Di sisi lain, sejarah perjuangan bangsa kita menunjukkan sebaliknya, di mana bacaan dan buku-buku berpengaruh terhadap kaum terpelajar. Sjahrir, Sukarno, dan Hatta menjadi simbol budaya buku Indonesia. Hatta sendiri sepanjang hidupnya mengumpulkan koleksi sekitar sepuluh ribu judul buku dan menulis 180 judul buku, jumlah yang luar biasa bagi seorang Indonesia.
Namun, mengapa saat ini bangsa kita terlihat enggan membaca, padahal para pendiri bangsa kita adalah para bibliofil ?Â
Hard times create strong men. Strong men create good times. Good times create weak men. And, weak men create hard times.
Kutipan G. Michael Hopf dalam bukunya Those Who Remain: A Postapocalyptic Novel, di atas mungkin bisa memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.Â
Mengapa para pendiri bangsa kita begitu mencintai buku?Â
Hal ini mungkin karena mereka berhadapan dengan penjajah yang dianggap memiliki "intelektualitas" yang lebih tinggi. Mereka menghadapi kesulitan, namun kesulitan tersebut menciptakan kekuatan dalam diri mereka. Dalam situasi sulit tersebut, salah satu cara mereka memperoleh kekuatan adalah melalui kegiatan membaca, yang pada akhirnya memungkinkan mereka untuk memerdekakan bangsa ini.Â
Setelah bangsa ini merdeka, kita hidup dalam kenyamanan dan fasilitas yang lengkap. Namun, sayangnya, kenyamanan ini juga dapat membuat orang menjadi lemah. Kita dengan rela menghabiskan delapan jam sehari untuk menggulir media sosial, namun kita enggan menyisihkan waktu hanya 30 menit untuk membaca buku. Kita dengan rela membeli paket internet dengan harga ratusan ribu rupiah, tetapi ketika datang ke toko buku, kita lebih memilih versi bajakan dengan alasan agar lebih murah.Â
Hal yang lebih memprihatinkan adalah ketika mahasiswa benar-benar kehilangan daya literasi. Mereka kehilangan kemampuan membuat makalah atau jurnal yang bernas. Itu belum seberapa. Â Hasil penelusuran tim investigasi Harian Kompas mengungkapkan yang lebih mengerikan, sejumlah dosen senior di beberapa kampus terlibat praktik perjokian karya ilmiah demi menyandang gelar guru besar.
Semua kemudahan ini pada akhirnya menciptakan orang-orang yang lemah. Dan orang-orang yang lemah ini akan kembali menciptakan kesulitan dalam hidup kita. Ketika lulus kuliah, kita malah tidak memiliki kompetensi apa pun yang mumpuni.
Tapi tenang, itu hanya analisis serampangan saya saja.
Berbicara tentang buku bajakan, sebagai seorang pekerja di industri buku, saya juga merasakan dampaknya. Saya memiliki sebuah toko buku kecil yang beroperasi di lokapasar, dan pembajakan buku telah menjadi parasit yang kami hadapi sehari-hari.