Namanya I Wayan Sirig. Dia asli penduduk sini. Sudah tua, umurnya sekitar 75 Tahun. Masih lancar bercerita. Keberadaan Burung Kokokan di Desa Petulu mulai sekitar tahun 1965.
Mulanya sedikit, hanya sekitar 7 ekor. Kedatangan burung ini beberapa saat setelah penduduk desa melaksanakan upacara tahunan di Pura Desa. Sesuatu yang tidak lazim ini kemudian mendorong penduduk menanyakan ke orang pintar juga meminta petunjuk ke pendeta Hindu. Kesimpulan, burung-burung ini dianggap "utusan" Ida Bethara/Tuhan.
Penduduk sangat meyakini itu. Semenjak itu pula semakin banyak Burung Kokokan mendatangi desa ini. Bersarang dan beranak pianak. Penduduk dalam keseharian berdampingan dengan burung ini, tidak saling mengganggu. Jangan coba-coba untuk menangkap apalagi membunuh burung ini.
Bapak Wayan Sirig menuturkan, dulu ada sekelompok tentara menembaki burung-burung ini. Beberapa saat setelah tentara meninggalkan desa, mobil yang membawa sekelompok tentara ini kecelakaan, terbalik.Â
Ada juga seseorang dari luar desa yang pernah membawa burung ini untuk dirawat. Hanya karena memakan koleksi ikan mahal si perawat burung, Burung Kokokan ini dibunuh. Orang ini lama-kelamaan sakit keras, dari petunjuk orang pintar, dia harus minta maaf dengan cara menghaturkan sesajen ke Pura Desa Petulu.
Kejadian-kejadian seperti ini banyak. Bapak Wayan Sirig pun pernah mengalami. Hanya karena mengkonsumsi telur-telur Burung Kokokan yang dia ambil dari sarang, dia sakit.Â
Dia pun kemudian meminta maaf sesuai tradisi di desa ini. "Saya pun menghaturkan sesajen ke Pura Desa saat itu, sebagai bentuk permohonan maaf," ujar Bapak Wayan Sirig.
Saking percayanya dengan kekuatan magis burung ini, penduduk membuatkan Pelinggih (tempat pemujaan) khusus Burung Kokokan di dalam Pura Desa Petulu.Â
Setiap 7 bulan sekali, pada saat Hari Raya Kuningan mereka melakukan persembahyangan. Pada saat itu khusus dilakukan persembahan, pemujaan, dan pemuliaan bagi Burung Kokokan. Seluruh penduduk desa meyakini dan khidmat merayakan serta memujanya.
"Burung seperti bisa merasakan kalau jiwanya dikasihi di sini," kata Bapak Wayan Sirig.