Mohon tunggu...
I Gede Sutarya
I Gede Sutarya Mohon Tunggu... Dosen - Penulis dan akademisi pada Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

Lahir di Bangli, 8 November 1972 dari keluarga guru. Pendidikan SD sampai SMA di tempat kelahirannya Bangli. Menempuh Diploma 4 Pariwisata di Universitas Udayana selesai tahun 1997, S2 pada Teologi Hindu di IHDN Denpasar selesai tahun 2007, dan S3 (Doktor Pariwisata) di Universitas Udayana selesai tahun 2016.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bali dan Pemilu 2024: Pergumulan Tradisi dan Modernisasi

1 Januari 2024   17:04 Diperbarui: 1 Januari 2024   17:14 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Gagasan - gagasan egalitarisme (anti kasta) juga didapatkan dari tulisan - tulisan pemikiran India. Gerakan-gerakan Hindu modern juga sangat masif muncul di India, yang berpengaruh luas ke seluruh dunia.

Gerakan Hindu modern ini telah banyak berpengaruh di Bali. Semangat egalitarisme misalnya telah masuk ke wilayah-wilayah desa adat. Desa adat saat ini sebagian besar memilih pemimpin berdasarkan kemampuan, bukan berdasarkan keturunan. 

Pada level kependetaan, Parisada telah membuka kesempatan kepada siapapun untuk menjadi Brahmana (pendeta) tanpa memandang asal-usul keluarga. Kebijakan Parisada ini telah mengurangi dominasi kalangan pendeta Hindu tradisional yang berdasarkan kasta. 

Pada era reformasi, Parisada didominasi kelompok Hindu modern sehingga pada tahun 2000-an, Parisada telah mengakui sekitar 800 pendeta Hindu di luar kelompok tradisional masa lalu. Dari 800 pendeta Hindu modern ini, sebagian dari mereka adalah kalangan terdidik yang melakukan berbagai modernisasi kehidupan beragama di Bali.

Modernisasi Hindu ini terus meluas mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Modernisasi ini diterima kalangan menengah ke atas karena memberikan berbagai solusi kehidupan beragama. 

Perkembangan Hindu modern ini membuat resah kelompok tradisional sehingga mereka membangun kelompok yang mereka sebut sebagai kelompok pemurnian. 

Pada dasarnya, kedua kubu menyebut diri mereka sebagai pemurnian. Kelompok tradisional adalah kelompok pemurnian tradisi dan kelompok modern adalah kelompok pemurnian Veda sebab ajaran Veda dalam kurun waktu lama telah dicampuri berbagai kepentingan yang harus dimurnikan. Misalnya kasta yang menghalangi kelompok tertentu untuk menjadi pendeta.

Kompetisi kelompok-kelompok dalam agama tertentu adalah hal yang wajar, asalkan tidak dimanfaatkan kelompok-kelompok politik. Kompetisi tanpa kepentingan politik, akan menjadi dialog kebudayaan yang sehat. 

Orang-orang Bali pasti akan berubah sejalan dengan perkembangan zaman tanpa harus meninggalkan tradisi yang luhur, tetapi kalau menjadi isu politik maka persoalannya menjadi berbagai tuduhan-tuduhan yang dimainkan sedemikian rupa. 

Karl Marx menyatakan, konflik memang dilatarbelakangi kepentingan materi (ekonomi), tetapi itu hendaknya tampil sebagai sesuatu yang elegan. Kenyataannya itu tampil dalam bentuk berbagai isu-isu yang mudah dibaca bermuatan kekuasaan. 

Kelompok-kelompok kelas menengah di Bali hendaknya mengarahkan kompetisi ini menjadi dialog kebudayaan sehingga Bali mendapatkan manfaat dari kompetisi pemikiran ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun