Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Travel Writer

Lahir di Aceh, Terinspirasi untuk Menjelajahi Indonesia dan Berbagi Cerita Melalui Karya

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Toko Buku Tidak Harus Buka, tapi Membaca Harus Jadi Budaya

26 Mei 2023   21:37 Diperbarui: 27 Mei 2023   04:42 1013
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya tidak terlalu gusar ketika mendengar cerita berbagai toko buku tutup, termasuk Gunung Agung yang mengumumkan akan berhenti beroperasi akhir tahun ini. Saya tidak bergeming. 

Ada cerita lebih tragis. Johannes Gutenberg, sang penemu mesin cetak, terperosok dalam kebangkrutan setelah dihadapkan pada tuntutan oleh investornya, Fust. Ia bahkan tutup usia dalam keadaan memprihatinkan.

Namun itu belum seberapa, saya tidak sengaja menemukan sebuah artikel bertajuk Indonesian Kids Don't Know How Stupid They Are tulisan Elizabeth Pisani. Tulisan ini diterbitkan pada 5 Desember 2013 di situs Indonesiaetc.com yang dikelolanya. Pisani memaparkan hasil survei dari Programmme for International Student Assessment (PISA) di bawah Organization Economic Cooperation and Development (OECD) pada tahun 2012.

Pisani mengungkapkan bahwa 75 persen siswa berusia 15 tahun di Indonesia berada di bawah tingkat kompetensi minimum dalam pemahaman membaca sederhana dan penerapan konsep matematika dasar. Selama sepuluh hingga lima belas tahun terakhir, skor PISA tidak mengalami peningkatan yang signifikan.

Dari situ, banyak pandangan yang menyoroti fakta bahwa budaya membaca buku belum sepenuhnya menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia. Dampaknya bahkan terasa di tingkat pendidikan tinggi.

Saya masih ingat dengan jelas suatu kejadian ketika saya masih menjadi mahasiswa di bawah bimbingan Prof. Al-Makin, yang sekarang menjabat sebagai Rektor UIN Sunan Kalijaga. Pada suatu hari, kelas dibatalkan karena mayoritas mahasiswa tidak membaca buku.

Banyak mahasiswa yang saat melakukan presentasi hanya membaca teks yang tertera di slide presentasi. Meskipun saya merasa kesal, pada akhirnya saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Pisani. Memang benar bahwa 75 persen lulusan sekolah menengah bahkan tidak mampu mengidentifikasi kalimat inti dalam sebuah paragraf.

Kedekatan masyarakat suatu bangsa terhadap buku berbanding lurus dengan kemajuan masyarakat tersebut.

Adagium di atas menggambarkan mengapa kita tertinggal jauh karena belum menjadikan membaca sebagai budaya. 

Saya selalu diingatkan bahwa membaca adalah perintah agama. Seperti yang diulang-ulang oleh Kang Maman dalam bukunya Aku Menulis Maka Aku Ada, BIR (Baca, Iqra, Read) merupakan kunci penting dalam membentuk keberadaan kita.

Di sisi lain, sejarah perjuangan bangsa kita menunjukkan sebaliknya, di mana bacaan dan buku-buku berpengaruh terhadap kaum terpelajar. Sjahrir, Sukarno, dan Hatta menjadi simbol budaya buku Indonesia. Hatta sendiri sepanjang hidupnya mengumpulkan koleksi sekitar sepuluh ribu judul buku dan menulis 180 judul buku, jumlah yang luar biasa bagi seorang Indonesia.

Namun, mengapa saat ini bangsa kita terlihat enggan membaca, padahal para pendiri bangsa kita adalah para bibliofil ? 

Hard times create strong men. Strong men create good times. Good times create weak men. And, weak men create hard times.

Kutipan G. Michael Hopf dalam bukunya Those Who Remain: A Postapocalyptic Novel, di atas mungkin bisa memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. 

Mengapa para pendiri bangsa kita begitu mencintai buku? 

Hal ini mungkin karena mereka berhadapan dengan penjajah yang dianggap memiliki "intelektualitas" yang lebih tinggi. Mereka menghadapi kesulitan, namun kesulitan tersebut menciptakan kekuatan dalam diri mereka. Dalam situasi sulit tersebut, salah satu cara mereka memperoleh kekuatan adalah melalui kegiatan membaca, yang pada akhirnya memungkinkan mereka untuk memerdekakan bangsa ini. 

Setelah bangsa ini merdeka, kita hidup dalam kenyamanan dan fasilitas yang lengkap. Namun, sayangnya, kenyamanan ini juga dapat membuat orang menjadi lemah. Kita dengan rela menghabiskan delapan jam sehari untuk menggulir media sosial, namun kita enggan menyisihkan waktu hanya 30 menit untuk membaca buku. Kita dengan rela membeli paket internet dengan harga ratusan ribu rupiah, tetapi ketika datang ke toko buku, kita lebih memilih versi bajakan dengan alasan agar lebih murah. 

Hal yang lebih memprihatinkan adalah ketika mahasiswa benar-benar kehilangan daya literasi. Mereka kehilangan kemampuan membuat makalah atau jurnal yang bernas. Itu belum seberapa.  Hasil penelusuran tim investigasi Harian Kompas mengungkapkan yang lebih mengerikan, sejumlah dosen senior di beberapa kampus terlibat praktik perjokian karya ilmiah demi menyandang gelar guru besar.

Semua kemudahan ini pada akhirnya menciptakan orang-orang yang lemah. Dan orang-orang yang lemah ini akan kembali menciptakan kesulitan dalam hidup kita. Ketika lulus kuliah, kita malah tidak memiliki kompetensi apa pun yang mumpuni.

Tapi tenang, itu hanya analisis serampangan saya saja.

Berbicara tentang buku bajakan, sebagai seorang pekerja di industri buku, saya juga merasakan dampaknya. Saya memiliki sebuah toko buku kecil yang beroperasi di lokapasar, dan pembajakan buku telah menjadi parasit yang kami hadapi sehari-hari.

Pada tahun 2019, Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) menerima laporan tentang pelanggaran hak cipta dari 11 penerbit, dengan potensi kerugian mencapai angka Rp116,050 miliar. Tentu saja, angka ini akan lebih besar lagi jika semua kasus pembajakan buku dilaporkan. 

Pembajakan buku semakin masif ketika para pembajak juga memanfaatkan teknologi dan lokapasar (marketplace) untuk menjual buku bajakan. Pembajakan buku secara tradisional juga masih terjadi pada buku perguruan tinggi ketika lapak-lapak fotokopi menyediakan layanan memfotokopi satu buku utuh atau bagian-bagian buku bagi mahasiswa.

Benar, jika ada yang mengatakan bahwa banyak toko buku tutup karena adanya pergesaran ke arah  teknologi dan gadget. Seperti munculnya teknologi mesin cetak print on demand (cetak manasuka), teknologi mesin pracetak dan cetak berbasis komputer (computer to plate/CTP), dan buku elektronik. 

Di era digital saat ini, para pecinta buku tidak terbatas pada mengandalkan toko buku fisik saja untuk mendapatkan akses ke buku-buku yang mereka inginkan. Meskipun begitu, dalam beberapa diskusi dengan teman-teman saya, mereka yang benar-benar mencintai buku lebih merasa nyaman dengan buku cetak karena menghindari gangguan teknologi.

Dalam konteks ini, penting untuk menekankan bahwa kemampuan sebuah toko buku untuk bertahan sering kali bergantung pada kemampuannya dalam mengemas dan menawarkan pengalaman tambahan kepada para pelanggannya.

Namun, kita juga dihadapkan pada tantangan dalam rantai distribusi buku yang mengakibatkan sulitnya akses terhadap buku. Kendala ini sering kali mendorong sebagian orang untuk mencari alternatif dengan mencari buku bajakan. Masalah ini terutama dirasakan di daerah-daerah.

Meskipun demikian, apa yang terjadi pada toko buku Gunung Agung pada akhirnya hanyalah sebuah kisah romantis, sehingga tidak perlu ditangisi terlalu lama. Hal ini tentu tidak menghilangkan perhormatan saya terhadap kontribusinya dalam meningkatkan literasi di tanah air.

Selain itu, kita masih memiliki harapan terhadap 25 persen masyarakat yang memiliki kesadaran terhadap kondisi ini. Penting untuk memulai budaya membaca sejak dini, dan salah satu contoh yang sederhana adalah melibatkan keluarga. Sebaiknya kita tidak memberikan gadget kepada bayi, tetapi memberikan buku bayi sebagai alternatif. Meskipun mereka belum dapat membaca, hal ini akan membentuk kebiasaan membaca karena pada saat-saat tersebut, ingatan mereka banyak merekam berbagai hal.

Dalam rangka memajukan perbukuan di seluruh Indonesia, kajian dan strategi diperlukan. Dalam konteks ini, implementasi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan dan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 akan menjadi landasan penting bagi pembangunan perbukuan di Indonesia. Tindakan konkret dan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, penerbit, penulis, dan masyarakat umum, sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan dan membangun perbukuan yang lebih baik di masa depan.

Menghadapi era digitalisasi, toko buku mungkin tidak harus selalu buka, tapi membaca harus menjadi budaya yang melekat dalam masyarakat. Kita perlu melestarikan kebiasaan membaca sebagai sebuah tradisi yang berharga, serta mendukung industri perbukuan dan melawan pembajakan buku.

Dengan demikian, kita dapat memastikan adanya akses yang merata terhadap pengetahuan, informasi, dan khazanah budaya melalui buku, serta mendorong tumbuhnya generasi pembaca yang cerdas dan kreatif di Indonesia.

Dalam kolom bertajuk  Sehari Tak Membaca, Sama Rasanya seperti Tidak Bernapas Andy F. Noya menulis dari mana kegemaran membaca ia tumbuh. Andy bercerita sejak kecil nenek dan orangtuanya suka mendongeng. Saat menjelang tidur orangtua Andy selalu membaca buku dan mendongeng.

Menurut Andy, idealnya orangtua kini juga mulai membangkitkan lagi kebiasaan mendongeng sebelum tidur. Kebiasaan itu sekarang mulai memudar karena kesibukan orangtua mencari nafkah yang mengakibatkan para orangtua lelah dan tak ada lagi waktu mendongeng. Padahal mulai dari dongeng, kemudian dibacakan buku bacaan, akan membangkitkan ketertarikan anak untuk membaca. 

Dengan memperkenalkan minat baca sejak usia dini, kita memberi anugerah tak ternilai kepada anak-anak, memberdayakan mereka dengan pengetahuan, imajinasi, dan cinta terhadap dunia tulis-menulis yang akan membawa mereka jauh ke masa depan.

Mari kita berkomitmen untuk membangun budaya membaca yang kuat dan melawan tantangan yang menghalangi akses terhadap buku, sehingga kita dapat menciptakan generasi pembaca yang cerdas dan kreatif di Indonesia. 

Would rather light a candle than curse the darkness.

Toko Buku Tidak Harus Buka, Tapi Membaca Harus Jadi Budaya.  Foto: Dok. Pribadi
Toko Buku Tidak Harus Buka, Tapi Membaca Harus Jadi Budaya.  Foto: Dok. Pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun