Bhagavad Gita Adhyaya II, Seloka 62 dan 63 telah menjelaskan bahwa keinginan adalah sumber dari kekecewaan, yang akan melahirkan kebingungan dan kemudian akan menghancurkan sang diri.
 Hal ini telah menjadi jelas dari pelajaran pariwisata Bali bahwa keinginan terhadap kemewahan ekonomi pariwisata telah menimbulkan kekecewaan, kemarahan, dan kemudian akan menimbulkan kehancuran jika tidak dikendalikan.Â
Karena itu, pada momentum Galungan dan Kuningan ini, masyarakat Bali sebaiknya untuk kembali menata ulang mimpi-mimpi kemewahannya pada bidang pariwisata menjadi rencana-rencana untuk membangun keberlangsungan Bali.
Keberlangsungan Bali, yang dalam istilah pembangunan modern disebut dengan sustainablity, adalah merupakan nilai amerta pada masyarakat Hindu.
 Amerta artinya kehidupan abadi, yang artinya adalah bagaimana menjaga dunia ini bisa berjalan terus menerus dengan harmoni. Perjuangan untuk mendapatkan amerta ini adalah sama seperti perjuangan untuk mendapatkan kemenangan dharma, yaitu harus berdasarkan disiplin dan kemampuan untuk hidup sederhana.Â
Contoh dari perjuangan ini tampak dalam cerita Sang Garuda dalam Adiparwa, di mana untuk membebaskan ibunya dari perbudakan, Sang Garuda harus menempuh perjalanan sulit untuk mendapatkan amerta.Â
Dalam perjalanan tersebut, ada beberapa disiplin yang harus dilakukan terutama dalam masalah makan memakan. Salah satunya, Sang Garuda tidak boleh memakan brahmana, yang merupakan guru, sumber ilmu pengetahuan.
Pada konteks ekonomi dari perjuangan untuk mencari amerta ini, pembangunan Bali harus kembali diarahkan kepada prinsip-prinsip kesederhanaan, di mana pembangunan pariwisata harus berlangsung sejalan dengan sektor-sektor lainnya, bahkan harus bisa saling mendukung.Â
Keinginan terhadap kemewahan pariwisata, telah mendorong Bali untuk mengundang investasi asing sehingga mengesampingkan usaha-usaha lokal seperti homestay, warung dan rumah makan.Â
Keinginan kemewahan ini, bahkan telah mengesampingkan pertanian lokal agar suguhan pariwisata berstandar internasional. Standar-standar internasional yang dibuat para kapitalis telah menekan produk-produk lokal kita menjadi terpinggirkan dan bahkan busuk.
Oleh karena itu, harus mulai dibangun keyakinan (penyajahan) untuk berani berperang (penampahan) untuk memenangkan produk-produk lokal, dengan komitmen kuat untuk membangun Bali secara berdisiplin dan sederhana. Pembangunan pariwisata Bali hendaknya tidak lagi mengikuti standar-standar pertumbuhan kunjungan wisman, pengeluaran wisman, dan pertumbuhan investasi asing yang dibangun intelektual organik kapitalis.Â