang telah berdiri kokoh selama ribuan tahun.

Menurut tradisi Mepasah, mayat dibiarkan secara alami hancur di lubang sedalam 10-20 cm. Ketika hanya tulang-tulang yang tersisa, proses pemindahan mayat baru dilakukan. Tulang-tulang tersebut ditempatkan dengan cara yang khas dalam lingkungan pemakaman. 

Acak Saji di Desa Trunyan, Bali. Foto: Flickr / Petter Thorden via kumparan.com
Acak Saji di Desa Trunyan, Bali. Foto: Flickr / Petter Thorden via kumparan.com
Tulang-tulang badan, tangan, dan kaki ditumpuk di samping pintu gerbang. Di sisi lain, kepala mayat diletakkan di atas fondasi batu yang kuat dan diatur berjejer dengan kepala yang lain. 

Tradisi pemakaman di Suku Toraja, khususnya melalui tradisi Batu Lemo, juga tidak kalah menarik.

Pemakaman ini melalui proses penyimpanan peti mati dalam lubang-lubang di tebing batu, bukan dengan menguburkannya di dalam tanah.

Setiap lubang di tebing batu biasanya diperuntukkan untuk satu keluarga.

Setelah peti mati ditempatkan di dalam lubang, lubang tersebut ditutup dengan kayu dan didekorasi dengan patung di depannya. Ini adalah cara yang unik dan khas bagi Suku Toraja untuk menghormati dan mengenang para leluhur mereka. 

Makam bayi Kambira di Tana Toraja, jelasah bayi dimasukan kedalam pohon tarra. Foto: Kompas.com / Gabriella Wijaya
Makam bayi Kambira di Tana Toraja, jelasah bayi dimasukan kedalam pohon tarra. Foto: Kompas.com / Gabriella Wijaya

Selain tradisi Batu Lemo, Suku Toraja yang menganut kepercayaan Aluk Tolodo juga memiliki tradisi pemakaman yang disebut Passiliran. 

Tradisi ini melibatkan pemakaman bayi yang meninggal dengan cara menempatkannya di dalam lubang pohon tarra dalam posisi meringkuk, menyerupai posisi di dalam rahim. Lubang pohon tarra dibuat mengikuti arah rumah bayi yang meninggal, dan kemudian ditutup dengan ijuk.

UPAYA MENCIPTAKAN alternatif pemakaman yang ramah lingkungan, dua desainer Italia, Anna Citelli dan Raoul Bretzel, telah mengembangkan metode inovatif yang mereka sebut sebagai Capsula Mundi.

Capsula Mundi adalah sebuah eco-pod atau kapsul lingkungan yang dirancang untuk mengubur orang yang telah meninggal. 

Eco-pod ini terbuat dari bahan plastik pati yang mudah terurai, seperti pati kentang dan jagung. Konsepnya sangat unik, dimana kapsul ini digunakan untuk membungkus jenazah dengan posisi yang menyerupai posisi janin dalam kandungan. 

Keunikan Capsula Mundi tidak hanya terbatas pada ukuran manusia. Anna dan Raoul juga merancang ukuran yang lebih kecil untuk memasukkan abu jenazah, memberikan opsi alternatif bagi mereka yang memilih kremasi sebagai metode pemakaman.  

Biodegradable burial pod memory forest capsula mundi. Foto: boredpanda.com
Biodegradable burial pod memory forest capsula mundi. Foto: boredpanda.com

Meskipun pemakaman Capsula Mundi dianggap ramah lingkungan dan tidak menghabiskan banyak lahan makam, dimana pemakaman pada umumnya bisa menghabiskan banyak lahan yang akan berdampak pada kehidupan bumi di masa mendatang. 

Bayangkan, kamu harus merogoh kocek untuk membeli peti mati yang pada akhirnya hanya akan terkubur dan merenggut nyawa pohon-pohon yang masih hidup. 

Tidak hanya itu, proses kremasi juga mengonsumsi energi dalam jumlah yang tak terbayangkan. Energi yang diperlukan untuk kremasi setara dengan kebutuhan energi seseorang dalam sebulan penuh. 

Selain itu, kuburan tradisional juga menyerap air dan membutuhkan perawatan yang memakan biaya tidak sedikit.

Namun, di tengah mayoritas masyarakat Muslim di Indonesia, hal tersebut belum menjadi alasan yang meyakinkan untuk mengaplikasikan pemakaman dengan konsep Capsula Mundi. 

Meskipun di Indonesia sendiri terdapat konsep yang mirip dengan Capsula Mundi yang disebut Passiliran, seperti yang sudah disinggung sebelumnya.  

Salah satu solusi yang masuk akal untuk mengatasi krisis lahan makam saat ini adalah dengan menerapkan sistem tumpang kuburan. Konsep ini memberikan alternatif yang efisien dalam mengatasi permasalahan tersebut. 

Sistem tumpang kuburan melibatkan proses pemakaman dengan menumpuk jenazah di dalam satu liang lahat. 

Dalam sistem ini, sebuah makam baru dapat ditumpangi jika sudah berlalu tiga tahun sejak pemakaman terakhir, dan tentunya dengan persetujuan dari keluarga jenazah yang akan ditumpangi.

Aturan yang mengatur pemakaman tumpang ini tertuang dalam Perda Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pemakaman.  

Dengan menerapkan sistem tumpang kuburan, lahan makam dapat dimanfaatkan secara lebih efisien, mengurangi tekanan terhadap ketersediaan lahan, dan memberikan solusi praktis dalam menghadapi krisis lahan makam. 

Namun, solusi tumpang makam juga memiliki batas waktu. Karena menumpang makam juga lambat laun akan terisi penuh.

Jadi, apakah Makam Jannatul Ma'la atau konsep Capsula Mundi dari Anna Citelli dan Raoul Bretzel akan menjadi solusi masa depan? Kemungkinan besar, jawabannya adalah ...  

***

Jika Anda telah sampai di sini, terima kasih telah membaca. Jangan ragu untuk meninggalkan kritik dan saran di kolom komentar agar saya dapat menulis dengan lebih baik lagi. [Mhg].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun