Tingginya jumlah perokok berdampak buruk secara ekonomi, dengan lebih dari 70 persen dana BPJS Kesehatan digunakan untuk mengatasi penyakit tidak menular akibat rokok. Â
Merokok juga menjadi faktor risiko utama dalam penyakit tidak menular seperti jantung, stroke, diabetes, ginjal, dan kanker. Kebiasaan merokok, pola hidup tidak sehat, dan kurangnya aktivitas fisik memperburuk masalah ini.Â
Dari 10 penyebab kematian utama, 8 di antaranya adalah penyakit tidak menular.Â
Harga rokok yang terus meningkat setiap tahun juga memiliki dampak signifikan terhadap kemiskinan. Dalam konteks ini, rokok menjadi salah satu faktor utama yang menyumbang tingginya tingkat kemiskinan, dengan persentase sebesar 11,38% di pedesaan dan 12,22% di perkotaan.
Kenaikan harga rokok berkontribusi pada beban finansial yang semakin berat bagi para konsumen, mempengaruhi kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar dan meningkatkan risiko kemiskinan.Â
Lebih baik tidak makan, daripada tidak merokok.
Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah untuk menurunkan konsumsi rokok dengan menaikkan cukai rokok sebesar 23 persen pada tahun 2020. Tindakan ini sejalan dengan rekomendasi yang diberikan oleh laporan Bank Dunia yang berjudul Curbing the Epidemic: Governments and the Economics of Tobacco Control.Â
Laporan tersebut menekankan bahwa peningkatan harga rokok melalui kenaikan cukai merupakan strategi utama yang harus dilakukan untuk mengurangi konsumsi tembakau. Â
Perokok biasanya berdalih, bahwa rokok sebenarnya sehat dan bahwa kebijakan pemerintah terkait rokok adalah hasil dari kolusi (kongkalikong) dengan perusahaan farmasi merupakan klaim yang tidak memiliki dasar yang kuat dalam penelitian ilmiah.
Seringkali ditambah dengan anekdot "merokok mati, enggak merokok juga mati, lebih baik merokok sampai mati" merupakan upaya untuk meremehkan risiko yang sebenarnya.Â
Meskipun benar bahwa kematian adalah bagian alami dari siklus kehidupan, fakta tetap bahwa merokok dapat mempercepat terjadinya penyakit serius dan menyebabkan kematian.