Mohon tunggu...
Hyasint Asalang
Hyasint Asalang Mohon Tunggu... Human Resources - Pergo et Perago

Bisnis itu harus menyenangkan!!!!!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Melawan Realitas di Tengah Keterbatasan

7 Juli 2021   06:04 Diperbarui: 7 Juli 2021   07:00 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tagar “Surat Cinta dari Guru” yang dikumandangkan Kementerian Keuangan dalam Lomba Menulis Opini tahun 2020 memantik para guru Tanah Air untuk berani menceritakan suka duka, hambatan dan tantangan mereka dalam mendidik Anak Bangsa di masa pandemi Covid-19. Segala bentuk pengalaman para guru tertuang begitu gamblang mengingat efek dahsyat akibat pandemi ini mau tidak mau membuat para guru harus melek teknologi.

Para guru yang sebelumnya hanya bermodalkan RPP dan segenggam kreativitas ketika mentransfer ilmu, kini harus berpacu dengan teknologi demi melanjutkan proses pembelajaran yang terputus. Tak ayal guru-guru yang belum terbiasa dengan teknologi akan merasa kesulitan dan lebih kaku dalam menyampaikan materi. Tanpa adanya proses pengenalan yang digerakkan secara menyeluruh dari internal sekolah, maka mereka yang termasuk golongan ini seakan sudah menyerah sebelum bertanding.

Namun, persoalan ini kiranya hanya berlaku bagi daerah-daerah di Nusantara yang sudah memiliki akses internet yang lancar. Para guru dituntut untuk bisa menghadapi kelemahan mereka sendiri dan berani untuk keluar dari zona nyaman mereka selama ini. Tapi bagaimana dengan para guru yang tinggal di daerah tertinggal, yang masih bercokol dengan usaha mencari sinyal untuk menelpon bahkan untuk sekadar mengirim pesan teks? Tentunya realitas inilah yang sedang dilawan oleh para guru di pedalaman, salah satunya di kabupaten Boven Digoel, Papua.

Menelisik Pendidikan di Hutan Boven Digoel

Menurut data BPS tahun 2020, Boven Digoel merupakan kabupaten terluas keempat dengan luas daerah mencapai 23,621km2 dari total 28 kabupaten/kota di provinsi Papua. Meskipun demikian, kabupaten yang terbagi dalam 20 Distrik ini hanya memiliki kurang lebih 600 ribu penduduk. Sebagian besar penduduk tinggal di kota kabupaten dan di pusat-pusat distrik. Sedangkan beberapa kelompok atau suku-suku penduduk tertentu tinggal di daerah pedesaan atau pinggiran sungai Digoel. Jalur transportasi yang sering digunakan ialah transportasi darat dan air (rawa). Kondisi geografis ini menyiratkan bahwa sebagian besar wilayah kabupaten Boven Digoel adalah hutan dan rawa-rawa.

Kondisi geografis yang sulit ini juga berimbas pada kehadiran sekolah-sekolah. Tidak semua kampung-kampung memiliki sekolah bagi anak-anak mereka. Dari 20 distrik yang tercatat, semuanya memang memiliki minimal satu Sekolah Dasar saja yang berada di pusat distrik. Terdapat juga beberapa distrik yang memiliki tingkatan sekolah menengah pertama. Sedangkan untuk tingkatan lanjutan sekolah SMA atau SMK hanya terdapat di kota kabupaten Boven Digoel.

Secara keseluruhan terdapat terhitung dari tingkat Sekolah Dasar, kabupaten Boven Digoel memiliki SD sebanyak 102 sekolah dengan jumlah guru sebanyak 581 guru yang menangani  12,060 siswa SD. Untuk tingkat SMP terhitung di seluruh wilayah kabupaten Boven Digoel ada 16 Sekolah Menengah Pertama dengan total jumlah guru sebanyak 229 orang yang menangani 3384 siswa SMP. Sedangkan untuk tingkat SMA dan SMK hanya terhitung sebanyak sebanyak 8 sekolah dengan jumlah guru sebanyak 192 orang yang menangani 1913 jumlah siswa secara keseluruhan.

Dari perbedaan jumlah yang berbeda secara signifikan ini maka dapat diketahui bahwa banyak anak-anak yang putus sekolah sekolah ketika mereka menamatkan diri dari jenjang pendidikan dasar di kampung-kampung. Hal ini bukan karena dipengaruhi oleh keengganan mereka untuk melanjutkan sekolah melainkan karena jarak antara rumah dan sekolah yang terlampau jauh karena harus menempuh perjalanan melalui rawa yang notabene membutuhkan biaya yang lebih besar dalam sekali perjalanan dibandingkan dengan biaya tahunan sekolah yang ditetapkan.

Seringkali juga terlihat bahwa terdapat juga anak-anak yang tetap melanjutkan sekolah dengan tinggal dan menetap di keluarga mereka di perkotaan. Kondisi ini terlihat lebih menjanjikan, tetapi jumlahnya hanya segelintir anak-anak saja.  Sedangkan bagi anak-anak yang masih memiliki keinginan kuat untuk terus melanjutkan sekolah tetapi tidak memiliki keluarga untuk ditinggali di pusat kabupaten, maka mereka bersepakat untuk mendirikan befak atau pondok untuk sekadar tinggal dan menetap bersama selama masa sekolah dan berusaha menafkahi diri sendiri dengan bekerja di berbagai tempat. Miris memang, tapi hal itu bukanlah menjadi rintangan yang merusak dahaga mereka akan pendidikan tetapi selalu dijadikan motivasi untuk tetap melanjutkan pendidikan, apapun caranya.

Gelombang Baru Pendidikan Bermutu

Gambaran umum pendidikan yang terjadi di kabupaten Boven Digoel kini diperparah dengan kondisi pandemi Covid-19 yang merasuk cara hidup dan berperilaku masyarakat Boven Digoel hingga ke daerah-daerah pedalaman. Situasi ini akan sulit dikontrol mengingat sejak diterapkannya kebijakan New Normal, rutinitas harian seakan mengindikasikan bahwa pandemi ini telah berakhir. Banyak masyarakat yang terlihat mengabaikan protokol kesehatan di tempat-tempat umum. Tidak jarang pemerintah daerah menyuarakan secara terus-menerus untuk hidup sesuai dengan protocol kesehatan. Tapi sayang, himbauan itu masuk di telinga kanan dan keluar di telinga kiri.

Meskipun demikian, banyak sekolah terlihat belum berani membuka kegiatan sekolah regular. Tentunya keberpihakan pada hak hidup dalam bidang kesehatan menjadi prioritas utama belum dibukanya sekolah-sekolah di wilayah kabupaten Boven Digoel.

Hal ini pun yang menjadi pertimbangan hampir di seluruh wilayah Nusantara. Maka kebijakan umum yang diambil dalam proses pembelajaran ialah melalui pembelajaran jarak jauh. Sistem pembelajaran ini tentunya membutuhkan akses internet yang memadai dengan diikuti beberapa pertimbangan lain seperti kepemilikan alat-alat teknologi yang mendukung proses pembelajaran, pengetahuan akan penggunaan teknologi yang bersangkutan dan modal yang dikeluarkan untuk mengakses internet. Semakin baik dan tersedianya semua pertimbangan itu maka semakin baik pula proses pembelajaran yang diharapkan dari guru dan peserta didik.

Sayangnya, proses pembelajaran seperti itu belum dapat diaktualisasikan di wilayah kabupaten Boven Digoel. Hal ini bukan hanya terjadi di kampung-kampung atau di pusat distrik, melainkan juga kenyataan miris ini terjadi di wilayah Tanah Merah, kota kabupaten Boven Digoel.

Ketika para guru di berbagai daerah Nusantara sudah menyadari bahwa diskusi-diskusi tentang segala sesuatu – baik mengenai pertemuan-pertemuan maupun pembelajaran online – selalu dibangun di ruang-ruang yang secara fisik tergolong sempit namun luas dalam tataran online, maka guru-guru di wilayah kabupaten Boven Digoel masih berusaha untuk menunggu selama kurang lebih sepuluh menit hanya untuk sekadar login ke akun email dan facebook. Mereka bahkan perlu waktu yang lebih lama lagi ketika harus mengupload foto-foto kebersamaan baik bersama dengan rekan guru maupun bersama peserta didik.

Sebagai contoh dalam pengalaman selama menjadi guru di SMP Negeri 1 Tanah Merah, yang berada di pusat kota kabupaten Boven Digoel, disadari bahwa akses internet satu-satunya yang dapat diandalkan ialah internet sekolah (wifi) dengan kecepatan koneksi jaringan 0,001 kb per second pada waktu siang dan 0,05 kb per second pada waktu tengah malam. Akses jaringan telkomsel yang masih berlaku sampai sekarang ini hanyalah sebatas 2G. Hal ini pun belum terhitung dengan kondisi para siswa yang tidak semuanya memiliki telepon pintar. Maka seringkali, telepon pintar yang digunakan para guru dan murid hanyalah sebatas untuk mengambil sekadar mengambil foto. Kondisi ini menyebabkan pembelajaran system online tidak dapat diterapkan di masa pandemic seperti ini.  

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa di wilayah kabupaten Boven Digoel, peralatan teknologi khususnya akses internet adalah masalah yang setiap tahun digaungkan, namun minim pengimplementasiannya. Maka di saat daerah lain sudah mengejar pertemuan menggunakan aplikasi meeting, saling terhubung dengan puluhan anggota yang tersebar di kamar pribadi, ruangan kantor, bahkan di dalam kamar mandi, kami masih sibuk mencari sinyal untuk menelpon atau sekadar bertukar kabar melalui pesan teks.

 

Melawan Realitas dengan Berani

Seorang guru harus berperang menghadapi realitas pandemi Covid-19 ini dengan berani. Ada kewajiban moral bagi para guru yang memiliki semangat tinggi untuk menemukan nilai-nilai yang selama ini hilang dari proses pendidikan yang bermutu. Menariknya bahwa di tengah situasi ini, ada upaya-upaya mempersatukan para murid bukan hanya dalam tataran proses pembelajaran yang resmi melainkan dalam situasi riil kehidupan para siswa.

Jika anak-anak atau para peserta didik berani untuk mengembalikan hak-hak mereka dengan menetap di befak-befak demi melanjutkan pendidikan, maka para guru juga harus berani untuk menemukan identitas diri mereka yang selama beberapa bulan terakhir terjebak dalam jurang yang menganga. Maka beberapa di antara para guru mulai membangun komunikasi dengan secara rutin mengajar para peserta didik di titik-titik pertemuan yang disepakati bersama. Semuanya ini dibangun demi adanya keterikatan secara mental antara guru dan murid.

Memang tidak dapat dipungkiri juga bahwa keadaan ekonomi para guru yang masih tergolong rendah karena status mereka sebagai honor kabupaten sedikit memengaruhi semangat mereka. Namun, dengan adanya bantuan yang dikucurkan pemerintah daerah dalam kebijakan Uang Lauk Pauk (ULP) bagi para guru honorer sedikit membantu para guru untuk tetap berani menghadapi masa krisis ini dengan tetap berpegang pada cita-cita anak bangsa.

Peperangan para guru-guru di kabupaten Boven Digoel sudah dimulai dan kiranya hal itu dapat memantik adanya pertumbuhan pendidikan yang lebih baik di kemudian hari. Meskipun cara yang dipakai para guru honorer ini hanyalah sebagai taktik bertahan, toh hal itu tetap menjaga cita-cita peserta didik tetap bergelora.

Akhirnya pendidikan bukan hanya diterima sebagai hak melainkan juga dilakukan sebagai kewajiban. Pesan ini mungkin diberikan dari para guru di kabupaten Boven Digoel dan anak-anak pedalaman yang masih berjuang demi cita-cita dalam realitas saat ini. Mereka senantiasa berupaya keras bahwa perjuangan pendidikan dicapai dengan cara yang tidak mudah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun