Prolog
Kebijakan otonomi merupakan instrumen reformasi administrasi pemerintahan agar mampu mewujudkan platformnya dengan baik. Otonomi daerah dalam sebuah negara dapat digunakan sebagai salah satu strategi reformasi bangsa tersebut (Hoessein: 2008).
Papua menjadi salah satu provinsi yang mendapatkan kebijakan otonomi daerah. Pada dasarnya Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.Â
Pemberian kewenangan tersebut dilakukan agar penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua dapat memenuhi rasa keadilan, mempercepat tercapainya kesejahteraan rakyat, mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Asli Papua.Â
Semua hal ini sebetulnya sangat bergantung pada visi-misi kepemimpinan daerah terhadap penerapan otonomi daerah itu sendiri dan pelaksanaan kebijakan tersebut. Kebijakan di tingkat daerah diberi penamaan yang berbeda. Perdasus (Peraturan Daerah Khusus) adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam Undang-undang. Pembagian Dana Otsus masuk dalam kerangka Perdasus di samping usaha-usaha perekonomian lainnya.
Namun, berkaca pada kenyataannya, proses politik yang diharapkan itu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Perdasus sebagai elemen penting implementasi Otsus tidak maksimal dalam penyusunan dan pelaksanaan, rencana strategis provinsi tidak terkomunikasikan dengan baik dan transparan pada seluruh masyarakat. Karenanya, Otsus dilihat tidak banyak membawa perubahan derajat kehidupan untuk masyarakat Papua.
Kebijakan OTSUS di Papua kini memasuki babak baru yang disusun dalam Perdasus Nomor 25 Tahun 2013 tentang pembagian penerimaan dan pengelolaan keuangan dana Otsus. Di dalamnya terdapat empat bidang prioritas seperti yang diamanatkan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Bagi provinsi Papua, yakni pendidikan, kesehatan, perekonomian, percepatan infrastruktur dan sarana prasarana.
Permasalahan yang terjadi di sini ialah poin-poin penting dalam UU Otsus seperti pemenuhan hak-hak mendasar orang Papua tidak dibarengi dengan penafsiran yang jelas dan detail sehingga mandeg dalam impelementasi. Memang, terdapat pembangunan di Papua. Tetapi proyek-proyek pembangunan tersebut hanya memperbesar cash outflow bukan  cash inflow.Â
Hal ini disebabkan oleh miskinnya output yang benar-benar berasal dari Papua. Inefesiensi itu tidak terlihat karena lagi-lagi bisa tertutup dengan dana Otsus yang besar. Dalam implementasinya, dana Otsus yang disediakan Pemerintah Daerah untuk dikelola oleh Dinas terkait, tidak sesuai kebutuhan dan masih kurang transparan terhadap besaran alokasi dana.
Tujuan yang ingin disampaikan dalam artikel ini ialah ingin melihat sejauh mana pemerintahan sekarang menjalankan roda pemerintahan berdasarkan pada pemenuhan hak-hak orang Papua dalam pembagian dan pengelolaan dana OTSUS. Pengelolaan dan pembagiaan dana OTSUS bertujuan untuk meningkatkan sumber daya manusia yang inovatif dan kreatif, bukan hanya sekadar bagi-bagi uang yang memanjakan masyarakat sendiri.
Rekonsiliasi Sebagai Jalan PembukaÂ
Tak dapat dipungkiri bahwa kehadiran OTSUS membawa dampak yang berbeda bila ditinjau dari sisi kepentingannya. OTSUS dinilai bermanfaat bagi pihak yang menguntungkan dan menjadi bencana bagi masyarakat sebagai penonton pasif keberlangsungan kebijakan tersebut.
Harus diakui bahwa keberadaan OTSUS merupakan produk dari momen transisi demokrasi ketika pemerintah mengalami krisis dan otoritasnya mencapai titik yang paling lemah. Sehingga jalan yang diberikan ialah kebijakan tanpa pertimbangan. Inkonsistensi yang terlihat ialah tidak adanya pendampingan terhadap DPRD dan Pemerintah Provinsi Papua dalam membuat Perdasus.
Jika ditelusuri, sebenarnya yang perlu diperhatikan dalam lingkungan kemasyarakatan adalah bagaimana pemerintah dapat mengatasi sistem birokrasi yang saling bertentangan atau berlawanan yang muncul karena pergantian sistem birokrasi dari berbagai rezim. Peninggalan antara berbagai rezim ini menyebabkan ketidakseimbangan di dalam pemerintahan. Dalam konteks ini birokrasi memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan pemerintahan dalam menjalankan program dan kebijakannya untuk dirasakan publik. Birokrasi harus ditopang oleh paradigma ideal yang harus ada.
Lantas, apa yang harus diupayakan? Upaya pertama dan mendasar untuk mengatasi hal ini ialah dengan mangadakan rekonsiliasi antara pemerintahan dengan masyarakat. Sudah bukan rahasia lagi bahwa terdapat jurang yang dalam antara masyarakat dan pemerintahan. Berbagai aksi protes pun melayang di berbagai tempat. Tak pelak, situasi negatif sering terjadi sebagai akibat dari rantai belenggu yang dinamakan OTSUS.
Adanya rekonsiliasi mengindikasikan masyarakat dan pemerintahan untuk berdamai dengan hidup yang kini dijalani sebagai satu kesatuan sebagai warga Papua. Kepandaian seorang manusia untuk berbeda, harus disertai juga kepandaian untuk bersatu. Pusat perhatiaan yang hendak dituju bukanlah pada materialisme semata, justru sebaliknya dasar seorang manusia adalah penerimaan akan kebersamaan yang mampu mengatasi individualisme dan bersatu dalam paradigma kesejahteraan. Konsepsi kultur pun perlu diperjelas dan dipertegas. Rekonsiliasi ini dapat diwujudkan dengan membuka akses dialog yang sebesar-besarnya antara pemerintah dan masyarakat dalam menyikapi kebutuhan masyarakat.
Program Pemberdayaan Masyarakat Papua: Perluasan Terhadap Akses Modal
Berbicara mengenai Perdasus Nomor 25 Tahun 2013 tentang pembagian penerimaan dan pengelolaan keuangan dana Otsus, ada empat alokasi anggaran yang sudah diperhitungkan dalam UU Nomor 21 Tahun 2001. Adapun alokasi keempat anggaran tersebut antara lain: Alokasi anggaran bidang pendidikan sebesar Rp 95,75 miliar, anggaran untuk bidang kesehatan 761,65 miliar, anggaran bidang perekonomian sebesar Rp 978,53 miliar dan alokasi anggaran percepatan infrastruktur dan sarana prasarana dasar sebesar Rp 2 triliun. Menilik alokasi anggaran Otsus yang begitu besar, maka sebuah pertanyaan yang patut dilayangkan ialah: Mengapa sumber daya manusia sejak tiga belas tahun terakhir ini masih berada jauh dari harapan?
Jika ditelusuri lebih dalam, paradigma pembangunan ekonomi Papua, khususnya yang berkembang saat ini selalu mengacu pada pertumbuhan ekonomi, sehingga fokus pembangunan pun mengacu pada usaha mencapai pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya. Walaupun dampak dari pertumbuhan ekonomi ini secara teori mampu mengurangi angka kemiskian, akan tetapi pertumbuhan bukanlah jaminan penuntasan masalah kemiskinan. Dalam pembangunan ekonomi, pertumbuhan (growth) merupakan necessary condition tetapi bukanlah sufficient condition. Pertumbuhan yang tinggi belum menjamin tingkat kemiskinan akan menurun. Bahkan, pertumbuhan bisa jadi tidak ada kaitannnya dengan penurunan angka kemiskinan. Fakta empirisnya adalah ketika trend pertumbuhan ekonomi selalu naik paska krisis ekonomi, trend angka kemiskinan malah fluktuatif.
Secara faktual program pengentasan kemiskinan yang dijalankan selama ini selalu terkooptasi oleh sistem yang terlalu pro pada pertumbuhan. Sebagai contoh, ketika pemerintah ingin mengurangi kemiskinan masyarakat kampung dengan memberi subsidi di sektor pertanian seperti kredit bersubsidi, pupuk bersubsidi dan sebagainya semua ini terbentur oleh regulasi dan kebijakan lain yang menuntut pengurangan subsidi atau terbentur oleh sistem ekonomi yang anti subsidi.
Dampak yang terjadi adalah program-program penanggulangan kemiskinan cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang Papua sebagai program kompensasi atas pencabutan subsidi, misalnya program penyaluran beras untuk rakyat miskin, bantuan tunai dan lain sebagainya. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan. Program pembangunan untuk orang Papua seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya.
Jadi, program pembangunan (berbasis pertumbuhan) yang dijalankan pemerintah akhir-akhir ini mengalami banyak kelemahan yang fundamental dalam mengentaskan kemiskinan. Untuk mengubah paradigma pembangunan ini tidaklah mudah karena membutuhkan upaya jangka panjang yang melibatkan seluruh unsur masyarakat.
Program pemberdayaan masyarakat Papua harus dirancang berdasarkan analisa yang mendalam tentang intregritas budaya dan faktor sosial lainnya. Dalam konteks Papua, masyarakat menjadi terbelakang bukan karena malas, melainkan karena produktifitasnya rendah. Produktivitas yang rendah itu diakibatkan oleh kurangnya akses dalam bidang ekonomi (modal), kesehatan dan pendidikan.
Salah satu jalan memutus mata rantai kemiskinan tersebut adalah dengan membuka akses modal kepada masyarakat Papua sehingga mereka dapat meningkatkan pendapatan sekaligus mengakumulasi modalnya hingga semakin meningkat secara gradual. Kebijakan pemerintah terutama dalam memberikan kredit juga kurang memperhatikan aspek sosiokultural, sehingga kebijakan ini justru berperan dalam membentuk stigma dan bahkan budaya malas dan korup pada masyarakat Papua. Atas dasar itu, skema atau sistem keuangan yang dibangun dalam rangka memperluas akses modal harus berbasis pemberdayaan yang mempertimbangkan aspek sosiokultural masyarakat.
Skema perluasan akses modal masyarakat Papua dimulai dari pemberi modal (kreditor). Ketiadaan kreditor inilah yang menyebabkan masyarakat Papua sampai saat ini tidak tersentuh sama sekali oleh lembaga keuangan yang ada. Hal ini karena lembangan keuangan hanya akan memberikan kredit kepada pihak-pihak yang mampu memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh bank (bankable).Â
Jadi, skema kredit berbasis pemberdayaan yang tepat bagi masyarakat Papua adalah yang meniadakan jaminan berupa materi dan menggantinya dengan jaminan yang bersifat im-materi. Jaminan itu tak lain adalah berupa modal sosial (social capital) yang terbentuk dalam masyarakat Papua terutama masyarakat kampung sehingga skema penyaluran modal selain mempertimbangan aspek pemberdayaan juga dirancang dengan mengekplorasi kekuatan modal sosial yang ada.
Epilog
Berbicara mengenai Papua tidak terlepas dari kebijakan Otsus dan pengejawantahannya dalam kehidupan masyarakat Papua. Namun, berkaca dari pengalaman selama belasan tahun, kebijakan Otsus kurang mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat Papua. Berbagai ketimpangan pun terjadi. Aksi protes di berbgai tempat terlihat merisaukan. Ekonomi tidak berjalan sesuai harapan. Rakyat yang miskin dan kurang sehat sebagai implikasi dan indikasi kurangnya pendidikan yang memadai.
Kebijakan Otsus yang kini memasuki era baru hendaknya dilihat dan berpatokan pada semua gejala tersebut. Sudah saatnya Papua merealisasikan sumber daya manusianya di atas segala-galanya, dan bukan hanya terpaku pada gemerlapnya sumber daya alam yang membutakan masa depan karena ditopang oleh ketergantungan.Â
Rekonsiliasi sebagai jalan pembuka dan perluasan akses modal menjadi salah satu jalan untuk mendampingi masyarakat hidup mandiri dan sejahtera. Berbagai slogan yang muncul dari kalimat undang-undang Otsus yang mati hendaknya dihidupkan dalam kenyataan hidup masyarakat Papua demi pengembangan kesejahteraan dan tercapainya sumber daya manusia yang berdaya saing.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H