Mohon tunggu...
Hutri Cika Berutu
Hutri Cika Berutu Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada 2015

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Istana Maimun, Istana Tua di Abad 21

23 Oktober 2015   23:40 Diperbarui: 23 Oktober 2015   23:58 1316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Siapa yang tidak kenal dengan Istana Maimun? Akan terdengar lucu jika orang Indonesia tidak mengenal Istana yang menjadi ikon Kota Medan ini. Kebesaran nama Istana Maimun atau yang juga sering dikenal dengan istana Putri Hijau, memang sudah tidak asing lagi di telinga. Istana ini merupakan induk dari bangunan Taman Sri Deli dan Masjid Raya Al Mashun yang juga dikenal sebagai peninggalan kerajaan Deli yang sudah berusia ratusan tahun. Kedua bangunan tersebut adalah bangunan pelengkap yang dahulu dikenal sebagai bangunan pribadi yang dibangun oleh Sultan Deli. Bisa kita bayangkan betapa kaya Sultan Deli saat itu, dapat membangun istana yang megah disertai dua bangunan pelengkap istana.

Keberadaan Istana Maimun diawali dengan sejarah Kesultanan besar di Deli. Kesultanan Deli merupakan sebuah kesultanan yang didirikan oleh Tuanku Panglima Gocah Pahlawan di sebuah wilayah yang dikenal dengan sebutan “Tanah Deli” (Kini wilayah tersebut diberi nama Medan dan Kabupaten Deli Serdang) pada tahun 1632.

Kesultanan Deli masih tetap ada hingga saat ini, walaupun tidak lagi mempunyai kekuatan politik setelah berakhirnya Perang Dunia II dan setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.

Berdasarkan sumber sejarah, seorang Laksamana dari Kerajaan Aceh bernama Sri Paduka Gocah Pahlawan, bergelar Laksamana Khoja Bintan, pergi dan memerangi Kerajaan Haru (Aru) di Sumatera Timur bersama pasukannya pada tahun 1612 M. Baik sumber yang ditulis oleh Portugis yang datang ke Indonesia saat itu maupun sumber yang berasal dari Kerajaan Aceh sendiri, dikatakan bahwa Kerajaan Aceh merupakan kerajaan yang sangat besar dan memiliki pertahanan tentara yang sangat kuat saat itu. mereka mengepung Kerajaan Aru selama berbulan-bulan dan bertempur secara dahsyat dan mati-matian selama enam minggu. Ternyata, usaha tersebut tidak sia-sia. Sri Paduka Gocah Pahlawan berhasil menaklukkan Kerajaan Aru.

Namun, peperangan tidak hanya sampai di situ. Pada tahun 1619, Kerajaan Aceh kembali mengirim tentaranya untuk menghancurkan semua yang masih tersisa di Kerajaan Aru yang saat itu menerima bantuan dari Portugis. Akhirnya, Kerajaan Aceh pun berhasil ‘menghabiskan’ semua sisa-sisa Kerajaan Aru, dan Sri Paduka Gocah Pahlawan pun mulai berkuasa di sana. Nama Kerajaan Aru kemudian diganti menjadi Kesultanan Deli.

Ada cerita di masyarakat yang mengatakan bahwa nama ‘Deli’ diambil dari nama tempat bernama Deli Tua, yang dulunya merupakan pusat Kerajaan Aru . Namun, berdasarkan terombo Kesultanan Deli, kesultanan tersebut diberi nama demikian karena Sri Paduka Gocah Pahlawan memang berasal dari sebuah daerah bernama Delhi di India. Memang cerita tentang tokoh Sri Paduka Gocah Pahlawan ini banyak tersebar di masyarakat dan diceritakan secara turun-temurun dari mulut ke mulut, tentu saja cara ini akan menimbulkan banyak versi yang berbeda. Tetapi kebanyakan masyarakat memang lebih banyak sependapat bahwa Sri Paduka Gocah Pahlawan adalah seorang yang beragama Islam dan terdampar di pantai Aceh, yang kemudian diangkat menjadi panglima perang di kerajaan tersebut. Ini membuktikan kebenaran terombo kesultanan Deli yang mengatakan bahwa nama Deli berasal dari nama tempat asal Sri Paduka Gocah Pahlawan.

Pada tanggal 26 Agustus 1888, kesultanan Deli dipindahkan ke ibu kota Provinsi Sumatera Utara, yaitu kota Medan. Setelah dipindahkan, di kota itulah kemudian Istana Maimun mulai dibangun pada saat pemerintahan ada di bawah kekuasaan Sultan Deli yang ke-8, yaitu Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alamsyah, putra sulung Sultan Mahmud Perkasa Alam, pendiri kota Medan. Alasan pemindahan tersebut karena daerah Kesultanan Deli sebelumnya berada di dataran rendah sehingga sering terjadi banjir akibat air pasang.

Kini, Istana Maimun dijadikan sebagai objek wisata di daerah Provinsi Sumatera Utara. Istana ini menjadi tujuan wisata bukan hanya karena usianya yang tua, namun juga karena desain interiornya yang unik, memadukan berbagai unsur kebudayaan dunia.

Bangunan dengan luas 2772 m2 dan halaman sekitar 4,5 hektar ini terletak di Jalan Brigadir Jenderal Katamso, Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Medan Maimun. Bangunan ini mulai dikerjakan pada 26 Agustus 1888 dan diselesaikan pada 18 Mei 1891. Perpaduan budaya Timur dan Eropa menandakan bahwa Istana Maimun tidak sepenuhnya dibangun oleh Indonesia saja.

Ada dua versi berbeda yang menjelaskan tentang arsitek yang membuat bangunan ini. Versi pertama mengatakan bahwa perancang desain Istana Maimun adalah seorang arsitektur dari Italia bernama Ferrari. Namun, versi kedua mengatakan bahwa perancang bangunan ini adalah seorang Kapiten Belanda bernama T. H. Van Erp.

Selain unsur kebudayaan Melayu yaitu dengan gaya Islam, terdapat juga perpaduan unsur-unsur negara lain seperti Spanyol, India, Belanda, Italia, dan Timur Tengah, sehingga Istana ini menjadi sebuah bangunan yang sangat unik. Istana Maimun terdiri dari dua lantai dan 3 bagian, yaitu bangunan induk, bangunan sayap kiri, dan bangunan sayap kanan, serta memiliki sekitar 30 ruangan.

Sejak tahun 1946 sampai sekarang, Istana Maimun masih dihuni oleh para ahli waris Kesultanan Deli. Pada waktu-waktu tertentu, keluarga Kesultanan sering mengadakan pertunjukan musik tradisional Melayu. Pertunjukan tersebut sudah menjadi tradisi bagi keluarga Kesultanan Deli yang menjunjung tinggi kebudayaan Melayu. Mereka mengadakan pertunjukan musik tradisional tersebut ketika ada anggota kesultanan yang menikah atau ketika ada acara sukacita lainnya, tak jarang masyarakat ikut diundang. Masyarakat juga mengatakan bahwa sampai saat ini, tradisi Sultan Deli yang mengadakan silaturahmi dengan sesama keluarganya masih berjalan sampai saat ini. Biasanya acara tersebut dilakukan dua kali setahun untuk menjaga keharmonisan keluarga.

Jika tadi dikatakan ada beberapa sumber memiliki pendapat yang berbeda tentang Istana Maimun, kali ini saya akan membahas dengan versi yang berbeda dari kedua versi sebelumnya.

Dalam hati kita mungkin bertanya, mengapa Belanda mau mendirikan istana yang sedemikian megah di Indonesia?

Perkembangan perkebunanan terutama perkebunan tembakau di Deli sangat pesat saat itu dan banyak investor asing yang berniat membuka lahan perkebunan di sana. Selain itu, banyak pula penduduk yang berdatangan dari daerah lain untuk mencari hidup yang lebih makmur, di antaranya adalah orang Cina dan Tamil. Karena banyak investor yang berminat, pemerintah Belanda mencoba menawarkan investasi yang terbaik untuk Kesultanan Deli.

Pemerinta Belanda kemudian membuat perjanjian pada tanggal 14 November 1875 agar Belanda dapat mengambil alih ‘pekerjaan’ di Kesultanan Deli untuk mengutip pajak dan bea cukai dari kerajaan Deli, dan Belanda akan memberi ganti rugi setiap tahunnya. Perjanjian yang terjalin antara pemerintahan Belanda dengan Kesultanan Deli tersebut resmi disetujui oleh pihak Sultan pada tanggal 14 November 1875 yang ditanda-tangani oleh Sultan Ma’mun Al Rasyid (sultan Deli ke IX), Tengku Sulaiman (Raja Muda), Datuq Setia Raja (Hamparan Perak), Datuq Abdul Rahman Sri Diraja (Sunggal), Datuq Ranta dan Datuq Rustam (Pejabat Suka Piring), dan kejuruan Muda dari Percut.

Sumber mengatakan bahwa Belanda mendirikan istana ini sebagai hadiah, karena Belanda merasa sangat berterima-kasih kepada Sultan Mahmud Al Rasyid atas ijin yang diberikan kepada Belanda untuk membuka lahan dan membuat perkebunan di wilayah Kerajaan Deli tersebut. Ketika Belanda menguasai Sumatera Timur, perkebunan tembakau dibuka secara luas. Tak ada yang menduga bahwa, dalam perkembangannya di kemudian hari, ternyata tembakau Deli ini sangat disukai di negeri yang menjadi jantung kolonialisme dunia, yaitu Eropa. Berkat perkebunan tembakau tersebut, sultan Deli yang berkongsi dengan Belanda dalam membuka dan mengelola lahan perkebunan kemudian menjadi kaya raya. Itulah sebabnya Belanda memberi hadiah kepada Kesultanan Deli.

Berdasarkan sumber yang diperoleh dari pemandu wisata yang bekerja di sana, dikatakan bahwa Istana Maimun sebenarnya dibangun oleh Belanda dengan membayar seorang arsitek dari Italia bernama T. H. Van Erp, bukan Ferrari. Jadi jelas bahwa T. H Van Erp ini bukanlah seseorang yang berkebangsaan Belanda, tetapi orang yang berkebangsaan Italia dan bekerja sebagai Konijnlijk Nederlands-Indische Leger (KNIL), atau tentara Kerajaan Hindia-Belanda. Setelah Istana Maimun diresmikan, lalu seorang berkebangsaan Italia lain bernama Ferrari mendesainnya lagi agar bangunan ini menjadi lebih megah. Jadi, yang mendirikan Istana Maimun bukanlah Italia, tetapi Belanda dengan meminta bantuan arsitek asal Italia.

Jika kita masuk ke dalam istana, kita akan merasakan bahwa istana bernuansa Melayu tersebut memang kuat dengan pengaruh Islam. Ini terlihat di di beberapa bagian atap istana yang melengkung membentuk kurva atau arcade dengan ketinggian sekitar 5-8 meter. Lengkungan ini dikenal dengan sebutan pilar lengkungan Persia yang juga populer di Turki, Timur Tengah, sdan India. Pintu bergaya Spanyol juga menjadi bagian yang menambah daya tarik Istana Maimun. Selain itu, kita juga bisa melihat bahwa ada perpaduan budaya Belanda yang terlihat dari perabotan istana seperti kursi, meja, dan lemari Bahkan ketika memasuki bangunan induk, kita juga akan melihat prasasti berbahasa Belanda dan Melayu yang terdapat pada sekeping marmer di kedua tiang ujung tangga naik. Tulisan tersebut berisi : “De Eerste Steen Van Dit Gebouw, Is Gelegd Op Den 26 Augustus 1888 Door Z.H.Den Sultan Van Deli, Mahmoed El Rasjid Perkasa Alamsja.” Tulisan tersebut membuktikan, peletakan batu pertama pembangunan Istana Maimun dilakukan pada tanggal 26 Agustus 1888 oleh Sultan Mahmud Al-Rasyid Perkasa Alam.

Namun di balik kemegahan itu, ternyata Istana Maimun menyimpan sebuah legenda yang menyertai terbentuknya istana itu. Pernahkah kalian mendengar tentang kisah Meriam Puntung?

Meriam Puntung merupakan salah satu peninggalan unik dari Kesultanan Deli yang sampai sekarang masih menjadi teka-teki sebab adanya benda tersebut di sana. Benda bersejarah ini memiliki kisah yang sampai sekarang masih dipercaya masyarakat dan belum diketahui. Menurut cerita dari mulut ke mulut, Meriam Puntung juga erat kaitannya dengan Kerajaan Aceh (sebelum Kerajaan Aceh mendirikan Kesultanan baru, yaitu Kesultanan Deli). Suatu hari seorang raja dari Kerajaan Aceh mendengar kabar bahwa ada seorang putri yang cantik di Kerajaan Aru, yakni Putri Hijau. Ia memiliki dua saudara laki-laki.

Karena kecantikannya yang tersebar kemana-mana, Raja Aceh pun berniat untuk mempersunting Putri Hijau tersebut. Namun, ketika Raja Aceh datang melamarnya, sang putri pun menolak. Hal ini membuat Raja Aceh marah, tidak terima karena ia merasa harga dirinya terinjak-injak. Maka terjadilah perang. Ternyata, dalam perang tersebut kerajaan Aru kalah. Hal ini membuat adik dari Putri Hijau yang mempunyai kesaktian marah, lalu ia menjelma menjadi meriam. Ia menembak ke segala arah sampai akhirnya ia (meriam jelmaan adik Putri Hijau) meletus dan terbagi dua. Bagian depannya terpental ke Tanah Karo, sedangkan bagian sisanya terlontar ke Labuhan Deli, dan kini berada di halaman Istana Maimun Medan. Setelah meriam tersebut pecah, maka adik Putri Hijau yang lain berubah menjadi seekor naga, lalu membawa Putri Hijau pergi entah ke mana.

Begitulah sedikit mitos yang menceritakan Kesultanan Deli , Istana Maimunnya dan meriam puntungnya. Namun banyak mitos-mitos lain tentang Meriam Puntung tersebut. Keluar dari mitos itu, Saat ini Meriam Puntung dijaga dengan baik di Istana Maimun

Bagian ujung meriam yang ditemukan di Seberaya wilayah Kabupaten Tanah Karo, dipindahkan ke Sukanalu, karena masyarakat melihat peninggalan bersejarah tersebut dalam keadaan tidak terurus. Sampai saat ini, sebagian masyarakat lokal masih mempercayai kebenaran legenda ini dan menganggap bahwa meriam Puntung sungguh mendatangkan berkah. Inilah sebab aneka bunga ditabur di atas meriam yang tersimpan di ruangan berukuran sekitar 4×6 meter.

Namun mitos hanyalah mitos. Ada sebuah buku yang berkata lain. Seorang penulis Portugis bernama Pinto memiliki pendapat yang lebih condong bahwa Hikayat Putri Hijau itu terjadi di kala penyerangan Bala Tentara Aceh ke Deli Tua di Tahun 1619, di dalam pertempuran dahsyat itulah Meriam Puntung (atau dikenal namanya Indera Sakti) merupakan satu-satunya harapan terakhir dari pihak Aru atau Deli Tua, yang baru dapat ditaklukan pihak Aceh setelah Meriam ini pecah karena terus menerus dipakai menembaki musuhnya.

Benteng baru dapat direbut dengan memakai tipu muslihat perang yaitu dengan disogoknya Bala Tentara Aru Deli Tua dengan menyebarkan uang-uang kepada bala tentara yang bertahan, kemudian Sultan Aru tewas, tetapi kemudian Putra Mahkota ibarat Naga Mengamuk dapat membebaskan Adiknya yaitu Putri Hijau dari kehinaan tawanan dan sama-sama menceburkan diri ke laut lalu entah kemana. Inti dari mitos versi terakhir ini mengatakan bahwa Meriam Puntung merupakan nama lain dari adik Putri Hijau, bukan adiknya itu yang berubah menjadi meriam. Dan naga yang dikatakan pada mitos versi pertama hanyalah kiasan saja, karena saat itu adik Putri Mahkota memang sangat marah bagai naga yang sedang mengamuk, tapi bukan berarti ia benar-benar berubah menjadi naga dan membawa Putri Hijau pergi.

Selain Meriam Puntung, keunikan lain dari Istana Maimun adalah tentang adanya desas-desus di masyarakat mengenai kebenaran terowongan yang diyakini berada di bawah tanah, yang sampai sekarang masih membuat orang penasaran.

Pada tahun 1985, seorang ahli waris istana bernama Mayul pernah mencoba masuk ke dalam terowongan guna melihat bagaimana isinya untuk menguji kebenaran cerita yang ada. Namun sayang, ia tidak berhasil masuk jauh kedalam karena mengalami kesulitan. Mayul mengatakan bahwa di dalam terowongan tersebut banyak terdapat sejumlah ruangan, termasuk penjara bawah tanah. Namun ia tidak mengetahui isi terowongan tersebut sampai ke kedalaman yang paling jauh, karena oksigen sulit ditemukan di sana.

Ia juga memprediksi bahwa terowongan itu menghubungkan kawasan Kota Matsum dan Mesjid Raya Al-Mashun serta Taman Sri Deli. Karena dulu di Jalan Puri juga terdapat istana, dan terowongan itu sering dilalui para tentara Melayu zaman dahulu.

Namun sayang, hingga saat ini masyarakat belum diizinkan untuk memasuki bahkan melihat terowongan tersebut. Hal ini disebabkan karena untuk mencapai terowongan, kita harus melewati ruangan-ruangan yang sekarang masih di huni oleh keluarga Sultan, hanya orang-orang tertentu yang diizinkan masuk ke sana.

Jadi, demikianlah mitos dan fakta tentang Istana Maimun atau Istana Putri Hijau yang saat ini dijadikan sebagai ikon kota Medan. Ternyata Istana ini merupakan salah satu bukti eksistensi Kesulatanan Deli dahulu hingga sekarang, yang memiliki banyak kisah yang belum diketahui banyak orang.

 

sumber : pemkomedan.go.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun