Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Travel Writer

Lahir di Aceh, Terinspirasi untuk Menjelajahi Indonesia dan Berbagi Cerita Melalui Karya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Krisis Multikulturalisme: Transformasi Pendidikan dan Pengakaran Ideologi Pancasila

4 Juni 2023   12:34 Diperbarui: 4 Juni 2023   12:42 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (KOMPAS/JITET)

Peserta didik diharapkan mencintai budaya Indonesia namun tetap terbuka dan menghargai keberagaman budaya lain di tingkat global (Kebhinekaan Global). Melalui pendekatan ini, kita dapat mempersiapkan peserta didik untuk menjadi individu yang tangguh, beretika, dan mampu berkontribusi secara positif dalam masyarakat.

Pandangan yang disampaikan oleh John Garner, yang dibahas oleh Kuntowijoyo, yang dijelaskan oleh Prof. Salim Said, dan yang diprogramkan oleh Kemendikbudristek, sesuai dengan konsep yang diungkapkan oleh Yudi Latif, mengacu pada "pembudayaan Pancasila". 

Pembudayaan Pancasila mencakup tiga dimensi dalam kehidupan peradaban, yaitu dimensi mental-karakter (mental-spiritual), dimensi institusional-politikal, dan dimensi material-teknologikal.

Penjelasan tentang dimensi mental-karakter meminjam argumentasi yang dikemukakan oleh Arnold Joseph Toynbee dalam bukunya A Study of History.

Toynbee menyelidiki faktor-faktor kebangkitan dan kejatuhan berbagai peradaban. Ia menyimpulkan bahwa disintegrasi peradaban terkait dengan melemahnya visi mental-spiritual dari peradaban tersebut.  

Pemikiran ini sejalan dengan argumen yang diajukan oleh Oswald Spengler dalam bukunya The Decline of the West, yang mengidentifikasi kemunduran peradaban Barat sebagai akibat dari hilangnya "jiwa" budaya (spirit, etos, etika, mindset) yang merupakan elemen krusial dalam peradaban.

Sedemikian pentingnya nilai karakter bagi eksistensi seseorang atau sekelompok orang, sehingga dalam peribahasa Inggris dikatakan, when wealth is lost, nothing is lost; when healt is lost, something is lost; when character is lost, everything is lost.

Tanpa kekuatan karakter, Indonesia adalah bangsa besar bermental kecil; bangsa besar yang mengidap perasaan rendah diri.

Karena itulah sebabnya, mengapa Bung Karno sangat menekankan program nation and character building. Indonesia adalah bangsa yang besar namun bermental kecil, abdikrat. Akibatnya, terbentuklah mentalitas pecundang dan tidak memiliki kepercayaan diri (self-confidence).

Saya setuju dengan pendapat Bung Karno mengenai ketidakberesan dalam mental bangsa kita. Contohnya, pada bulan Februari lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan kekhawatirannya terhadap para penerima Beasiswa LPDP yang semakin pintar namun enggan kembali ke Indonesia. 

Banyak dari mereka enggan berkontribusi, dan alasan mereka serupa dengan apa yang pernah disampaikan oleh Bung Karno, yaitu adanya mentalitas budak (inferior), "lebih baik kita membuka hutan kita dan menggaruk tanah kita dengan jari sepuluh dan kuku kita ini daripada menjual serambut kemerdekaan kita ini untuk dolar, untuk rubel."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun