Mohon tunggu...
I. Addi Wisudawan
I. Addi Wisudawan Mohon Tunggu... Pengacara - beginner writer

motorcycle traveller

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

R.I.P Ideologi Politik

17 Juli 2018   15:01 Diperbarui: 17 Juli 2018   15:16 941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suka tidak suka harus diakui bahwa semenjak masuknya Ir. Joko Widodo (Jokowi) dalam panggung politik nasional, antusiasme dan rasa peduli masyarakat terhadap politik meningkat secara signifikan. Tingginya angka golput (sikap tidak menggunakan hak pilihnya) dalam pemilihan presiden pada beberapa periode sebelumnya menandakan rendahnya partisipasi masyarakat terhadap proses politik di negeri ini, hal inilah yang menggambarkan tingginya tingkat apatisme masyarakat. 

Dinamika Politik dalam 3 Orde

Jokowi akhirnya masuk dalam kandidat calon Presiden setelah sebelumnya berhasil memenangkan Pilkada di Jakarta berpasangan dengan Basuki Tjanya Purnama (Ahok). Pada tingkat ini, Jokowi-Ahok berhasik mencuri perhatian masyarakat luas dari berbagai segmen. Jika dahulu hanya sebagian besar saja masyarakat yang peduli terhadap proses politik, agak berbeda halnya ketika Jowoki-Ahok masuk dalam kontes politik di Jakarta.

Sangat jelas terlihat bagaimana antusiasme masyarakat terhadap proses pilkada di Jakarta. Jika dahulu mesin politik hanya dari Tim Sukses yang dibentuk dari partai pengusung saja, pada periode ini muncul gelombang arus bawah yang tergabung dalam kantong-kantong relawan pendukung. Artinya sekali lagi, masyarakat memiliki kesadaran dan keinginan untuk memenangkan pasangan yang didukungnya dan secara tidak langsung masyarakat membawa perubahan dinamika politik di Indonesia dengan cara ikut meramaikan dan mensukseskan proses politik pada saat itu.

Yang menjadi menarik adalah, Apakah yang melatar belakingi perubahan masyarakat terhadap proses politik diatas? Apakah dikarenakan persamaan visi dan misi dari partai pengusung? Apakah dari ideologi partai pengusungnya? Mirisnya, proses-proses tersebut hanya didasari oleh rasa suka (simpati) terhadap tokoh-tokoh diatas. Mari kita bandingkan dengan dinamika politik pada beberapa Orde sebelumnya. 

Jika pada periode Orde Lama, proses politik begitu semarak dikarenakan tingginya kepedulian terhadap kondisi dan arah serta cita-cita bangsa. Masyarakat bergerak dan mengelompokkan diri dengan orang-orang yang memiliki pandangan politik, visi dan misi yang sama dengannya demi satu tujuan yang sama yakni kemajuan indonesia. Artinya platform Ideologi Politik sangat berpengaruh pada masa itu. Ideologi politik jugalah yang menentukan arah dari bangsa ini.

Beralih pada masa Orde Baru, walaupun pada masa ini dianggap sebagai masa kelam proses politik dan matinya demokrasi di Indonesia, akan tetapi platform politik pada masa ini justru lebih kental dan massive. Hal ini dikarenakan kebijakan Pemerintah Orde Baru yang membagi dan mempola Partai Politik menjadi 2 partai dan 1 golongan, yakni Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia serta Golongan Karya. Dari kebijakan inilah mulai terjadi polarisasi platform politik dan terafiliasi kepada Partai Politik yang memiliki Ideologi senafas. 

Misalkan saja bagi mereka yang memiliki Platform Politik Nasionalis maka cenderung akan berafiliasi pada Partai Demokrasi Indonesia, sedangkan bagi mereka yang memiliki pandangan politik sesuai nafas Islam maka cenderung bersatu pada dibawah naungan Partai Persatuan Pembangunan. Sedangkan golongan karya diidentikkan dengan kendaraan pemerintah untuk memobilisasi massa dengan mengatasnamakan loyalitas kepada Presiden (pada saat itu).

Pada masa Reformasi, keran demokrasi dibuka sangat lebar sehingga arus kebebasan mengalir begitu derasnya. Dapat dilihat dengan munculnya partai-partai politik baru pada saat itu hingga berjumlah 48 partai. Ideologi-ideologi politik seolah terbebas dan leluasa mengekspresikan diri melalui partai-partai politik nya. Sebut saja misalkan dari kauh Nahdliyin tergabung melalui Partai Kebangkitan Bangsa, atau dari saudara-saudara di Muhamadiyah masuk dalam kendaraan politik Partai Amanat Nasional. 

Kaum nasionalis yang sebelumnya dipaksa berada dibawah Partai Demokrasi Indonesia seolah menemukan jati diriinya kembali dengan membentuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dibawah kepemimpinan Megawati pada saat itu. Begitu pula dengan partai partai lama pada masa orde lama bermatamorfosa menjadi partai baru kecuali Partai Komunis Indonesia yang masih menjadi Partai dan Ideologi terlarang di Indonesia.

Partai Politik, Masyarakat & Ideologi

Merujuk pemikiran Ali Syari'ati, seorang tokoh revolusi Iran yang berpendapat bahwa Ideologi adalah keyakinan-keyakinan dan gagasan-gagasan yang ditaati oleh suatu kelompok, suatu kelas sosial, suatu bangsa, atau suatu ras tertentu. Dalam implementasinya, masyarakat yang memiliki keyakinan-keyakinan dan gagasan-gagasan serta pandangan visi dan misi yang sama kemudian berserikat dan berkumpul dalam suatu wadah suatu organisasi. 

Dalam rangka mewujudkan visi misi dan gagasan maka dibentuklah partai politik sebagai sebuah organisasi untuk mewujudkan hal-hal disebutkan tadi. Artinya, masuknya seseroang kedalam partai politik seyogyanya dilatarbelakangi oleh ideologi yang sama antara partai politik dan ideology pribadinya. Hal ini terjadi di Indonesia pada masa orde lama dan orde baru seperti disampaikan penulis diatas.

Dalam konteks kekinian, hal tersebut perlahan namun pasti mulai terkikis. Ideology bukan lagi hal yang penting dalam menentukan proses politik. Dapat dilihat dari fenomena beberapa partai politik yang membuka kesempatan bagi masyarakat yang ingin mencalonkan diri menjadi calon anggota Dewan Perwakilan baik ditingkat pusat maupun di daerah. Dari fenomena tersebut secara tidak disadari partai memposisikan diri sebagai kendaraan politik semata, tanpa lagi mengidahkan ideology politik, karakter, serta kapabilitas dari pribadi yang bersangkutan. 

Dalam jangka waktu yang sangat singkat tersebut, apakah mungkin bagi partai membentuk karakter pribadi sesuai dengan visi misi serta ideology partai. Kapasitas dan kapabilitas tidak dapat dibentuk dengan waktu yang sangat singkat seperti itu. Inilah peran penting dari kaderisasi partai. 

Walaupun ada mekanisme fit and proper test tetap tidak akan membentuk karakter sesuai dengan jatidiri partai. Pada akhirnya yang terjadi adalah terjadinya fenomena "kutu loncat". Seseorang yang dengan mudahnya berpindah dari satu partai ke partai lainnya. Apapun alasannya, ideology bukan yang melatar belakangi. Karena pada awalnya memang bukan dilatarbelakangi oleh ideology mereka masuk kepartai awal.

Berbeda halnya dengan yang terjadi dilapisan masyarakat sebagai pemilih. Dikarenakan konsep pemilihan sekarang adalah memilih langsung orang (walaupun tergabung dalam partai politik) bukan partai politik, maka semakin menegaskan jika dasar dalam proses memilih bukan lagi berdasarkan persamaan  gagasan, visi dan misi (ideology) lagi. 

Akan tetapi hanya berdasarkan oleh ketokohan dari calon yang ditampilkan. Dapat dilihat dari fenomena artis masuk parlemen. Apakah mereka masuk parlemen dkarenakan persamaan ideology antara partai, pribadinya dan konstituen (pemilihnya)? Absolutely No !!!

Dalam konteks yang lebih vital dapat kita lihat pada narasi pembuka pada tulisan ini, yaitu besarnya dukungan kepada Jokowi pada pemilihan gubernur Jakarta dan pada saat pemilihan presiden. Apa visi misi jokowi pada saat itu? Apa gagasannya terhadap Indonesia? Apakah antusiasme masyarakat tersebut dilatarbelakangi oleh ideologinya? Dapat penulis asumsikan dukungan terhadap Jokowi bukan karena itu semua. 

Para pendukung dapat diasumsikan memilih hanya melihat berdasar pribadi Jokowi yang santun, Jokowi yang tampil sederhana dan bersahaja, Jokowi yang menggunakan kendaraan dinas hasil rakitan siswa SMK pada saat memimpin Kota Solo. Hal-hal itulah yang berhasil menarik rasa simpati dan empati masyarakat. Strategi politik dibangun dengan membangun citra guna meraih simpati masyarakat. Metode blusukan, adalah salah satunya. Terlepas dari pro dan kontranya penulis menilai: secara pragmatis hal ini efektif untuk meraih suara.

Jokowi adalah orang jawa. Ini adalah salah satu hal metode juga yang digunakan oleh mesin politiknya untuk mendulang suara. Fanatisme dan Primodialisme. 

Menjual kesukuan dalam rangka meraih dukungan dari mereka yang memiliki persamaan. Parahnya, fanatisme ini kemudian melebar tidak hanya sampai hanya berbicara kesukuan, namun juga masuk hingga ranah agama. Fanatisme dari golongan-golongan tertentu juga dimanfaatkan untuk meraih kemenangan politik. Penulis asumsikan misal kekuataan masyarakat Nahdliyin. Nahdlatul Ulama (NU) adakah kantong massa nyata. Bagi mereka yang dibesarkan dengan tradisi NU melalui pondok-pondok pesantrennya maka akan paham tentang arahan dari Kyai Besar. 

Bayangkan missal dari 1 pondok yang melahirkan ratusan hingga ribuan santri, kemudian dari beberapa santri-santri yang telah lulus tersebut memiliki jamaah atau bahkan ada yang membuka pondok pesantren di daerah yang lain dan memiliki santri lagi didalamnya maka NU laksana sebuah ranting pohon yang terus bercabang. Dan itu tersebar seantero negeri ini. Maka berapa juta suara dari NU disini. Maka tak heran jika NU memiliki bargaining position dalam setiap proses politik di Indonesia. Fanatisme terhadap NU inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh beberapa politisi guna meraih suara nyata.

Namun apakah arah dari bangsa ini hanya akan ditentukan oleh pemilihan yang berdasarkan kepada rasa simpati dan rasa fanatic atas sesuatu hal saja? Mengapa ideology sangat penting dalam proses politik? Karena didalam ideology itulah terdapat arah tujuan harapan akan masa depan bangsa.

 Contoh nyata adalah mengapa ideology komunis menjadi sangat terlarang di Indonesia? Karena arah dan tujuan ideology komunis sangat bertentangan dengan ideology bangsa kita. Sehingga penulis menyimpulkan bahwa proses politik yang terjadi pada saat ini bukanlah berdasarkan lagi pada pandangan ideology politik. Ideology politik sudah tidak digunakan lagi, namun menggunakan dan memanfaatkan rasa simpati dan fanatisme dari masyarakat. Jika kita hanya memilih berdasarkan rasa simpati dan fanatisme semata lalu apa harapan kita atas tujuan bangsa kita? Maka jadilah pemilih yang cerdas dan berideologi. Ideology yang menentukan karakter suatu bangsa.

Fanatisme dan Media Sosial

Media sosial dijadikan media dan panggung pertarungan politik. Masyarakat media sosial (Netizen) rata-rata terbagi menjadi 2 kelompok, yang mendukung dan oposisi. Ironisnya, pertarungan dalam dunia maya ini tidak dapat dikontrol secara nyata. Mungkin karena mereka tidak bertatap muka antara 1 dengan yang lain, maka akan tanpa beban menuliskan pandangannya. Memprovokasi, hingga menghujat antar golongan baik pendukung maupun oposisi. 

Fanatisme terhadap seseorang juga terjadi disini. Sehingga cenderung melakukan serangan kepada yang berbeda padangan dengannya. Tanpa didasari pemahaman, pengetahuan dan tanpa ilmu dalam melakukan suatu analisis. Padahal dalam ilmu pengetahuan ada yang dinamakan dengan teori-teori yang dijadikan sebagai pisau analisis dalam mempetakan suatu permalahan. 

Komentar-komentar juga acap kali tidak mengidahkan etika dan kepantasan sebagai masyarakat timur yang memegang teguh adat tata krama. Menghargai antara sesame walaupun berbeda pandangan. Jika terlalu fanatic terhadap sesorang sehingga apa yang dilakukannya selalu benar, atau mungkin karena kita sudah terlalu fanatic walaupun kita sadar ada beberapa hal yang salah dari seseorang maka seolah-olah hal tersebut diabaikan dan tidak dijadikan pertimbangan dalam menentukan langkah. 

Fanatisme terhadap sesorang itu laksana menabikan seseorang. Sudjiwo Tedjo seorang budayawan nyentrik dalam salah satu tweetnya pernah menyatakan "Pemimpin tangan besi mematikan nyali. Pemimpin yang dinabikan mematikan nalar".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun