Namun, tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti, ketika lahan makam benar-benar habis, ide tersebut dapat menjadi pertimbangan sebagai solusi alternatif. Â
Terkait pertanyaan mengenai ke mana tulang-belulang dibawa setelah 4 tahun, hal tersebut masih menjadi misteri di Makam Jannatul Ma'la sendiri.Â
Prosedur dan praktik yang terkait dengan pemindahan atau penanganan tulang-belulang setelah jangka waktu tertentu dapat berbeda-beda dalam konteks setiap tempat.
Di Desa Trunyan, Bali misalnya, terdapat tradisi unik yang dikenal sebagai Mepasah. Dalam tradisi ini, jenazah tidak dimakamkan di dalam tanah seperti kebanyakan budaya, melainkan diletakkan di dekat pohon Taru Menyan yang telah berdiri kokoh selama ribuan tahun.
Menurut tradisi Mepasah, mayat dibiarkan secara alami hancur di lubang sedalam 10-20 cm. Ketika hanya tulang-tulang yang tersisa, proses pemindahan mayat baru dilakukan. Tulang-tulang tersebut ditempatkan dengan cara yang khas dalam lingkungan pemakaman.Â
Tulang-tulang badan, tangan, dan kaki ditumpuk di samping pintu gerbang. Di sisi lain, kepala mayat diletakkan di atas fondasi batu yang kuat dan diatur berjejer dengan kepala yang lain.Â
Tradisi pemakaman di Suku Toraja, khususnya melalui tradisi Batu Lemo, juga tidak kalah menarik.
Pemakaman ini melalui proses penyimpanan peti mati dalam lubang-lubang di tebing batu, bukan dengan menguburkannya di dalam tanah.
Setiap lubang di tebing batu biasanya diperuntukkan untuk satu keluarga.
Setelah peti mati ditempatkan di dalam lubang, lubang tersebut ditutup dengan kayu dan didekorasi dengan patung di depannya. Ini adalah cara yang unik dan khas bagi Suku Toraja untuk menghormati dan mengenang para leluhur mereka.Â