Mohon tunggu...
I. Addi Wisudawan
I. Addi Wisudawan Mohon Tunggu... Pengacara - beginner writer

motorcycle traveller

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

R.I.P Ideologi Politik

17 Juli 2018   15:01 Diperbarui: 17 Juli 2018   15:16 941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bayangkan missal dari 1 pondok yang melahirkan ratusan hingga ribuan santri, kemudian dari beberapa santri-santri yang telah lulus tersebut memiliki jamaah atau bahkan ada yang membuka pondok pesantren di daerah yang lain dan memiliki santri lagi didalamnya maka NU laksana sebuah ranting pohon yang terus bercabang. Dan itu tersebar seantero negeri ini. Maka berapa juta suara dari NU disini. Maka tak heran jika NU memiliki bargaining position dalam setiap proses politik di Indonesia. Fanatisme terhadap NU inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh beberapa politisi guna meraih suara nyata.

Namun apakah arah dari bangsa ini hanya akan ditentukan oleh pemilihan yang berdasarkan kepada rasa simpati dan rasa fanatic atas sesuatu hal saja? Mengapa ideology sangat penting dalam proses politik? Karena didalam ideology itulah terdapat arah tujuan harapan akan masa depan bangsa.

 Contoh nyata adalah mengapa ideology komunis menjadi sangat terlarang di Indonesia? Karena arah dan tujuan ideology komunis sangat bertentangan dengan ideology bangsa kita. Sehingga penulis menyimpulkan bahwa proses politik yang terjadi pada saat ini bukanlah berdasarkan lagi pada pandangan ideology politik. Ideology politik sudah tidak digunakan lagi, namun menggunakan dan memanfaatkan rasa simpati dan fanatisme dari masyarakat. Jika kita hanya memilih berdasarkan rasa simpati dan fanatisme semata lalu apa harapan kita atas tujuan bangsa kita? Maka jadilah pemilih yang cerdas dan berideologi. Ideology yang menentukan karakter suatu bangsa.

Fanatisme dan Media Sosial

Media sosial dijadikan media dan panggung pertarungan politik. Masyarakat media sosial (Netizen) rata-rata terbagi menjadi 2 kelompok, yang mendukung dan oposisi. Ironisnya, pertarungan dalam dunia maya ini tidak dapat dikontrol secara nyata. Mungkin karena mereka tidak bertatap muka antara 1 dengan yang lain, maka akan tanpa beban menuliskan pandangannya. Memprovokasi, hingga menghujat antar golongan baik pendukung maupun oposisi. 

Fanatisme terhadap seseorang juga terjadi disini. Sehingga cenderung melakukan serangan kepada yang berbeda padangan dengannya. Tanpa didasari pemahaman, pengetahuan dan tanpa ilmu dalam melakukan suatu analisis. Padahal dalam ilmu pengetahuan ada yang dinamakan dengan teori-teori yang dijadikan sebagai pisau analisis dalam mempetakan suatu permalahan. 

Komentar-komentar juga acap kali tidak mengidahkan etika dan kepantasan sebagai masyarakat timur yang memegang teguh adat tata krama. Menghargai antara sesame walaupun berbeda pandangan. Jika terlalu fanatic terhadap sesorang sehingga apa yang dilakukannya selalu benar, atau mungkin karena kita sudah terlalu fanatic walaupun kita sadar ada beberapa hal yang salah dari seseorang maka seolah-olah hal tersebut diabaikan dan tidak dijadikan pertimbangan dalam menentukan langkah. 

Fanatisme terhadap sesorang itu laksana menabikan seseorang. Sudjiwo Tedjo seorang budayawan nyentrik dalam salah satu tweetnya pernah menyatakan "Pemimpin tangan besi mematikan nyali. Pemimpin yang dinabikan mematikan nalar".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun