Matahari sudah terbenam dan langit mulai gelap, sedangkan kami masih berada di tengah rawa dalam perjalanan asistensi paskah ke sebuah stasi di kampung bernama Selaou, Paroki St. Theresia Muting, Merauke.
“Mungkin kita akan bermalam di tengah rawa-rawa” ujar fr Julio, teman asistensiku sambil memperlihatkan wajah lesunya.
Rasa cemas pun menghampiri. Kami belum pernah sekalipun pergi ke sana, apalagi duduk terpanggang matahari di atas sebuah long boat yangseharian melaju kencang. Bersama kedua temanku, fr Julio dan fr Babo, kami sudah berangkat sejak pukul 05.00 bersama Anton, seorang driver perahuyang kami tumpangi. Kabut tebal diiringi angin dingin yang merongrong hingga ke tulang bukanlah sebuah penghalang yang berat.
“Sobat, ko tenang saja, tidur di mana saja pun jadi. Sebab anak manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala, hahaha”, kelakar fr Babo memecah kecemasan.
Anton yang sudah mengenal tempat tersebut tertawa kecil sambil menunjuk sebuah daratan yang masih beberapa mil lagi. Raut wajah fr Julio berubah. Ia tertawa bahagia dengan sedikit berteriak. Ya, di antara rawa-rawa yang gelap kami pun melihat cahaya. Di sanalah letak kampung tua itu. Sejak kampung ini dikenal, belum ada pastor yang pernah memimpin Ekaristi di sana.
“Jangankan pastor, frater pun belum pernah memimpin ibadat di sana” kata Anton mengindikasikan betapa kurangnya tenaga pastoral di pedalaman keuskupan Agung Merauke. Inilah motivasi kami untuk melihat dan merasakan langsung keadaan umat yang jauh dari pelayanan pastoral.
Segalanya terasa barudi kampung ini. Rumah-rumah tua, kelabu dan beratap daun serta jalanan yang selalu dipenuhi abu. Dua orang bapak setengah baya telah menunggu kami. Dengan kehangatan yang tak dibuat-buat, mereka menyambut kami seperti keluarga sendiri. Mereka membawa kami ke sebuah rumah kosong dekat gereja. Meski hanya beratap daun dan berlantai kayu, tempat ini sudah dipenuhi cinta dari orang-orang sederhana. Hari ini rabu dan besok kami merayakan Kamis Putih. Kami akan tinggal selama empat hari untuk merayakan paskah bersama umat di kampung ini.
***
Perayaan kamis putih penuh hikmat kami rayakan dengan sederhana. Ibadat malam ini dipimpin oleh fr Julio. AkudanfrBabomembantunyadengantugasmembasuh kaki duabelasrasul yang telahditentukanpak Lukas sebagaiketuadewan. Ada rasa haru yang mendalam ketika seorang bapak berumur 50an tahun menangis perlahan sewaktu aku membasuh kakinya. Ia berperan sebagai salah satu rasul yang dibasuh kakinya. Semua orang di dalam gereja melihatnya menangis. Setelah ibadat, pak Lukas menceritakan kepada kami sebab musabab beliau menangis.
“Ia adalah seorang bapak yang memiliki dua anak. Malam kamis putih adalah peringatan tersendiri baginya karena pada malam kamis putih lima tahun lalu istrinya hilang terbawa arus ketika mereka akan merayakan paskah di sini. Sejak saat itu ia selalu menangis ketika ibadat berlangsung”, cerita pak Lukas singkat.
Kami terhenyak. Tak ada komentar yang keluar. Hanya tarikan nafas panjang sambil saling bertatapan di antara kami seakan mengucap syukur kami tiba dengan selamat di kampung ini. Malam ini kami meluangkan waktu untuk berdoa selama satu jam sebelum akhirnya terlelap di malam gelap.
***
“Salibkan Dia! Dia itu penghujat Allah!”, teriakan bocah yang berperan sebagai orang Yahudi menggema di telinga kami. Drama kecil yang dipentaskan anak-anak beriringan dengan jalan salib pada pagi hari adalah sebuah kejutan bagi kami sekaligus menjadi kenangan yang tak terlupakan. Tak pernah kami menyangka bahwa anak-anak ini dapat menyajikan sebuah peristiwa iman yang memukau, padahal dari kacamata sejarah, kampung mereka jauh dari pelayanan pastoral. Penampilan mereka dengan pakaian adat mencerminkan bahwa Kekristenan tidak bertentangan dengan budayasebuahdaerah. Inilah sebuah kekayaan sejarahsekaliguskekayaanimanyang tak ternilai harganya dan perlu dipertahankan.
Suasana keemasan pada pagi hari kemudian kami bawa dalam ibadat pada pukul 15.00. Harus kami akui bahwa umat di stasi ini memiliki motivasi yang tinggi untuk beribadat. Antusias ini terlihat ketika mereka sudah berkumpul di gereja setengah jam sebelum ibadat dimulai. Keadaan ini bertolak belakang dengan beberapa tempat pelayanan yang sudah kami kunjungi. Kebanyakan di antaranya masih menunda-nunda waktu untuk beribadat. Di saat yang sama kami sangat berterima kasih kepada pak Lukas yang dengan caranya sendiri bisa mengkoordinir umat untuk dapathadir tepat waktu.
“Fr Babo, ko tempo sudah! Ko pikir jam karet io?” tegur fr Julio pada fr Babo yang masih sibuk menyisir rambutnya.
“Begini dulu baru ganteng”, ujar fr Babo memperlihatkan tatanan rambutnya.
Ibadat Jumat Agung yang dipimpin fr Babo membawa kami pada keheningan untuk merefleksikan diri. Perayaan paskah tanpa imam memang masih menjadi tantangan di pedalaman. Namun, hal itu tidak menyurutkan iman umat pedalaman untuk tetap merayakan paskah. Toh hati yang terbuka untuk bertobat adalah jalan menuju surga.
***
Malam yang menjadi sejarah penebusan umat manusia juga melingkupi umat di stasi Selaou. Tak ada lilin yang dipegang setiap umat. Gereja pun hanya diterangi oleh gugusan cahaya obor di setiap sudutnya.
“Cukupsatulilinpaskahsaja, itusudahcukupmenandaikebangkitanKristus”, ujarfr Julio sebelumibadatdimulai.
Lilinpaskahadalahsatu-satunyalilin yang bersinar di antaraterangobor.Warnacahayanyakuning keemasan.Namun, Roh keselamatan tercipta dari cahaya itu. Roh yang serupa manusia itu kemudian turun ke dunia, berdiam di tubuh manusia, yang semula hanyalah abu hingga manusia hidup dan bisa merasakan dunia.
Pengorbanan yang mendatangkan keselamatan berlaku bagi setiap manusia. Sejak saat itu manusia bukan lagi menjadi orang-orang yang selalu mengalah terhadap dosa, melainkan berkat penebusan, manusia pertama-tama diteguhkan untuk mampu membawa dirinya keluar dari kecendrungan dosa. Sebuahpesansingkatitumenandaiakhirrenungan yang kusampaikanpadamalampaskahitu.
Malam Paskah nan panjang itu kami lewati dalam kebersamaan. Kami sangat berterima kasih kepada semua umat yang sudah menerima kami di tempat mereka. Inilah malam terakhir kebersamaan kami bersama umat di stasi ini. Malam paskah yang penuh makna ini menjadi sebuah pelajaran tersendiri bagi kami bahwa keselamatan dimulai ketika kami merelakan diri untuk berbagi dalam kekurangan dan mencintai dalam kesederhanaan.
***
Pagi yang tenang mengantar kami untuk bersiap kembali ke pusat paroki. Anton telah mempersiapkan segala sesuatu untuk perjalanan kami selama sehari. Deretan rumput penghias jalan yang lengang sebelum tersiram cahaya matahari telah dipijaki telapak-telapak umat yang ingin mengucapkan salam perpisahan. Berbekal hasil panenan, mereka memberi kami buah tangan sebagai ucapan terima kasih.
“Terima kasih bapa dan mama atas oleh-olehnya. Tapi jangan terlalu banyak, nanti kami bisa tenggelam di rawa-rawa”, kata fr Babo yang mulai cemaskarena perahu sudahdipenuhi banyakbarang.
Kami pun meninggalkan kampung yang terletak di seberang rawa nan luas. Dari sana, terdapat berbagai cerita kehidupan di dalamnya yang akan kekal dalam ingatan. Semoga semua cerita itu menjadi jalan bagi kami memaknai paskah tahun ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H