Pertengahan tahun ini, tahun 2021, jagat media dihangatkan oleh isu kritik Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) kepada Presiden Joko Widodo. Dalam kritiknya, BEM UI memberi julukan presiden sebagai "The King of Lip Sevice". Kritik itu dilayangkan atas inkonsistensi wacana presiden mengenai: berani stop impor pagan; rindu didemo; revisi UU ITE; penguatan KPK; dan rentetan janji lainnya. Sehari kemudian, rektorat UI meradang dan memanggil BEM UI dengan dalih pembinaan mahasiswa, sungguh elit kampus (rektorat) yang memprihatinkan.
Masih berkaitan hal itu, di Bali muncul isu lebih hangat. Sabtu (3/7/2021) Presiden Mahasiswa Universitas Mahendradatta Bali, I Made Diatmika menyatakan dukungan kepada presiden dan menolak kritik BEM UI. Pernyataan itu juga memprihatinkan: pertama karena ada indikasi kesalahan cara bernalar dalam rangka memahami sebuah kritik; dan kedua karena mengatasnamakan "mahasiswa marhaen". Kata "marhaen" identik dengan marhaenisme sebagai ideologi warisan Bung Karno, namun kata "marhaen" dalam postingan itu juga terindikasi sebagai akronim sebuah lembaga. Walau akronimnya tidak nyambung, semoga marhaen yang dimaksud benar hanya sebuah identitas lembaga, karena sikap BEM Mahendradatta itu jelas tidak sesuai dengan marhaenisme. Namun jika kata itu juga dijadikan sebuah simbol ideologi, maka jelas nampaknya BEM Mahendradatta tidak paham tentang nilai-nilai pemikiran Bung Karno.
pertanian Bali. Pertama, terjadi dalam forum audiensi GmnI Denpasar di Kantor DPRD Provinsi Bali pada Jumat (7/5/2021) mengenai polemik impor beras. Kedua, terjadi dalam forum diskusi Bulan Bung Karno mengenai "Ancaman Kelestarian Kebudayaan Pertanian Bali" yang dilaksanakan GmnI Denpasar pada Minggu (20/6/2021).
Kesalahan cara bernalar tentang kritik juga pernah dua kali dipertontonkan oleh oknum pejabat publik dalam menyikapi kritik GmnI Denpasar terhadap sektorTerkait audiensi polemik impor beras di Gedung DPRD Provinsi Bali, setelah menerima kritik, Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali malah cenderung menyalahkan petani. Petani "dikambing hitamkan" terkait produksi dan kemandirian pangan Bali. Petani dianggap tidak mandiri dalam menjalankan usaha tani, hal itu dianggap menjadi penyebab tingginya biaya produksi. Biaya produksi tinggi mengakibatkan kesejahteraan petani rendah, sehingga dianggap mendegradasi minat masyarakat untuk bertani. Minat bertani yang rendah dianggap menjadi masalah untuk meningkatkan produksi pangan di Bali. Persoalan ini juga telah dimuat media Radar Bali pada Sabtu (8/5/2021).
Menyalahkan petani untuk menanggapi sebuah kritik jelas sebagai bentuk kesalahan bernalar, apalagi pernyataan itu dilontarkan oleh pejabat publik yang menangani bidang pertanian. Ada kondisi paradoks antara cara berfikir pejabat dengan tugas pokok dan fungsi lembaga. Dinas pertanian bertanggungjawab untuk melaksanakan pembinaan umum dan pembinaan teknis di bidang pertanian tanaman pangan, dan pejabatnya telah dibayar oleh negara untuk menjalankan tanggungjawab itu. Jika benar ada permasalahan kemandirian petani yang belum terpecahkan, maka jelas itu bukan kesalahan petani, namun bentuk kegagalan pejabat publik dalam rangka melaksanakan fungsi pembinaan di bidang pertanian. Bukan petani malah "dikambing hitamkan", melainkan perlu dilaksanakan evaluasi terhadap lembaga yang bertanggungjawab untuk hal itu, dan kritik adalah salah satu bentuk evaluasi masyarakat terhadap pejabat di lembaga pemerintah. Jika tidak kuat dikritik, maka jangan mengambil tanggungjawab menjadi pejabat publik.
Pejabat publik bidang pertanian yang tidak mau disalahkan tentang persoalan kondisi pertanian di lapangan, tidak sesuai dengan apa yang disampaikan Bung Karno dalam pidatonya saat peletakan batu pertama Fakultas Pertanian Universitas Indonesia tahun 1952 (yang kemudian tahun 1963 berubah menjadi Institut Pertanian Bogor). Terkait persoalan pangan, Bung Karno mengatakan  "Terutama sekali orang-orang yang duduk dalam badan-badan pemerintahan harus bersedia menjadi kambing hitam itu, yang diatas kepalanya diturunkan segala hujan-hujan tuduhan yang segar-segar, yakni harus bersedia dijadikan orang yang selalu dihantam, yang kepalanya seperti kop van jut". Atau mungkin, jika pejabat pertanian di Bali belum pernah tau tentang pidato itu, maka lebih memprihatinkan keadaannya.
Sementara dalam forum Bulan Bung Karno, pada sesi diskusi, ada oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) menyikapi secara unik terkait kritik salah satu kader GmnI Denpasar. Kritik kader GmnI Denpasar dilontarkan melalui asumsi kurangnya sosialisasi pemerintah Bali dalam pelaksanaan bazar buah lokal di Bali. Oknum ASN itu menyalahkan cara berpikir generasi muda yang dianggap selalu menitik beratkan persoalan kepada pemerintah. Katanya, generasi muda harus mulai belajar berfikir positif dan tidak selalu menyalahkan pemerintah dalam persoalan-persoalan seperti itu. Oknum itu berusaha melaksanakan agitasi, mengkonstruksi pemikiran forum bahwa kritik terhadap pemerintah adalah hal yang dianggap negatif dan tidak berkarakter.
Sekali lagi, jelas ada indikasi kesalahan cara bernalar dalam menanggapi sebuah kritik. Bahkan jika ternyata oknum ASN itu melaksanakan agitasi secara spontan (tidak direncanakan dan tidak terstruktur), maka artinya oknum itu perlu diingatkan kembali mengenai asas demokrasi dalam bernegara. Orang yang paham asas demokrasi tanpa ditunggangi kepentingan, tidak mungkin memandang kritik sebagai sebuah hal negatif. Sebaliknya, kritik sebagai bentuk suara rakyat adalah bagian penting yang positif dalam demokrasi bernegara.
Bung Karno dalam tulisannya berjudul "Demokrasi-Politik dan Demokrasi-Ekonomi", jelas menuliskan "Apakah demokrasi itu? Demokrasi adalah pemerintahan rakyat. Cara pemerintahan ini memberi hak kepada semua rakyat untuk ikut memerintah". Lebih spesifik, demokrasi dalam dasar negara Republik Indonesia yang digali Bung Karno, yaitu Pancasila poin keempat berbunyi "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan". Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, artinya pemimpin negara sebagai yang mewakili rakyat harus pandai menggunakan akal budinya (bijaksana). Jika ada pemimpin negara yang menyimpang dari nilai kebijaksanaan, seperti contoh yang telah dipaparkan di awal tulisan ini, atau spesifik misalnya polemik inkonsistensi Presiden Joko Widodo terhadap wacana-wacananya, maka rakyat wajar memberikan kritik kepadanya.
Mengenai kebijaksanaan, besar kemungkinan muncul pertanyaan bagaimana jika kritik yang dilontarkan oleh rakyat sebaliknya tidak bijaksana? Dalam kasus kritik GmnI Denpasar pada forum audiensi di Kantor DPRD Provinsi Bali dan forum diskusi Bulan Bung Karno, sepertinya tidak ada persoalan terkait hal ini. Namun dalam kasus kritik BEM UI, kebijaksanaannya sangat relatif. Sejauh ini, yang dengan lantang menyatakan kritik BEM UI disampaikan secara tidak bijaksana adalah pendukung-pendukung militan Presiden Joko Widodo. Presiden pun bahkan dalam keterangan yang diunggah Sekretariat Presiden di Youtube, menyatakan bahwa itu hanya bentuk ekspresi mahasiswa di negara demokrasi.
Jika kendati memang kritik BEM UI tidak bijaksana, maka tidak serta merta boleh dipandang sebagai hal negatif, karena itu hanya sebuah taktik. Bung Karno dalam tulisannya berjudul "Jawab Saya pada Saudara Mohammad Hatta" jelas membedakan antara taktik dan asas-asas perjuangan. Antara taktik dan asas bisa berbeda, bahkan bisa berseberangan. Asas perjuangan BEM UI tiada lain adalah menginginkan Negara Republik Indonesia yang lebih baik. Sepertinya bukan tanpa alasan BEM UI menggunakan taktik kritik melalui postingan "The King of Lip Service". Misalnya dalam beberapa hal, mahasiswa telah menyuarakan kritik kepada pemerintah namun faktanya inkonsistensi itu masih terjadi, sehingga mahasiswa memilih taktik-taktik alternatif.
      Intinya, taktik-taktik alternatif mahasiswa dipilih agar kritik yang disuarakan bisa didengar oleh stelsel (sistem) pemerintahan yang sudah terlanjur nyaman dalam kemapanannya. Mengadopsi cara berfikir Bung Karno tentang pola antara sosialisme dan kapitalisme. Sekali lagi, hanya mengadopsi cara berfikir, bukan substansinya. Pola antara kritik dan pemerintah dalam suatu negara, serupa dengan pola antara sosialisme dan kapitalisme. Bahwa kritik adalah reaksi, kritik tidak berdiri sendiri, kritik adalah anak kandung dari kesalahan pemerintah. Selama pemerintah masih melakukan kesalahan, selama itu juga kritik akan tetap ada. Kritik akan ada bila dibiarkan, namun kritik akan semakin menjadi-jadi bila ditekan. Merdeka!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H