Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Author

Redaktur di Gusdurian.net dan CMO di Tamasya Buku. Penulis feature dan jurnalisme narasi di berbagai media.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Perbankan Digital: Membangun Bank 4.0 di Tengah Ancaman Kejahatan Siber

25 Mei 2023   17:00 Diperbarui: 25 Mei 2023   17:05 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampak depan buku Perbankan Digital: Menuju Bank 4.0 Foto: Dok. Pribadi

Saat menulis resensi buku ini, saya mendapat pesan singkat melalui WhatsApp dari seseorang yang mengaku sebagai kurir JNE. Dia mengirim file dengan nama foto paket return, tetapi saya curiga karena format file yang dikirimkan adalah APK, meskipun dia mencoba untuk mengubah namanya dan menambahkan JPG di belakang nama file tersebut.

Saya beruntung tidak terkecoh, namun beberapa orang mungkin tidak seberuntung saya. Dalam dunia hacking tindakan ini dikenal sebagai sniffing atau pencurian data konsumen. Modus operandi sniffing bertujuan untuk mencuri data dan informasi penting, seperti username dan password untuk m-banking, informasi kartu kredit, kata sandi email, dan data penting lainnya untuk kemudian menguras saldo rekening korban. 

Sayangnya, sudah ada ratusan orang yang menjadi korban tindakan ini.

Korban serangan siber tidak hanya terbatas pada individu, tetapi juga perusahaan perbankan. Beberapa waktu  lalu, sejumlah layanan perbankan dari PT Bank Syariah Indonesia (Persero) Tbk. atau BSI mengalami gangguan atau error selama beberapa hari sejak Senin, 8 Mei 2023. 

Kondisi ini bahkan memunculkan keraguan masyarakat terhadap bank tersebut. Dugaan pelaku serangan jatuh pada kelompok peretas atau hacker ransomware yang dikenal sebagai LockBit. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, telah membenarkan informasi tersebut seperti yang dilansir dari Tempo.co pada tanggal 10 Mei 2023.

Serangan siber yang dialami BSI atau tindakan sniffing yang dialami oleh ratusan nasabah, termasuk saya sendiri,  memperkuat argumen M. Simatupang dalam buku Perbankan Digital: Menuju Bank 4.0. Meskipun layanan perbankan digital semakin populer di Indonesia, sebagian besar industri perbankan di negeri ini belum berhasil mewujudkan Bank 4.0. 

Layanan perbankan digital saat ini masih mengadopsi produk perbankan  konvensional, seperti tabungan, deposito, kredit konsumer, pinjaman personal, bancassurance, dan produk lainnya tanpa perubahan signifikan (page 17). 

Simatupang menyebut fenomena ini sebagai  produk perbankan konvensional yang dicopy paste ke internet.

Dalam Bank 4.0, pengalaman nasabah dalam berinteraksi dengan perbankan digital menjadi prioritas. Menurut Brett King (2018), bank masa depan mengutamakan akses online yang mudah dan aman dari berbagai perangkat, kapan saja dan di mana saja. 

Data menjadi bahan bakar utama yang menggerakkan kecerdasan buatan (AI) untuk memberikan utilitas perbankan secara real-time. Pemanfaatan AI dalam perbankan digital memungkinkan autentikasi, transaksi, dan pengawasan profil nasabah secara akurat di berbagai saluran perbankan dengan sistem perbankan terbuka (open banking) (page 20 dan 86).

Sementara itu, para pelaku kejahatan siber terus meningkatkan kemampuan mereka, sehingga bank-bank di Indonesia harus siap dengan berbagai tindakan pencegahan dan proteksi terhadap serangan seperti  sniffing dan ransomware. Ini sangat penting mengingat kasus kejahatan siber terus terjadi dari tahun ke tahun. Hal itu dibuktikan dari laporan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang mencatat terdapat 88.414.296 serangan siber sejak 1 Januari hingga 12 April 2020 (page 72).  

Dalam buku ini Simatupang rajin mengutip Brett King sebagai referensi. Buku Bank 4.0: Banking Everywhere, never at a Bank misalnya, King dengan tag line 'perbankan di mana saja, tidak perlu di bank' (page 94) menjelaskan, evolusi bank digital dari Bank 1.0 (era 1972-1980) sampai Bank 4.0 (era 2017 dan seterusnya). Bank 1.0 dimulai dari fase e-banking, Bank 2.0 (era 1980-2007) merupakan fase Multichannel Integration, Bank 3.0 adalah fase Omnichannel Integration  era 2007-2017.

Bank 4.0, yang dimulai sejak 2017, memiliki fokus pandangan bisnis ke luar (outward looking). Pelayanan  kepada nasabah menjadi titik pijak utama, bukan hanya berkutat pada insfrastruktur digital. Sebaliknya, Bank 1.0-3.0 (era 1972-2017) lebih berfokus ke dalam dengan upaya membangun insfrastruktur digital dan melatih karyawan untuk memproteksi serangan siber (inward looking).

Survei Bank Indonesia tahun 2018 menunjukkan bahwa tidak ada bank di Indonesia yang termasuk dalam kategori Digital 2.0 (kuadran III) dari 30 bank yang disurvei (page  94). Data SPI OJK pada November 2020  juga mengindikasikan bahwa sebagian besar bank konvensional di Indonesia masih belum menyediakan  layanan pembukaan rekening di ponsel. Oleh karena itu, bank di Indonesia masih dapat dikategorikan sebagai bank 2.0. Untuk mencapai Bank 4.0, diperlukan transformasi tidak hanya pada elemen internal bank, tetapi juga pada interaksi manusia dengan teknologi perbankan (page  96).

Sementara itu, saat ini sektor ekonomi digital tumbuh  pesat di Indonesia, seperti Gojek dengan layanan keuangan digital Gopay, serta Tokopedia, Bukalapak, dan Traveloka. Jika bank-bank di Indonesia tidak segera berbenah, perusahaan-perusahaan tersebut berpotensi menjadi pesaing (challanger) yang menantang (page 102),  mereka bisa saja menjadi  neobank seperti WeBank yang dikembangkan dari WeChat, atau KakaoBank yang dikembangkan dari KakaoTalk (page 101). 

Bahkan kebanyakan bank-bank di tanah air secara pelayanan masih kalah dari pinjaman online (pinjol).

Secara keseluruhan buku ini mengajak pembaca terutama pihak institutional banking untuk membangun Bank 4.0 secara efektif termasuk dalam menghadapi ancaman kejahatan siber. Penulis memberikan contoh nyata seperti kesuksesan Bank Mandiri dalam membuka ribuan rekening baru setiap hari melalui program online onboarding (page 108) mulai 2020. 

Buku ini tidak hanya relevan bagi pihak pemerintah baik legislatif, yudikatif, maupun eksekutif dalam menghadapi tantangan globalisasi, urbanisasi, dan digitalisasi, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan. Indonesia, sebagai negara yang terus berkembang, memainkan peran penting dalam pertumbuhan ekonomi digital (page 113).

Buku ini bisa menginspirasi bank di Indonesia untuk mengadopsi langkah-langkah inovatif seperti yang dilakukan oleh Citibank yang sejak  tahun 1993 telah  memperkenalkan Citiphone dan pada 2019 kembali memperkenalkan program literasi keuangan digital untuk anak-anak (page 120). 

Namun, meskipun buku ini memberikan wawasan  komprehensif, beberapa konsep teknis terkadang sulit dipahami bagi pembaca non-ahli seperti saya yang tidak menempuh pendidikan dalam bidang perbankan. Sehingga saya harus membaca berulang-ulang di bagian tertentu. 

Meski demikian, buku ini sangat relevan mengingat meningkatnya serangan kejahatan siber di sektor perbankan yang sering kali menargetkan dan merugikan masyarakat awam [Mhg].

Indentitas Buku:

Judul Buku    : Perbankan Digital: Menuju Bank 4.0
Penulis            : Dr. Ir. Batara M. Simatupang, M.T., M.Phil., CIMBA.
Penerbit          : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2021
ISBN               : 978-602-06-5282-5
E-ISBN           : 978-602-06-5283-2
Tebal Buku    : xxx + 149 hal
Harga Buku   : P. Jawa Rp. 105.000

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun