Hari raya Galungan dan Kuningan merupakan salah satu hari suci umat Hindu yang ada di Bali. Hari raya Galungan dimeriahkan oleh umat Hindu setiap 6 bulan Bali atau 210 hari tepatnya lagi jatuh setiap Budha Kliwon wuku Dungulan pada bulan ini tepat jatuh pada minggu ke-2.
Dimana pada hari raya Galungan ini dikatakan sebagai hari kemenangan Dharma yang merupakan sifat kebenaran, melawan Adharma yang merupakan sifat kejahatan.Â
Perayaan Hari Raya Galungan di Bali biasanya memiliki ciri khas yaitu dengan membuat penjor yang dipasang di depan pintu masuk rumah atau tepi jalan, yang memiliki tujuan untuk menghiasi pekarangan yang memiliki nuansa alami.Â
Penjor disini merupakan bambu yang dihias secantik mungkin dengan bahan yang tersedia di alam yang sesuai tradisi masyarakat Bali setempat. Penjor disini sebagai symbol dari Naga Basuki yang memiliki makna kesejahteraan dan kemakmuran.Â
Di jaman modern seperti sekarang, apalagi sektor pariwisata di Bali sudah mulai di buka banyak wisatawan asing yang berkunjung, pulau Bali sering disuluhi sebagai pulau yang indah sekaligus memiliki nilai religious yang tinggi. (Penjor merupakan bambu yang dihias sesuai tradisi masyarakat Bali setempat menggunakan bahan yang seadanya di alam).
Adapun Hari Raya Galungan diperingati sebagai hari dimana umat Hindu mempercayai terciptanya alam semesta oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta dengan seluruh isinya. Serta merayakan kemenangan atas kebaikan (dharma) melawan kejahatan (adharma).Â
Sebagai puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi, umat Hindu melaksanakan persembahan berupa korban suci secara tulus iklas kepada Sang Hyang Widhi dan Bhatara-Bhatari dengan segala manifestasinya.Â
Penjor yang terpasang di depan pintu masuk setiap rumah merupakan salah satu aturan ke hadapan Bhatara Mahadewa (sebagaimana di kutip dari Wikipedia).
Galungan berasal dari bahasa Jawa Kuna yang memiliki arti sebuah pertarungan. Atau juga biasa disebut "Dungulan" yang memiliki arti menang atau sebuah kejayaan. Perbedaan penyebutan Wuku Galungan (di Jawa) dengan Wuku Dungulan (di Bali) memiliki arti yang sama, yaitu sama-sama wuku kesebelas.
Asal usul Hari Raya Galungan ini memang sangat sulit untuk dipastikan kapan pertama kali diadakan, oleh siapa dan dimana. Namun menurut Drs. I Gusti Agung Gede Putra selaku mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI mempekirakan bahwa Hari Raya Galungan ini sudah dirayakan oleh umat Hindu di seluruh Indonesia sebelum hadirnya di Pulau Bali.
Akan tetapi, di dalam lontar Purana Bali Dwipa, Hari Raya Galungan dimuat pertama kali dilaksanakan pada Purnama Kapat (Budha Kliwon Dungulan) di tahun 882 Masehi atau tahun Saka 804.Â
Didalam lontar tersebut termuat: "Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya." Yang memiliki arti: "Perayaan Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali diibaratkan sebagai Indra Loka." Lontar sendiri bisa disebut ibarat pustaka suci (yang disucikan) / kitab pedoman dan disimpan oleh umat Hindu.
Hari raya Galungan dan Kuningan dilaksanakan sebanyak dua kali pada setahun kalender Masehi. Jarak perayaan Hari raya Galungan dan Kuningan berjarak hanya 10 hari.Â
Perhitungan pelaksanaan kedua hari raya ini berdasarkan kalender Bali. Hari raya Galungan jatuh pada setiap hari Rabu pada wuku Dungulan. Sementara Hari raya Kuningan jatuh pada setiap hari Sabtu pada wuku Kuningan.
Umat Hindu di Bali merayakan Galungan dengan bersembahyang di setiap merajan dan pedarman masing-masing. Selain itu, masyarakat Hindu juga biasanya melaksanakan persembahyangan ke Pura-Pura yang ada di sekitar tempat tinggal seperti pura Siwa, pura Pemulungan Agung/Puseh dan Pura Dalem hingga sampai ke pura Besakih (Pura Terbesar di Bali).Â
Hari Raya Galungan dan Kuningan memiliki makna yang dapat dilihat secara filosofis, Hari Raya Galungan bertujuan supaya umat Hindu mampu membedakan prilaku hidup antara dharma (kebenaran) di dalam setiap individu dengan adharma (keburukan). Kebahagiaan bisa kita capai disaat kita mampu untuk berbuat kebenaran.Â
Dilihat dari sisi upacara, merupakan suatu momentum bagi umat Hindu untuk meningkatkan diri melalui sikap spiritual maupun ritual supaya dapat melawan adharma dan menegakkan dharma dalam kehidupan.Â
Bisa kita simpulkan bahwasannya inti hari raya Galungan merupakan penyatuan kekuatan rohani dan jasmani agar umat Hindu mampu menciptakan pendirian serta pemikiran yang terang, dalam upaya menghadirkan dharma pada setiap diri manusia.
Hari Raya Galungan memiliki rangkaian perayaannya yaitu pada 25 hari sebelum Galungan, tepatnya pada Saniscara (Sabtu) Kliwon wuku Wariga yang disebut Tumpek Wariga, atau Tumpek Bubuh.
Pada hari Tumpek Wariga dilakukan pemujaan kepada Sang Hyang Sangkara sebagai Dewa Kemakmuran dan Keselamatan Tumbuh-tumbuhan melalui tradisi masyarakat Hindu dengan menghaturkan banten (sesaji) yang berupa Bubuh (bubur) Sumsum yang berwarna.Â
Pepohonan akan disirati tirta wangsuhpada/air suci yang di peroleh dari setiap Pura/Merajan kemudian diberi banten berupa bubuh tadi disertai banten dan mengucapkan kata:
"Dadong- Dadong I Pekak anak kija
I Pekak ye gelem
I Pekak gelem apa dong?
I Pekak gelem nged
Nged, nged, nged"
Kata di atas memiliki makna supaya pohon-pohon yang diupacarai nantinya bisa menghasilkan buah yang dapat memakmurkan kehidupan dan juga sebagai wujud cinta kasih manusia kepada tumbuh-tumbuhan.
Setelah Tumpek Wariga, ada Sugihan Jawa. Sugihan Jawa berasal dari kata Sugi dan Jawa. Sugi berarti bersih, suci. Sedangkan Jawa memiliki akar kata Jaba yang artinya luar. Sehingga Sugihan Jawa dapat diartikan sebagai hari penyucian terhadap segala yang ada di luar diri manusia (Bhuana Agung).Â
Pada hari ini umat Hindu biasanya melaksanakan upacara yang disebut Mererebu atau Mererebon. Upacara Ngerebon memiliki tujuan untuk nyomia/menetralisir segala hal yang bersifat negatif yang berada pada Bhuana Agung yang diwujudkan dengan pembersihan Merajan, dan Rumah.
Sehari setelah Sugihan Jawa kemudian ada Sugihan Bali, yang memiliki makna penyucian/pembersihan diri sendiri dari segala sifat keburukan. Pelaksanaan Sugihan Bali ini biasanya dengan cara membersihkan diri melalui penyucian jiwa dan raga (Melukat).Â
Setelah itu ada Hari Penyekeban ini memiliki arti mengekang diri agar tidak melakukan hal-hal negatif. Â Setelah hari Penyekeban, terdapat Penyajan yang memiliki makna memantapkan diri untuk merayakan hari raya Galungan dengan pengendalian dari sifat-sifat raksasa.
Kemudian ada Hari Penampahan yang jatuh sehari sebelum Galungan, tepatnya lagi pada hari Selasa Wage wuku Dungulan. Pada hari ini seluruh umat Hindu melakukan pembuatan penjor sebagai bentuk rasa syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala anugrah yang dilimpahkan kepada umatnya. penjor ini dibuat dari bambu yang melengkung yang kemudian diisi hiasan sedemikian rupa dengan bahan yang sudah tersedia di alam.Â
Selain membuat penjor umat Hindu juga melakukan pemotongan babi yang kemudian dagingnya akan digunakan sebagai sesajen dalam pelaksanaan Hari Raya Galoungan ini. Pemotongan babi memiliki makna simbolis yakni membunuh semua sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia.Â
Masyarakat Bali percaya, pada hari Penampahan ini para leluhur akan mendatangi sanak keturunannya yang ada di dunia, karena itulah masyarakat juga membuat sesajen khusus yang biasanya disebut Saji yang biasanya berisi nasi, lauk-pauk, jajanan, buah, kopi, air, lekesan (daun sirih dan pinang) serta rokok
Nah setelah hari Penampahan. Tibalah hari yang ditunggu-tunggu yaitu Hari Galungan. Nah pada Hari Galungan ini biasanya pelaksanaan perayaannya dilakukan dari Pagi hari. Dimulai dari persembahyangan bersma sanak keluarga di rumah masing-masing hingga ke Pura sekitar tempat tinggal.Â
Pada hari galungan ini juga terdapat Tradisi yang kerap disebut Tradisi "Pulang Kampung", umat Hindu yang bertempat tinggal jauh dari rumah asalnya, seperti perantauan akan menyempatkan dirinya untuk pulang kampung sembahyang ke daerah kelahirannya masing-masing.
Sehari setelah hari raya Galungan, tepatnya pada pada hari Kamis Umanis wuku Dungulan kemudian ada hari Umanis Galungan, dimana semua umat Hindu melaksanakan persembahyangan dan dilanjutkan dengan saling berkunjung ke rumah kerabat atau melakukan refresing ke tempat-tempat yang indah seperti pantai, gunung, dan tempat pariwisata lainnya.
Anak-anak juga ada yang melaksanakan tradisi ngelawang pada hari tersebut. Ngelawang merupakan sebuah tradisi, di mana anak-anak menarikan barong bangkung disertai gambelan dari rumah penduduk-penduduk setempat.Â
Penduduk yang mempunyai rumah biasanya akan keluar dari rumah dengan membawa canang dan sesari/uang untuk anak-anak yang telah menarikan barong bangkung ini. Penduduk percaya bahwa adanya tarian barong bangkung ini dapat mengusir segala aura negatif dan mendatangkan aura positif.
Setelah hari Umanis Galungan, tepatnya pada Sabtu Pon wuku Galungan, dilaksanakan upacara Pemaridan Guru yang diartikan sebagai hari dimana melaksanakan kegiatan nyurud/ngelungsur waranugraha dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa Guru.Â
Setelah hari tersebut, dilanjutkan dengan hari Ulihan yang dirayakan pada Minggu Wage wuku Kuningan Ulihan disini memiliki makna pulang/kembali atau para leluhur dan dewata-dewata pulang ke dunianya masing-masing.Â
Sehari setelah Ulihan, ada hari pemacekan agung yang jatuh pada Senin Kliwon wuku Kuningan. Pemacekan agung memiliki makna sebagai simbol keteguhan iman umat manusia dari segala godaan negative selama perayaan hari raya Galungan.
Setelah rangkaian hari Suci Galungan tibalah hari Suci Kuningan. Hari Raya Kuningan atau biasa disebut Tumpek Kuningan jatuh pada hari Sabtu, Kliwon, wuku Kuningan.Â
Pada hari ini seluruh umat Hindu melaksanakan pemujaan kepada para dewa, dan leluhur-leluruh untuk memohon keselamatan, kedirgayusan, perlindungan dan tuntunan menuju jalan kebenaran. Pada hari ini para dewa, Bhatara, diiringi oleh para Pitara turun ke bumi hanya sampai tengah hari saja, sehingga pelaksanaan upacara dan persembahyangan pada Hari Suci Kuningan hanya berjalan setengah hari saja.
Semua bentuk sesajen atau alat persembahan yang disembahkankan seperti tamiang, kolem, dan endong biasanya identik dengan warna kuning. Ke dua hal ini sebenarnya mengandung makna nilai disiplin terhadap waktu serta Warna kuning yang menjadi ciri khas dengan hari raya Kuningan memiliki makna kesejahteraan hidup.
Hari rangkaian terakhir dari perayaan hari suci Galungan dan Kuningan ini ditutup dengan Pegat Wakan yang jatuh pada hari Rabu Kliwon wuku Pahang, sebulan setelah galungan.Â
Pada hari ini seluruh umat Hindu melaksanakan persembahyangan, dan mencabut penjor yang telah dibuat pada hari Penampahan Galungan kemudian dibakar dan abunya ditanam di pekarangan rumah masing-masing
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H