Kant berpendapat bahwa antinomi ini bisa dihilangkan ketika kita sudah paham fungsi dan kapasitas yang sebenarnya dari rasio yang berperan dalam menciptakan pengetahuan. Kant menyadari bahwa pengetahuan kita terbatas pada objek yang dapat dirasakan oleh indrawi. Sehingga rasionalisme ini di anggap gagap. Para filsuf rasionalisme tidak mempertimbangkan peran dari  pengalam empiris di dalam susunan pengetahuan mereka. Filsuf-filsuf rasional tidak bisa memberikan argumen yang relevan mengenai  klaim-klaim metafisis yang mereka paparkan, contohnya tentang Tuhan, tentang dunia, maupun tentang jiwa.
Dalam konteks filsafat sejarah, apabila sejarah sebagai apa/sebagaimana yang terlihat, maka suatu kepercayaan pada matafisis dan pemeliharaan tuhan tidak termasuk di dalamnya. Sebuah masa lalu dapat dikatakan sebagai sejarah hanya jika melalui proses berfikir rasional dan pengalaman emperis indrawi; apriori dan aposteriori. Didukung oleh bukti-bukti baik arsip, tingggalan sejarah ataupun bukti lainnya dengan mengesampingkan pengetahuan metafisis. Hal ini lah yang kemudian menjadi dasar berpikir sejarawan modern.Â
sebagai contoh, dalam sejarah Indonesia seperti kisah-kisah semasa Majapahit, penulisan sejarahnya akan berdasar pada proses berfikir dan penelitian ilmiah yang mengacu pada bukti-bukti sejarah yang tersedia. Selanjutnya mitos-mitos metafisis seperti kesaktian serta pengaruh-pengaruh kekuatan gaib tidak akat termasuk di dalamnya dan hanya bertahan sebagai mistikologi belaka. {T}
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI