Pada tahun 2019, Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) menerima laporan tentang pelanggaran hak cipta dari 11 penerbit, dengan potensi kerugian mencapai angka Rp116,050 miliar. Tentu saja, angka ini akan lebih besar lagi jika semua kasus pembajakan buku dilaporkan.Â
Pembajakan buku semakin masif ketika para pembajak juga memanfaatkan teknologi dan lokapasar (marketplace) untuk menjual buku bajakan. Pembajakan buku secara tradisional juga masih terjadi pada buku perguruan tinggi ketika lapak-lapak fotokopi menyediakan layanan memfotokopi satu buku utuh atau bagian-bagian buku bagi mahasiswa.
Benar, jika ada yang mengatakan bahwa banyak toko buku tutup karena adanya pergesaran ke arah  teknologi dan gadget. Seperti munculnya teknologi mesin cetak print on demand (cetak manasuka), teknologi mesin pracetak dan cetak berbasis komputer (computer to plate/CTP), dan buku elektronik.Â
Di era digital saat ini, para pecinta buku tidak terbatas pada mengandalkan toko buku fisik saja untuk mendapatkan akses ke buku-buku yang mereka inginkan. Meskipun begitu, dalam beberapa diskusi dengan teman-teman saya, mereka yang benar-benar mencintai buku lebih merasa nyaman dengan buku cetak karena menghindari gangguan teknologi.
Dalam konteks ini, penting untuk menekankan bahwa kemampuan sebuah toko buku untuk bertahan sering kali bergantung pada kemampuannya dalam mengemas dan menawarkan pengalaman tambahan kepada para pelanggannya.
Namun, kita juga dihadapkan pada tantangan dalam rantai distribusi buku yang mengakibatkan sulitnya akses terhadap buku. Kendala ini sering kali mendorong sebagian orang untuk mencari alternatif dengan mencari buku bajakan. Masalah ini terutama dirasakan di daerah-daerah.
Meskipun demikian, apa yang terjadi pada toko buku Gunung Agung pada akhirnya hanyalah sebuah kisah romantis, sehingga tidak perlu ditangisi terlalu lama. Hal ini tentu tidak menghilangkan perhormatan saya terhadap kontribusinya dalam meningkatkan literasi di tanah air.
Selain itu, kita masih memiliki harapan terhadap 25 persen masyarakat yang memiliki kesadaran terhadap kondisi ini. Penting untuk memulai budaya membaca sejak dini, dan salah satu contoh yang sederhana adalah melibatkan keluarga. Sebaiknya kita tidak memberikan gadget kepada bayi, tetapi memberikan buku bayi sebagai alternatif. Meskipun mereka belum dapat membaca, hal ini akan membentuk kebiasaan membaca karena pada saat-saat tersebut, ingatan mereka banyak merekam berbagai hal.
Dalam rangka memajukan perbukuan di seluruh Indonesia, kajian dan strategi diperlukan. Dalam konteks ini, implementasi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan dan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 akan menjadi landasan penting bagi pembangunan perbukuan di Indonesia. Tindakan konkret dan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, penerbit, penulis, dan masyarakat umum, sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan dan membangun perbukuan yang lebih baik di masa depan.
Menghadapi era digitalisasi, toko buku mungkin tidak harus selalu buka, tapi membaca harus menjadi budaya yang melekat dalam masyarakat. Kita perlu melestarikan kebiasaan membaca sebagai sebuah tradisi yang berharga, serta mendukung industri perbukuan dan melawan pembajakan buku.
Dengan demikian, kita dapat memastikan adanya akses yang merata terhadap pengetahuan, informasi, dan khazanah budaya melalui buku, serta mendorong tumbuhnya generasi pembaca yang cerdas dan kreatif di Indonesia.