Prolog
Momen pertengahan Oktober 2016 lalu menyadarkan saya bahwa pendidikan kita bergerak sangat cepat di perkotaan namun lumpuh ketika merambah kampung-kampung. Sebagai mahasiswa jurusan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Cenderawasih, atau sebagai calon guru, saya dilatih untuk menjadi seorang guru yang profesional. Salah satu caranya ialah dengan turun langsung untuk melihat kenyataan situasi pendidikan yang ada di pedalaman. Kegiatan ini bukan hanya merupakan salah satu syarat sebelum melaksanakan praktek mengajar pada semester mendatang, melainkan juga kesempatan bagi saya untuk melihat secara lebih nyata antara teori yang saya terima di kampus dan kenyataan yang ada di lapangan.
Saat itu saya berkesempatan berkunjung ke kampung Wibong Distrik Depapre Kabupaten Jayapura. Letak kampung ini berada kurang lebih 50 km dari kota Jayapura. Selama seminggu saya mengajar anak-anak di sekolah dasar YPK Wibong Tablasupa. Situasi pendidikan di sekolah ini masih jauh dari tuntutan kurikulum, jauh dari harapan. Bukan hanya fasilitas dan tenaga guru yang masih sangat kurang, melainkan juga kemampuan siswa yang kesulitan ketika mempelajari banyak mata pelajaran. Banyak di antara mereka yang senang ketika mengikuti mata pelajaran tertentu, tetapi cenderung merasa bosan ketika ada pelajaran-pelajaran lain yang tidak sesuai dengan minat mereka.
Saya pun membenarkan persepsi awal saya bahwa setiap siswa perlu mempelajari banyak mata pelajaran agar ketika ia sudah mampu mengolah pemikirannya dengan baik, ia akan memilih ke mana arah pendidikannya. Tetapi itulah kekeliruan pemikiran! Itu terlambat! Yang kita lakukan ialah memaksa mereka mempelajari pelajaran yang tidak mereka sukai. Bukankah sejak kecil kita sudah mempunyai cita-cita yang meskipun masih bersifat abstrak tetapi memiliki arah yang jelas? Alasan kita terlambat dari negara-negara lain bukan karena kemampuan kita yang kurang, tetapi sistem pendidikan kita yang terbelit-belit, yang menyebabkan kita bingung menemukan jalan keluar dari labirin sistem pendidikan kita sendiri.
Berangkat dari realitas tersebut, maka tugas generasi muda adalah memberi  pemahaman baru tentang keberlangsungan dan terciptanya sebuah pendidikan yang berkarakter, dinamis dan terfokus. Semuanya dapat ditemukan dalam pendidikan bersistem focus on subject. Lantas bagaimanakah peran generasi muda sehubungan dengan memanfaatkan teknologi informasi agar pendidikan bersistem focus on subject dapat diterapkan ke seluruh pelosok negeri?
Realitas Tak terbantahkan
Realitas yang saya temukan di SD Wibong menunjukkan bahwa dunia pendidikan Papua sangat bertolak belakang dengan giuran sumber daya alamnya. Di tengah kekayaan alam Papua yang menakjubkan -- yang membuat puluhan negara saling beradu mengambil keuntungan -- anak-anak masih menjadi penonton bisu tanpa tahu harus berbuat apa. Pendidikan yang layak masih terselubung dalam angan-angan. Lagu lama pendidikan yang runyam selalu berputar pada proses belajar mengajar yang tidak efesien, dan sarana prasarana yang kurang mendukung.
Guru menjadi satu-satunya tumpuan belajar siswa. Tak heran jika guru tidak masuk kelas, siswanya sudah masuk hutan. Di SD Wibong misalnya, dari belasan guru yang namanya terdaftar, hanya ada empat guru yang aktif mengajar untuk enam rombongan belajar. Â Mereka terdiri dari tiga orang guru tetap dan seorang guru honor. Ada juga seorang karyawan bukan guru yang bertugas mengurus administrasi sekolah, sedangkan kepala sekolah sudah dua bulan tidak berada di tempat. Maka, kegiatan belajar mengajar disesuaikan dengan keadaan guru yang ada. Akibatnya, banyak siswa yang ditelantarkan. Anak-anak lebih banyak menghabiskan waktunya dengan bermain atau diajak orang tuanya berburu di hutan. Banyak siswa yang belum bisa membaca dengan baik. Menghitung dan pelajaran hafalan lain pun tidak mereka pahami. Syukur-syukur apabila ada siswa yang lancar membaca dan menghitung.
Banyak guru yang tidak berada di tempat mengajar, dan berkeliaran di daerah perkotaan. Sedangkan guru yang ada harus merangkap dua sampai tiga kelas sehari. Di satu sisi banyak guru saat ini lebih senang bertugas di daerah-daerah yang terjangkau signal. Sebelum diangkat menjadi pegawai, mereka menunjukkan kredibilitasnya untuk mengajar di kampung, tetapi setelah mereka telah diangkat, mereka akan memilih tempat yang dekat dengan keramaian kota, tanpa mempertimbangkan tugas pokok untuk mengajar di kampung. Toh, bagi mereka mengajar atau tidak, tunjangan dan gaji tetap masuk kantong pribadi. Namun di sisi lain nasib guru juga tidak diperhatikan. Mereka tidak mempunyai tempat tinggal, ketidakpastian tempat tugas dan gaji yang tidak sesuai kebutuhan menjadi permasalahan yang membuat sebagian guru kembali ke kota meminta kejelasan nasib mereka. Tentu saja mereka tidak akan mau kembali tanpa kepastian tunjangan yang memadai.
Hemat saya, dunia pendidikan kita sedang dipolitisir. Kepedulian pemerintah terhadap pendidikan tidak dibarengi dengan program-program yang kurang tepat sasar misalnya dengan adanya sertifikasi guru yang sampai dengan hari ini tak juga memperlihatkan dampak positif dan hanya menjadi beban terutama bagi guru tua yang "bukan" jamannya lagi berkecimpung dalam membuat PTK agar golongannya dinaikan. Ada juga pelatihan-pelatihan jangka pendek yang menghabiskan banyak biaya. Sedangkan posisi-posisi jabatan yang diberikan misalnya kepada kepala sekolah hanyalah kepada orang-orang yang punya kerabat dengan pejabat tertentu. Setelah ditetapkan menjadi kepala sekolah, mereka hilang tak tahu arah, dana BOS yang digulirkan pun melayang.