Mohon tunggu...
I Putu Arya Aditia Utama
I Putu Arya Aditia Utama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional

Instagram: @aryaaditiautama

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Dinamika Politik Sebelum Kemerdekaan: Kerajaan Mataram di Bawah Kepemimpinan Sultan Agung

7 Oktober 2021   16:39 Diperbarui: 7 Oktober 2021   16:43 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kehidupan memang tidak akan pernah terlepas dari yang namanya politik. Setiap tindakan yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari pasti akan mengandung unsur politis. 

Tindakan sekecil apapun nuansa politis pasti akan selalu ada. Merekahnya unsur-unsur politis di masyarakat memang telah ada sejak dahulu. 

Pemikir-pemikir politik dari setiap zaman terus bermunculan dan hadir dengan ide-ide barunya untuk menganalisis dinamika politik yang begitu dinamis dalam masyarakat maupun negara. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki dinamika politik yang menarik untuk dianalisis, baik sebelum kemerdekaan maupun setelah kemerdekaan. 

Hal ini disebabkan oleh adanya banyak kerajaan yang telah menghiasi nusantara serta adanya banyak bangsa asing yang masuk untuk melakukan perdagangan maupun mencari rempah-rempah. Kerajaan Mataram di bawah kepemimpinan Sultan Agung adalah salah satu kerajaan yang dapat merepresentasikan dinamika politik sebelum kemerdekaan.

Dinamika Politik Internal Kerajaan Mataram

Sebelum dipimpin oleh Sultan Agung, Kerajaan Mataram telah menjelma menjadi kerajaan yang besar dan berjaya di bawah kepemimpinan ayahnya, yaitu Panembahan Senopati. 

Selama kepemimpinan ayahnya, Sultan Agung melakukan penyamaran di salah satu pondok untuk mencari sebuah ilmu pengetahuan dan belajar banyak bersama para guru yang ada di pondok tersebut. 

Awalnya, Sultan Agung adalah salah satu anak dari Panembahan Senopati yang akan dinobatkan sebagai seorang raja mataram penerus ayahnya. Akan tetapi, salah satu istri dari Panembahan Senapati menentang keputusannya dan ingin menaikkan anaknya sebagai pelanjut tahta. 

Di sisi lain, Sultan Agung yang telah mengetahui dirinya akan ditunjuk sebagai penerus tahta kerajaan menolak untuk menjadi raja dan memilih untuk menjadi seorang Brahmana karena kegemarannya dalam belajar dan mengajar. Bahkan hingga dewasa, Sultan Agung masih tetap dengan pendiriannya untuk tidak menjadi penerus tahta ayahnya.

Penolakan Sultan Agung didengar oleh istri Panembahan Senopati yang ingin menaikkan anaknya sebagai penerus tahta kerajaan sehingga suasana ini dimanfaatkan olehnya agar anaknya segera naik tahta sebagai pewaris kerajaan. Tindakan yang dilakukannya untuk mempercepat kenaikan tahta anaknya adalah dengan merencanakan pembunuhan Panembahan Senopati. 

Rencana yang telah disiapkan berjalan dengan baik dan lancar sehingga wafatlah Panembahan Senopati. Ketika Panembahan Senopati wafat, kerajaan mataram mengalami kekosongan, tetapi rencana untuk menaikkan anaknya sebagai pewaris tahta kerajaan tidak dapat berjalan dengan lancar karena banyak penasehat kerajaan yang menginginkan Sultan Agung untuk mewarisi tahta ayahnya dan hal ini juga sesuai dengan arahan dari Panembahan Senopati sebelum wafat.

Setelah adanya berbagai gejolak internal dari kerajaan Mataram karena kehilangan sosok pemimpin, akhirnya kematian dari Panembahan Senopati terungkap dan salah satu istrinya juga mengakui telah membunuhnya sehingga kesempatan anaknya untuk meneruskan pewaris kerajaan menjadi musnah. 

Kenyataan yang dihadapi oleh Sultan Agung dengan melihat kematian Ayahnya dan mengetahui orang di balik pembunuhannya mengakibatkan Sultan Agung menyetujui untuk menjadi raja Mataram penerus ayahnya. 

Peristiwa naiknya Sultan Agung menjadi seorang raja di Kerajaan Mataram telah menggambarkan dinamika politik internal yang terjadi kala itu. Tindakan yang dilakukan oleh salah satu istri dari Panembahan Senopati merupakan sebuah langkah politis untuk menaikkan anaknya sebagai penerus kerajaan. 

Di sisi lain, tindakan dari para penasehat istana yang terus membujuk Sultan Agung agar bersedia menyetujui sebagai seorang raja penerus Kerajaan Mataram juga merupakan bentuk dari tindakan politis agar kepemimpinan dari Kerajaan Mataram dapat terisi kembali.

Tindakan-tindakan di atas tergolong sebagai tindakan politis karena merupakan sebuah langkah untuk merebut dan menguasai sebuah kekuasaan. Apa yang dilakukan oleh istri dari Panembahan Senopati dengan membunuh suaminya sendiri jelas bertujuan untuk merebut kekuasaan dan agar anaknya menjadi seorang raja. 

Begitu juga tindakan para penasehat kerajaan yang membujuk Sultan Agung merupakan salah satu tindakan untuk mempertahankan kekuasaan yang telah ada. Inilah mengapa tindakan-tindakan di atas telah menggambarkan secara komprehensif dinamika politik internal sebelum kemerdekaan.

Dinamika Politik Eksternal Kerajaan Mataram

Sebagai kerajaan yang besar dan berjaya di tanah Jawa, Kerajaan Mataram tentunya memiliki kekuasaan yang begitu kuat dan daerah teritorial yang luas sehingga ketika ada orang asing ingin berkunjung ke Kerajaan Mataram maka harus mendapatkan izin dari rajanya. 

Ada berbagai bangsa asing yang telah melakukan kerja sama dengan Kerajaan Mataram, baik untuk berdagang, mencari rempah-rempah, maupun hanya sekedar bersilaturahmi. Salah satu bangsa asing yang pernah mengunjungi Kerajaan Mataram adalah bangsa Belanda di bawah kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie).

Kala itu, VOC dikenal sebagai kongsi dagang yang besar di dunia sehingga seringkali melakukan ekspansi ke berbagai wilayah, termasuk Kerajaan Mataram di Nusantara. 

Akan tetapi, VOC tidak hanya dikenal dengan kejayaannya saja, tetapi juga tindakannya yang eksploitatif dan menyiksa wilayah ekspansinya sehingga ketika VOC bertamu ke Kerajaan Mataram dengan dalil melakukan perdagangan, Sultan Agung langsung menyatakan berbagai persyaratan yang menyulitkan Belanda. 

Tindakan Sultan Agung sejatinya menunjukkan penolakan terhadap kehadiran Belanda di daerahnya karena ditakutkan akan memberatkan masyarakat Kerajaan Mataram. 

Pernyataan sikap yang dilakukan oleh Sultan Agung tentunya mengejutkan seisi kerajaan karena pernyataan tersebut akan memicu konflik antara Kerajaan Mataram dengan kongsi dagang VOC.

Tindakan yang dilakukan oleh Sultan Agung merupakan sebuah tindakan politis yang menunjukan kebijakan luar negeri dari Kerajaan Mataram. Sultan Agung memiliki prinsip untuk bisa berdiri di atas kaki sendiri tanpa adanya campur tangan orang asing sehingga apapun respon dari Belanda tidak akan menjadi masalah untuk Sultan Agung. 

Tindakan ini tentunya menggambarkan secara jelas dinamika politik luar negeri dari Kerajaan Mataram, dengan memperlihatkan kebijakan yang dikeluarkan oleh Sultan Agung atas kedatangan kongsi dagang Belanda, yaitu VOC.

Kejayaan Kerajaan Mataram mengakibatkan kerajaan ini banyak mengalami gejolak dan dinamika politik. Setiap tindakan yang dilakukan oleh elemen kerajaan sebetulnya dapat dianalisis sebagai sebuah perilaku politik dan akan menimbulkan sebuah gejolak politik. 

Bahkan dinamika politik yang terjadi tidak hanya politik internal, tetapi juga politik eksternal melalui tindakan Sultan Agung dalam menyikapi kedatangan bangsa asing ke Mataram maupun ketika bekerjasama dengan kerajaan lain di Nusantara maupun di luar Nusantara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun