Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Travel Writer

Lahir di Aceh, Terinspirasi untuk Menjelajahi Indonesia dan Berbagi Cerita Melalui Karya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merdeka Belajar: Menggugah Semangat dengan Kisah Inspiratif Para Pelopor Pendidikan

24 Mei 2023   14:16 Diperbarui: 24 Mei 2023   14:32 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menyajikan materi literasi media televisi kepada orang tua di Gunung Kidul. Foto: DokPri


Dalam perjalanan hidup saya, terlibat secara aktif dalam organisasi kemahasiswaan yang bergerak di bidang literasi menjadi suatu keberuntungan yang tak ternilai. Dari sana, saya berkesempatan menjelajahi samudra kosakata  hingga ke berbagai pelosok negeri.

Namun di antara perjalanan yang telah saya lalui, ada satu pengalaman yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Program ‘Merdeka Belajar’  dengan 24 episode yang telah diluncurkan hingga Maret 2023 lalu.

Tetapi saya telah berkesempatan melintasi negeri ini dengan akses yang melimpah ke berbagai sumber daya literasi yang mengagumkan. Dari Perpustakaan Nemu Buku di Sulawesi Tengah yang menghidupkan semangat literasi, hingga Sanggar Anak Alam (SALAM) di Yogyakarta yang mengusung pendekatan "kurikulum merdeka" yang sesungguhnya.

Di tengah perjalanan ini, kata-kata Yohanes Surya, pendiri Asian Physics Olympiad, menghantui pikiran saya.

"Tidak ada anak yang bodoh, yang ada adalah mereka yang belum mendapatkan kesempatan untuk belajar dari guru yang baik dan metode yang tepat."

Saat membaca pengantar buku antologi Sekolah Menengah Suka-Suka, karya siswa SMA eksperimental SALAM, saya tersentak oleh pengantar yang menarik dari Agus Mulyadi. Dalam buku mungil namun sarat makna ini, Agus Mulyadi menulis pernyataan kontroversial dari seorang tokoh, "Kalau kau ingin ijazah, sekolah. Kalau kau ingin pintar, belajar."

Sungguh, sulit bagi saya untuk tidak setuju dengan pernyataan tersebut.

Namun, mari kita jangan terburu-buru mengambil kesimpulan. Saya tidak bermaksud mengajak Anda untuk meninggalkan sekolah, apalagi berhenti belajar. Namun, dalam konteks ‘Bergerak Bersama Semarakkan Merdeka Belajar,’ ada sudut pandang alternatif yang ingin saya bagikan.

Sudut pandang ini telah mengubah cara pandang saya terhadap dunia pendidikan dengan segala keunikannya.

Anda pasti sepakat bahwa sesuatu yang bagus dan teruji selalu muncul melalui mekanisme ‘tantang-menantang.’ Contohnya  program ‘Merdeka Belajar’ yang telah direncanakan sejak tahun 2019 itu adalah hasil dari ‘pertentangan’ dari Nadiem Makarim,  Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi  (Mendikbudristek) terhadap kurikulum sebelumnya yang tidak lagi relevan.

"Pendidikan kita punya masalah yang amat besar bahkan dianggap sebagai krisis, yaitu bahwa sekitar 70% anak-anak Indonesia usia 15 tahun yang waktu itu diukur menggunakan PISA (Programme for International Student Assessment) tidak mencapai kompetensi minimum pada komponen literasi dan numerasi," ujar Sekjen Kemendikbudristek Ir. Suharti, MA, PhD dalam webinar Bergerak Bersama Semarakkan Merdeka Belajar pada  17 Mei 2023 lalu yang disiarkan melalui kanal YouTube Kompas.com.

Untuk mengatasi hal tersebut, Kemendikbudristek melakukan penyederhanaan kurikulum dalam kondisi khusus (kurikulum darurat) untuk memitigasi ketertinggalan pembelajaran (learning loss) pada masa pademi.

Hasilnya, dari 31,5% sekolah yang menggunakan kurikulum darurat menunjukkan, penggunaan kurikulum darurat dapat mengurangi dampak pandemi sebesar 73% (literasi) dan 86% (numerasi).

Dalam artikel ini, saya akan memperkenalkan beberapa ‘Sosok Inspiratif Merdeka Belajar,’ paling menonjol yang patut Anda sapa. Menurut penilaian subjektif saya, mereka ini layak untuk diajak rembukan oleh Kemendikbudristek.

Salah satunya adalah Roem Topatimasang. Saya  sangat merekomendasikan membaca karyanya yang bertajuk Sekolah Itu Candu.

Buku ini telah dicetak ulang berkali-kali sejak pertama kali ditulis pada tahun 1980-an, dan menawarkan 14 bagian yang sangat menarik dengan berbagai isu yang diangkat. Ini adalah bacaan yang sungguh memikat dan mengajak kita untuk berpikir lebih dalam dan masih relevan hingga sekarang.

Roem secara teliti mengupas berbagai aspek yang terkait dengan dunia pendidikan, mulai dari sejarah sekolah hingga visi masa depan sekolah.

Roem Topatimasang: Belajar Sepanjang Hayat. Foto: PutCast via Instagram INSIST Press
Roem Topatimasang: Belajar Sepanjang Hayat. Foto: PutCast via Instagram INSIST Press

Dulu, sekolah hanya dianggap sebagai pengisi waktu luang, tetapi sekarang sekolah justru memakan waktu luang yang kita miliki. Roem menggambarkan sistem pendidikan yang cukup buram dengan gaya bertutur yang santai, penuh humor, namun tetap tajam dalam mengkritik standarisasi konsep "pintar."

“Literasi bukan hanya sekadar membaca teks, melainkan pula diartikan sebagai kemampuan membaca keadaan sekitar,” tulis Roem

Untuk melengkapi pemahaman kita setelah membaca buku ini, jangan lupa untuk menonton film-film yang disarankan oleh dosen saya dahulu. Mulai dari 3 Idiots produksi Bollywood, hingga yang paling terkenal, Dead Poets Society.

Sosok inspiratif selanjutnya yang tidak bisa dilewatkan adalah Toto Rahardjo atau akrab dengan sapaan Kyai Tohar. Namanya telah menarik perhatian saya karena dedikasinya yang luar biasa sebagai fasilitator pendidikan kerakyatan dan pengorganisasi rakyat di berbagai wilayah di Indonesia, seperti Jawa Tengah, Yogyakarta, NTT, dan Papua.

Toto Rahardjo menggunakan T-Shirt merah. Foto: Dok. INSIST Press
Toto Rahardjo menggunakan T-Shirt merah. Foto: Dok. INSIST Press

Kyai Tohar menjadi tokoh yang sangat berpengaruh dengan menghidupkan kembali SALAM dan telah berkontribusi dalam pemberdayaan masyarakat dan pendidikan alternatif selama tiga dasawarsa terakhir.

Tepat pada tanggal 20 Juni 2000, bersama dengan Sri Wahyaningsih, ia berhasil menghidupkan kembali SALAM di Kampung Nitiprayan, Kelurahan Ngestiharjo, Bantul, Yogyakarta, setelah sebelumnya telah ada  sejak tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.

“Ciri orang pintar tidak merumitkan hal yang sederhana, dan mampu menyederhanakan hal yang rumit.”

Kyai Tohar adalah seorang otodidak yang berfokus pada proses pertumbuhan daripada hasil akhir dari kerja-kerja kemasyarakatan yang dilakoninya. Rekam jejak inspiratif Toto Rahardjo terekam dalam buku Manusia Tanpa Sekolah yang ditulis oleh Rony K. Pratama.

Buku ini membahas berbagai isu penting, termasuk kritiknya terhadap program 'Merdeka Belajar' dan realitas siswa yang masih merasa terpenjara dalam lingkungan sekolah.

Saya setuju dengan Kyai Tohar, berdasarkan diskusi dengan teman-teman, program 'Merdeka Belajar' belum sepenuhnya diterapkan di institusi pendidikan kita. Hal ini dikonfirmasi oleh Suharti dalam webinar. Kemendikbudristek tidak memaksa sekolah untuk segera beralih dari K13 ke 'Kurikulum Merdeka' karena beberapa sekolah masih merasa belum siap.

Belajar Dari SALAM

SALAM memiliki jenjang pendidikan mulai dari Taman Bermain, Taman Anak, SD, SMP, hingga SMA. Sejak diaktifkan kembali pada tahun 2000, SALAM telah menciptakan konsep siswa merdeka jauh sebelum 'Merdeka Belajar' versi Kemendikbudristek menjadi populer.

Mural Karya ORTU SALAM  Foto: Dok. SALAM via www.salamyogyakarta.com
Mural Karya ORTU SALAM  Foto: Dok. SALAM via www.salamyogyakarta.com

Awalnya, SALAM didirikan untuk anak-anak yang putus sekolah. Namun, SALAM bukanlah sekolah formal, melainkan sebuah sanggar yang benar-benar unik. Terutama setelah Kemendikbudristek memperkenalkan konsep 'Merdeka Belajar,' SALAM menjadi fondasi penting dan telah lebih dulu berkontribusi dalam tema serupa.

Kurikulum SALAM didasarkan pada konsep pendidikan merdeka Ki Hadjar Dewantara. Konsep tersebut mengusung motto, 'tidak diperintah, tidak bergantung pada orang lain, dan siswa dilatih menjadi mandiri.'

Yang lebih menarik lagi, para siswa di SALAM sudah diperkenalkan pada metode belajar melalui penelitian (research-based learning) dengan mengacu pada empat pilar kehidupan, seperti pangan, kesehatan, lingkungan, dan sosial budaya.

Misalnya, jika orang tua mereka adalah petani, maka siswa-siswi ditugaskan untuk melakukan penelitian tentang hama yang menyerang tanaman dan bagaimana cara mengatasinya. Dengan demikian, siswa-siswi sudah diajarkan berpikir kritis sejak usia dini.

Karena mereka bebas memilih topik penelitian, tidak ada pengetahuan yang dipaksakan kepada mereka. Bahkan, banyak dari mereka yang telah menciptakan penghasilan sendiri, karena seringkali hasil penelitian mereka bisa langsung dijual. SALAM juga mengadakan kegiatan bernama Pasar Legi dan Pasar Ekspresi, tempat siswa-siswinya dapat menjual produk yang mereka buat sendiri.

Ide brilian SALAM ini tak lepas dari konsep sekolah rakyat yang diperkenalkan oleh Romo Mangun (YB Mangunwijaya) di bantaran Kali Code, Yogyakarta sekitar tahun 1983 yang masih eksis hingga sekarang.

Mulai Juni 2023, SALAM akan menggunakan aplikasi berbasis Android untuk proses belajar. Mereka akan memanfaatkan platform digital dengan mendigitalisasi jurnal riset siswa. Pemilihan bentuk digital ini bertujuan untuk memudahkan rekam jejak penelitian, pengumpulan data, dan penyimpanan data. Rekam jejak ini akan membantu siswa melihat perkembangan diri mereka dan membantu SALAM untuk mengevaluasi proses belajar yang telah berlangsung.

Untuk mengenal SALAM lebih dekat, saya menyarankan Anda membaca buku karya Sri Wahyaningsih dan kawan-kawan bertajuk  Sekolah Apa Ini?

Visi yang diterapkan oleh SALAM dan program yang diinisiasi oleh Kemendikbudristek memiliki kesamaan cukup signifikan.

Dalam webinar bersama Kompas.com, Suharti menyebut,tujuan utama dari program 'Merdeka Belajar' adalah menciptakan peserta didik yang tidak hanya memiliki kompetensi yang unggul, tetapi juga menjadi pembelajar sepanjang hayat. Selain itu, mereka juga diharapkan memiliki karakter yang kuat yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, yang akan diperingati pada tanggal 1 Juni mendatang. 

Paradigma 'Pelajar Pancasila' yang diperkenalkan oleh Kemendikbudristek, seperti yang saya simpulkan dari tayangan rekaman webinar Kompas.com pada menit ke-42, terdapat beberapa nilai inti yang dijunjung tinggi. Pertama, peserta didik diharapkan memiliki moralitas yang baik dan patuh terhadap agama, yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia.

Selain itu, mereka juga diharapkan mampu berpikir secara kritis, memiliki kreativitas yang berkembang, dan memiliki kemampuan untuk aktif mencari ilmu secara mandiri. Selanjutnya, nilai gotong royong juga menjadi bagian penting dalam paradigma ini, di mana peserta didik diajarkan untuk saling membantu dan bekerja sama. 

Terakhir, peserta didik diharapkan mencintai budaya Indonesia namun tetap terbuka dan menghargai keberagaman budaya lain di tingkat global (Kebhinekaan Global).

Melalui pendekatan ini, kita dapat mempersiapkan peserta didik untuk menjadi individu yang tangguh, beretika, dan mampu berkontribusi secara positif dalam masyarakat.

Sebagai kesimpulan, program 'Merdeka Belajar' yang dirancang oleh Kemendikbudristek sejalan dengan semangat inspiratif para tokoh pendidikan Indonesia, seperti Ki Hadjar Dewantara, Romo Mangun, Roem Topatimasang, Kyai Tohar, Sri Wahyaningsih, dan banyak tokoh pendidikan lainnya yang tak terhitung jumlahnya.

Sebagai penutup, untuk mewujudkan visi tersebut, pemerintah dan kita semua perlu memberikan dukungan penuh kepada institusi pendidikan formal dan non-formal hingga informal, serta mengubah paradigma terhadap pendidikan. Siswa bukanlah gelas kosong, melainkan individu dengan karakteristik unik yang perlu dikembangkan. Pentingnya memperluas akses pendidikan ke daerah terpencil dan menciptakan sistem pendidikan yang inklusif. Dengan kolaborasi antara pemerintah, institusi pendidikan, keluarga, dan masyarakat, kita dapat membentuk generasi yang unggul dan siap menghadapi masa depan. 

Mari bersama-sama merangkul perubahan dan menempatkan 'Merdeka Belajar' sebagai visi utama transformasi pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun