Mohon tunggu...
I Gede Sutarya
I Gede Sutarya Mohon Tunggu... Dosen - Penulis dan akademisi pada Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

Lahir di Bangli, 8 November 1972 dari keluarga guru. Pendidikan SD sampai SMA di tempat kelahirannya Bangli. Menempuh Diploma 4 Pariwisata di Universitas Udayana selesai tahun 1997, S2 pada Teologi Hindu di IHDN Denpasar selesai tahun 2007, dan S3 (Doktor Pariwisata) di Universitas Udayana selesai tahun 2016.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bali dan Pemilu 2024: Pergumulan Tradisi dan Modernisasi

1 Januari 2024   17:04 Diperbarui: 1 Januari 2024   17:14 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Memasuki tahun 2024, Bali memasuki bulan-bulan politik menjelang Pemilu 14 Februari 2024. Pemilu adalah ajang kompetisi yang dicurigai kerap menggunakan identitas sebagai alat politik. 

Pada tahun 2023, isu agama berkobar di Bali, dengan menuding salah satu kandidat sebagai pelindung dan pengikut suatu sampradaya (sekte dalam Hindu) yang kontra dengan tradisi Bali. 

Tuduhan ini meluas sampai ke tubuh majelis tertinggi umat Hindu (Parisada Hindu Dharma Indonesia) sehingga terbangun kubu hasil Mahasabha Luar Biasa (MLB). Kubu MLB yang menyebut dirinya sebagai kelompok pemurnian Parisada. Kedua kubu saat ini sedang berseteru di pengadilan dengan Parisada hasil Mahasabha biasa. Perpecahan ini tidak terlepas dari permainan isu identitas. 

Permainan ini menentukan sendiri  pihak-pihak lainnya sebagai anti tradisi. Isu ini masih menjadi isu-isu di media sosial, dengan berbagai saran untuk tidak memilih calon yang anti tradisi dan yang lainnya. Apakah yang terjadi di Bali saat ini? Bagaimanakah mengelola konflik dari isu politik menjadi dialog kebudayaan?

Dinamika masyarakat Bali mulai tampak dari sekitar tahun 1920-an, ketika kaum terpelajar Bali mulai mengenal dunia luar, terutama modernisasi Hindu di India yang dilakukan peluang-pejuang India seperti Mahatma Gandhi. 

Pertemuan ini menghasilkan kelompok Suryakantha yang ingin melakukan modernisasi Kehidupan beragama dan kelompok Bali Adnyana yang ingin bertahan dengan agama tradisi di tengah terpaan modernisasi. 

Suryakantha ingin mengadopsi nilai modern seperti egalitarisme sehingga menentang sistem kasta yang diterapkan kolonial ketika itu untuk menentukan pejabat-pejabat kolonial di Bali.  Kedua kubu ini terus bersaing sampai Indonesia merdeka.

Kelompok Suryakantha yang aktif pada pergerakan national Indonesia mendapatkan kesempatan pada awal kemerdekaan. Karena itu, pada tahun 1950, kelompok ini mendapatkan dukungan wakil-wakil rakyat di Bali untuk menghapus hukum adat kasta di Bali. 

Akan tetapi, kelompok pergerakan nasional ini tidak mendapatkan tempat dominan pada pemerintahan karena pendidikan meraka belum sesuai untuk mengisi jabatan tinggi. 

Mereka kemudian beramai-ramai bersekolah ke luar negeri untuk bisa menduduki jabatan-jabatan pemerintahan. Akan tetapi, perang isu antara kedua kelompok ini terus terjadi.

Kedua kubu ini yaitu kubu tradisional dan kubu modernisasi Hindu terus ada sampai saat ini. Kelompok tradisional selalu menuduh kelompok modern sebagai keindia-indiaan, karena ide-ide modernisasi Hindu selalu didapatkan dari pemikiran-pemikiran Hindu dari India seperti pemikiran Mahatma Gandhi. 

Gagasan - gagasan egalitarisme (anti kasta) juga didapatkan dari tulisan - tulisan pemikiran India. Gerakan-gerakan Hindu modern juga sangat masif muncul di India, yang berpengaruh luas ke seluruh dunia.

Gerakan Hindu modern ini telah banyak berpengaruh di Bali. Semangat egalitarisme misalnya telah masuk ke wilayah-wilayah desa adat. Desa adat saat ini sebagian besar memilih pemimpin berdasarkan kemampuan, bukan berdasarkan keturunan. 

Pada level kependetaan, Parisada telah membuka kesempatan kepada siapapun untuk menjadi Brahmana (pendeta) tanpa memandang asal-usul keluarga. Kebijakan Parisada ini telah mengurangi dominasi kalangan pendeta Hindu tradisional yang berdasarkan kasta. 

Pada era reformasi, Parisada didominasi kelompok Hindu modern sehingga pada tahun 2000-an, Parisada telah mengakui sekitar 800 pendeta Hindu di luar kelompok tradisional masa lalu. Dari 800 pendeta Hindu modern ini, sebagian dari mereka adalah kalangan terdidik yang melakukan berbagai modernisasi kehidupan beragama di Bali.

Modernisasi Hindu ini terus meluas mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Modernisasi ini diterima kalangan menengah ke atas karena memberikan berbagai solusi kehidupan beragama. 

Perkembangan Hindu modern ini membuat resah kelompok tradisional sehingga mereka membangun kelompok yang mereka sebut sebagai kelompok pemurnian. 

Pada dasarnya, kedua kubu menyebut diri mereka sebagai pemurnian. Kelompok tradisional adalah kelompok pemurnian tradisi dan kelompok modern adalah kelompok pemurnian Veda sebab ajaran Veda dalam kurun waktu lama telah dicampuri berbagai kepentingan yang harus dimurnikan. Misalnya kasta yang menghalangi kelompok tertentu untuk menjadi pendeta.

Kompetisi kelompok-kelompok dalam agama tertentu adalah hal yang wajar, asalkan tidak dimanfaatkan kelompok-kelompok politik. Kompetisi tanpa kepentingan politik, akan menjadi dialog kebudayaan yang sehat. 

Orang-orang Bali pasti akan berubah sejalan dengan perkembangan zaman tanpa harus meninggalkan tradisi yang luhur, tetapi kalau menjadi isu politik maka persoalannya menjadi berbagai tuduhan-tuduhan yang dimainkan sedemikian rupa. 

Karl Marx menyatakan, konflik memang dilatarbelakangi kepentingan materi (ekonomi), tetapi itu hendaknya tampil sebagai sesuatu yang elegan. Kenyataannya itu tampil dalam bentuk berbagai isu-isu yang mudah dibaca bermuatan kekuasaan. 

Kelompok-kelompok kelas menengah di Bali hendaknya mengarahkan kompetisi ini menjadi dialog kebudayaan sehingga Bali mendapatkan manfaat dari kompetisi pemikiran ini. 

Masyarakat Bali juga perlu merenungkan berbagai bentuk perubahan dalam nilai-nilai luhur tradisi mereka. Kelompok modern juga perlu mendapatkan landasan tradisi yang kuat untuk melakukan perubahan. Semua itu hanya bisa didapatkan melalui dialog yang berkepanjangan. Perubahan memerlukan waktu, tetapi perubahan adalah kapastian sejarah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun