Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Author

Hidup adalah perpaduan cinta, tawa, dan luka. Menulis menjadi cara terbaik untuk merangkai ketiganya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Krisis Multikulturalisme: Transformasi Pendidikan dan Pengakaran Ideologi Pancasila

4 Juni 2023   12:34 Diperbarui: 4 Juni 2023   12:42 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (KOMPAS/JITET)

Inilah mengapa Pancasila menjadi landasan yang kuat untuk mengantisipasi potensi meningkatnya fundamentalisme dan terorisme yang menggunakan agama sebagai dalih. Pancasila juga berperan penting dalam menjaga keharmonisan dalam keragaman Indonesia.

Sila pertama Pancasila menegaskan prinsip sosio-religius yang penuh kebaikan, kasih sayang, dan kerelaan. Penting bagi komunitas agama untuk tidak mengklaim pandangan mereka sebagai satu-satunya yang absah, sehingga tidak ada pemaksaan terhadap komunitas agama lainnya.

Negara Indonesia haruslah menjadi tempat di mana setiap individu bebas menyembah Tuhannya dengan cara yang mereka yakini. Seluruh rakyat harus memiliki pemahaman tentang Tuhan yang luhur dan memiliki etika yang tinggi, serta saling menghormati dalam hubungan beragama.

Seperti yang dinyatakan oleh Bung Karno, "Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya berTuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiadanya ‘egoisme-agama’ ... Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain."

Eksklusi sosial yang terjadi akibat fenomena 'tepuk anak saleh' merupakan hasil dari perkembangan pemahaman, penghayatan, dan pengalaman keagamaan yang tidak lagi mencerminkan semangat "Ketuhanan yang berkeadaban" yang luas dan toleran.

Agama hanya terbatas pada aspek formalisme peribadatan yang tampak di permukaan, Meminjam istilah A. Mustofa Bisri dalam bukunya Saleh Ritual Saleh Sosial. Kehidupan beragama saat ini sebatas pada tingkat "saleh ritual" saja, tanpa memperhatikan aspek "saleh secara sosial".

Untuk keluar dari krisis ini, Indonesia membutuhkan tidak hanya transformasi institusional di lembaga pendidikan, tetapi juga transformasi spiritual yang melibatkan seluruh warga negara, terutama guru dan orang tua sebagai pendidik.

Kita perlu mengarahkan masyarakat ke dalam kehidupan yang etis dan memiliki sikap welas asih.

Dalam proses transformasi ini, seperti yang disoroti oleh Karen Armstrong dalam buku The Great Transformation, persoalan agama tidak hanya berhenti pada apa yang kita percayai, tetapi lebih pada apa yang kita lakukan.

Oleh karena itu, kita perlu menjadi "saleh secara ritual" dan menjadikan pengalaman keagamaan sebagai dasar untuk berperilaku "saleh secara sosial" dalam kehidupan publik.

Clifford Geertz (1963) pernah menggambarkan Indonesia sebagai anggur tua yang terkandung dalam botol baru. Meskipun istilah "Indonesia" sebagai bentuk nasionalisme politik baru diperkenalkan pada tahun 1920-an, keragaman masyarakatnya telah ada sejak ribuan tahun di Nusantara yang kita kenal dengan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" (Berbeda-beda tetapi tetap satu).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun