Ketika membuat resolusi tahun baru, mengapa tidak kita ‘ajak’ Tuhan untuk menyusunnya?
Sebuah pertanyaan yang dilontarkan istri saya sukses menghenyakkan saya dengan tiba-tiba:
“Ketika berdoa, apa yang kamu utarakan kepada Tuhan?”
Pertanyaan itu ia lontarkan hanya beberapa menit menjelang pergantian tahun, ketika kami baru saja menyelesaikan susunan daftar resolusi di buku khusus kami. Saat itu, beberapa tahun lalu, kami berdua sedang berada di Ubud, Bali, tanpa anak-anak. Kami memang berniat merayakan pergantian tahun dengan melakukan kontemplasi. Mencoba menengok ke belakang sebentar untuk kemudian menatap kembali lebih jauh ke depan.
Pertanyaan belahan hati saya itu sungguh telah membangunkan kesadaran saya. Begitu ditangkap telinga dan dikirim ke otak, pertanyaan itu diolah sedemikian rupa sehingga jadi terdengar seperti “Ketika berdoa, apakah kamu sungguh-sungguh mengutarakan itu kepada Tuhan?”
Saya menatap kembali deretan daftar resolusi kami tahun lalu. Banyak yang belum tercoret. Jangan-jangan beberapa target hidup yang melenceng itu memang karena saya tidak berdoa dengan benar. Doa yang saya panjatkan bukan demi Tuhan, tapi demi diri saya sendiri. Karena ketika saya berdoa biasanya niat saya hanya meminta, tidak dilengkapi dengan niat memberi.
Saya jadi ingat Opick, penyanyi spesialis lagu-lagu religius itu. Ia punya masa kecil yang mengasyikkan. Sejak kecil ia menjadikan Tuhan sebagai sahabat. Di rumahnya ia mempunyai bilik khusus tempat ia curhat kepada Tuhan. Dan karena menjadikan Tuhan sebagai sahabat, apa pun yang ia minta selalu dikabulkan oleh-Nya.
Jadi, saya menyimpulkan sendiri, agar doa terkabul, kita juga harus “memberi” kepada Tuhan. Tak perlu memberi-Nya kamar khusus seperti yang Opick lakukan, tapi cukup dengan kamar khusus di hati kita, di setiap aliran darah kita, di setiap denyut nadi kita, dan di setiap embusan napas kita. Saya baru ngeh kalau selama ini sudah mengacuhkannya. Saya lebih dekat dengan urusan bisnis, proyek, uang, dan tetek bengek duniawi lainnya. Saya sudah membiarkanNya jauh dari diri saya. Padahal, bukankah ketika kita dekat dengan seseorang, semakin mudah kita minta bantuannya?
Maka, saya sudah punya jawaban untuk pertanyaan istri: “Aku memohon Dia untuk tinggal di dalam hatiku agar aku bisa selalu memeluk-Nya.”
Alih-alih Tuhan, istri sayalah yang kemudian memeluk saya sambil tersenyum dan berbisik bahwa Tuhan pasti akan selalu bersama kami. Saat itu, hati saya merasa plong. Seolah tak ada lagi masalah yang membebani saya. Saya merasa seperti berada di titik nol, dan bersiap kembali memulai hidup baru.
Saya akhirnya memutuskan untuk membakar buku resolusi. Rasanya, saya terlalu sombong dengan menuliskan semua itu, memastikan semua target harus tercapai di tahun depan. Memangnya siapa saya bisa memastikan semua hal? Biarlah Tuhan yang merancangnya, saya mengikuti saja ke mana Tuhan menuntun saya. Dia sudah (saya sadari) ada ‘lebih dekat dari urat leher’ saya, jadi sudah tahu ke mana saya harus menuju.
Istri saya yang keheranan melihat tindakan saya tak bisa berbuat apa-apa. Sebelum dia bertanya, saya sudah menjawab dengan mengutip kalimat Robert de Niro dalam film Casino (1995): “There's three ways to do things, the right way, the wrong way, and the way that I do it.”
Resolusi saya adalah "tak perlu resolusi"!