Mohon tunggu...
I Gede Sutarya
I Gede Sutarya Mohon Tunggu... Dosen - Penulis dan akademisi pada Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

Lahir di Bangli, 8 November 1972 dari keluarga guru. Pendidikan SD sampai SMA di tempat kelahirannya Bangli. Menempuh Diploma 4 Pariwisata di Universitas Udayana selesai tahun 1997, S2 pada Teologi Hindu di IHDN Denpasar selesai tahun 2007, dan S3 (Doktor Pariwisata) di Universitas Udayana selesai tahun 2016.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Galungan, Krisis, dan Janji Pariwisata

9 November 2021   12:30 Diperbarui: 9 November 2021   15:18 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Masyarakat Hindu di Bali pada 10 dan 20 Nopember 2021 ini merayakan hari raya Galungan dan Kuningan. Hari raya ini adalah hari raya kemenangan Dharma melawan Adharma yaitu lahir dari mitologi lokal Bali yaitu Mayadanawa, raksasa penguasa Bali yang jahat yang dikalahkan Dewa Indra. Hari kemenangan ini dimulai dari 7 Nopember 2021 yang disebut penyekeban, yang artinya disiplin diri. 

Pada 8 Nopember 2021 adalah penyajahan, yang artinya penguatan keyakinan terhadap kebenaran. Pada 9 Nopember 2021, adalah penampahan, yang artinya maju berperang melawan ketidakbenaran. Pada 10 Nopember 2021, adalah hari raya kemenangan, yang dilakukan dengan berbagai ritual dan pujaan terhadap para dewa.

Fokus pemujaan pada hari raya Galungan adalah kepada Bhatari Durga, penguasa bhumi. Dewi Durga disimbolkan dalam sarana upacara yang berupa candigaan, yang berasal dari kata candika yang merupakan nama lain dari Bhatari Durga. 

Pada hari Galungan, juga dipersembahkan upacara inti berupa tumpeng yang merupakan lambang lingga. Persembahan lingga ini dipersembahkan kepada Durga yang merupakan yoni atau bumi. Dengan persembahan ini diharapkan lingga dan yoni menunggal sehingga dunia berada dalam keharmonisan.

Perayaan Galungan dan Kuningan pada tahun ini berada di tengah krisis ekonomi Bali akibat dari pandemi covid 19. Bali sempat menikmati puncak kunjungan wisman 6 juta pada tahun 2019, tetapi menurun drastis tahun 2020 dan 2021 ini. 

Penurunan ini sangat mengganggu ekonomi Bali sehingga berdasarkan data Bank Indonesia, Bali mengalami pertumbuhan minus 4,08 persen pada Triwulan II tahun 2021 dan minus 3,43 persen pada Triwulan III tahun 2021. Pertumbuhan minus ini tentu memberatkan bagi masyarakat Bali yang bergantung pada sektor-sektor pariwisata karena sektor pariwisata belum menunjukkan pertumbuhan yang berarti.

Krisis ekonomi ini menjadi pelajaran bagi masyarakat Bali, untuk memberikan makna baru bagi mitologinya. Rangkaian hari raya Galungan dan Kuningan telah memberikan pelajaran bahwa untuk memenangkan dharma maka manusia Bali harus berdisiplin (panyekeban), memiliki keyakinan (penyajahan), dan keberanian untuk berperang (penampahan). 

Disiplin dalam dharma selalu dikaitkan dengan pengendalian diri (yama dan nyama). Beberapa yang terpenting dari disiplin itu adalah brahmacari (belajar terus menerus) dan aparigraha (hidup sederhana).

Dalam brahmacari, masyarakat Bali harus belajar bahwa keinginan untuk mendapatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, telah menyebabkan orang Bali lupa terhadap kapasitas dirinya, kemampuannya, dan keberlangsungannya. Sampai kedatangan wisman yang berjumlah enam juta, masyarakat Bali belum merumuskan seberapa besar daya tampung Bali. 

Masyarakat Bali juga belum merumuskan kemampuan dirinya untuk melayani pertumbuhan wisman tersebut. Semua itu diabaikan karena keinginan masyarakat Bali untuk meraup keuntungan yang sebanyak-banyaknya, yang kemudian menjadi jebakan ketergantungan kepada pariwisata. 

Jebakan ini menjadikan Bali sangat riskan dengan isu-isu dunia dan pandemi sehingga ketika terjadi masalah di belahan dunia lain maka Bali mengalami berbagai masalah juga. Hal itu menunjukkan ketidakkuatan Bali untuk berdiri di atas kakinya sendiri sehingga harus selalu bersandar dalam kerumunan masyarakat dunia.

Bhagavad Gita Adhyaya II, Seloka 62 dan 63 telah menjelaskan bahwa keinginan adalah sumber dari kekecewaan, yang akan melahirkan kebingungan dan kemudian akan menghancurkan sang diri.

 Hal ini telah menjadi jelas dari pelajaran pariwisata Bali bahwa keinginan terhadap kemewahan ekonomi pariwisata telah menimbulkan kekecewaan, kemarahan, dan kemudian akan menimbulkan kehancuran jika tidak dikendalikan. 

Karena itu, pada momentum Galungan dan Kuningan ini, masyarakat Bali sebaiknya untuk kembali menata ulang mimpi-mimpi kemewahannya pada bidang pariwisata menjadi rencana-rencana untuk membangun keberlangsungan Bali.

Keberlangsungan Bali, yang dalam istilah pembangunan modern disebut dengan sustainablity, adalah merupakan nilai amerta pada masyarakat Hindu.

 Amerta artinya kehidupan abadi, yang artinya adalah bagaimana menjaga dunia ini bisa berjalan terus menerus dengan harmoni. Perjuangan untuk mendapatkan amerta ini adalah sama seperti perjuangan untuk mendapatkan kemenangan dharma, yaitu harus berdasarkan disiplin dan kemampuan untuk hidup sederhana. 

Contoh dari perjuangan ini tampak dalam cerita Sang Garuda dalam Adiparwa, di mana untuk membebaskan ibunya dari perbudakan, Sang Garuda harus menempuh perjalanan sulit untuk mendapatkan amerta. 

Dalam perjalanan tersebut, ada beberapa disiplin yang harus dilakukan terutama dalam masalah makan memakan. Salah satunya, Sang Garuda tidak boleh memakan brahmana, yang merupakan guru, sumber ilmu pengetahuan.

Pada konteks ekonomi dari perjuangan untuk mencari amerta ini, pembangunan Bali harus kembali diarahkan kepada prinsip-prinsip kesederhanaan, di mana pembangunan pariwisata harus berlangsung sejalan dengan sektor-sektor lainnya, bahkan harus bisa saling mendukung. 

Keinginan terhadap kemewahan pariwisata, telah mendorong Bali untuk mengundang investasi asing sehingga mengesampingkan usaha-usaha lokal seperti homestay, warung dan rumah makan. 

Keinginan kemewahan ini, bahkan telah mengesampingkan pertanian lokal agar suguhan pariwisata berstandar internasional. Standar-standar internasional yang dibuat para kapitalis telah menekan produk-produk lokal kita menjadi terpinggirkan dan bahkan busuk.

Oleh karena itu, harus mulai dibangun keyakinan (penyajahan) untuk berani berperang (penampahan) untuk memenangkan produk-produk lokal, dengan komitmen kuat untuk membangun Bali secara berdisiplin dan sederhana. Pembangunan pariwisata Bali hendaknya tidak lagi mengikuti standar-standar pertumbuhan kunjungan wisman, pengeluaran wisman, dan pertumbuhan investasi asing yang dibangun intelektual organik kapitalis. 

Standar-standarnya harus diubah menjadi pemeliharaan kesucian (the sacred) Bali, lingkungan, ekonomi lokal, dan masyarakat lokal Bali yang dirumuskan sendiri untuk menjadikan Bali bermakna bagi masyarakatnya. 

Karena itu, keberhasilan pembangunan pariwisata Bali harus diukur dari sejauhmana pariwisata memberikan manfaat bagi pemeliharaan kesucian Bali, lingkungan Bali, masyarakat Bali, dan ekonomi lokal Bali.

Pengubahan standar-standar ini merupakan persembahan kepada bumi Bali, yang secara ritual mendapatkan persembahan pada hari raya Galungan dan Kuningan ini.

 Hindu tidak hanya mengajarkan acara (ritual) tetapi juga susila (etika) dan tatwa (filsafat kehidupan). Karena itu, ritual tak akan ada manfaatnya jika tidak membangun etika yang baik, untuk memaknai kehidupan ini menjadi lebih berharga. Tiga kerangka Hindu ini harus terwujud dalam kehidupan sehari-hari, yang berupa usaha sadar untuk membangun kehidupan Bali yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun