Mohon tunggu...
husnul khatimah
husnul khatimah Mohon Tunggu... Administrasi - Sedang belajar menulis

Sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Lara dan Lelah Terbayar

18 Januari 2021   08:40 Diperbarui: 18 Januari 2021   09:05 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kisah ini terbit dalam buku yang berjudul "Paling Berarti Puisi dan Cerpen Terbaik", sebuah event menulis gratis yang diselenggarakan oleh Nubarin (Nulis Buku Bareng), terimakasih atas apresiasi dan kesempatannya.  Karya ini sebagai bentuk sharing pada adik-adik pelajar dan mahasiswa agar senantiasa bersemangat dalam berjuang meraih asa dan cita.

Di sinilah aku berdiri saat ini di pelataran Menara Phinisi yang sedikit lagi finishing, gedung kebanggan kampus pencetak guru di kota ini. Seusai wisuda kutelusuri kembali deretan ruangan di fakultas, betapa banyak peluh dan air mata mengiringi perjuangan meraih mimpi di almamater tercinta ini. Berbelok dari gedung fakultas kulangkahkan kaki menuju Maskam singkatan dari Masjid Kampus, tempat mengadu ketika keletihan mendera para penuntut ilmu, namun kali ini berbeda daku kan mengadu rasa syukurku atas karuniaNya hari ini padaku.

Kutatap sekeliling bangunan suci yang pernah menjadi basecamp kami selama menempuh studi, yah teman angkatanku menyebutnya begitu, karena di situlah kami diskusi dan kerjasama mengerjakan tugas dari dosen atau menunggu pergantian waktu mata kuliah bahkan terkadang ada romansa ala mahasiswa di dalamnya.

Romansa di sini bukan dalam artian pacaran seperti yang banyak orang pahami, melainkan ada lirikan malu-malu meski tak pernah sampai menjalin hubungan karena padatnya beban kuliah dan amanah organisasi. Maka tak jarang mahasiswa dari prodi kami banyak yang menjomblo atau lebih tepatnya bergelar HQJ (High Quality Jomblo) sebuah istilah yang trend di masa itu. Tanpa kusadari aku senyum-senyum sendiri mengingat masa itu.

Bergegas menuju kosanku yang berjarak 50 meter dari kampus, tak terasa ada lelehan air mata yang membasahi pipi saat menatap bangunan yang kini mulai terlihat kusam, ada begitu banyak suka dan duka mengiringi di baliknya. Tempat melepas penat setelah seharian berjibaku dengan beban akademik.

***

"Maaf nak sepertinya kamu tidak bisa melanjutkan kuliah," sepenggal ucapan lirih Mama sukses membuat air mataku mencelos keluar, aku hanya diam tak mengucapkan sepatah kata pun. Aku paham kondisi keuangan keluarga sedang tidak baik, Papa yang lemah karena penyakit menahun telah lama menggrogotinya, dua adikku yang masih di bangku sekolah membuatku harus mengubur mimpiku dalam-dalam melanjutkan kuliah di kota yang berjarak ratusan kilo meter dari tempat tinggalku saat ini.

Dengan tekad kuat kupinta restu dari orang tua tuk pergi meraih asaku sejak kecil dahulu," Ma, Pa izinkan Hamnah." Luruh kubersimpuh di hadapan keduanya, kutahan air mata ini agar tak sampai terlihat oleh mereka.

Dengan bekal uang tabungan yang kusimpan bertahun-tahun sampai menahan lapar seharian di sekolah, kunaiki bus yang sebentar lagi berangkat membawaku menuju kota tempatku melabuhkan impian.

***

"Hey masukkan cepat cucianmu! Gak baik tau masih naroh jemuran di luar magrib begini!," suara teriakan anak perempuan pemilik rumah tempatku menumpang mengagetkanku ketika baru tiba di pintu halaman rumahnya, yah aku baru pulang dari kampus pukul 18.00 WITA ditambah perjalanan yang macet, dua kali ganti angkot dan berjalan lagi ke dalam komplek sejauh 1 km. Teriakan seperti ini sudah makan sehari-hari sejak aku menumpang di rumah keluarga.

"Jangan terlalu boros pakai air, kamu tau tidak bayaran air dan listrik saya jadi naik sejak ada kamu di sini, jangan samakan di kampung yang apa-apa serba murah," sahut ayah gadis itu saat aku keluar dari kamar mandi sehabis membersihkan diri sepulang kuliah. "Kamu juga harus bantu-bantu namanya menumpang harus begitu, jangan samakan di kampung yang kamu bisa raih prestasi karena gak ngapa-ngapain," serunya lagi, aku tetap diam.

"Makan apa adanya jangan samakan di kampung banyak pilihan makanan," lanjutnya lagi yang sukses membuat nafsu makanku hilang seketika, padahal aku bukan anak yang pilih-pilih makanan, makanan apapun yang dihidangkan pasti kuhabiskan dengan lahap. Meski kutahan air mataku akhirnya keluar juga, namun buru-buru kuhapus dan kukuatkan hatiku.

Kupahami kondisi keluarga beliau sebagai satu-satunya pencari nafkah dengan jumlah anak yang banyak dan juga sedang menempuh kuliah semakin berat dengan kehadiranku, akhirnya aku pindah ke keluarga lain yang perlakuan mereka sedikit lebih baik, namun yang namanya menumpang tentu saja tidak sama dengan tinggal bersama keluarga sendiri. Di keluarga baru aku bangun lebih awal untuk bebenah sebelum berangkat kuliah dan tidur lebih akhir karena harus merapikan rumah lagi dan mengerjakan tugas kuliah yang tidak kalah berat dan banyaknya.

Semua itu kutahan demi mimpi yang ingin kuraih, tak sekalipun semua masalah kuadukan pada orang tuaku, tak ingin kutambah beban mereka dengan masalahku, karena ini keinginanku sendiri. Pada akhirnya kuputuskan untuk belajar hidup mandiri dengan ngekos tak jauh dari kampus. Kehidupan di kos sedikit lebih baik, namun bukan hidup namanya jika tak ada aral melintang, seperti penggalan sebuah istilah Life is Never Plat.

Dengan sedikit uang beasiswa yang kuperoleh saat menempuh studi, kugunakan untuk membayar kosan. Ibarat kata pepatah keluar dari mulut harimau masuk ke kanadang macan, begitulah kondisiku saat itu, aku dipertemukan lagi dengan ibu kos yang galak.

"Hamnah, kenapa kamu pakai air itu?" teriaknya garang dari luar kamar mandi, aku baru sadar jika airnya menjadi jernih padahal selama ini kami anak kosan mandi dengan air kuning lagi bau. Aku baru tau ternyata uang air PDAM yang kami bayar selama ini yang menikmati ibu kos sekeluarga.

Aku juga harus tidur di lantai sedang teman sekamarku tidur di ranjang hanya beralaskan kain selimut tipis, untung saja lantainya terbuat dari papan kayu sehingga cukup aman meski tanpa kasur. Makan pun hanya sekali sehari cukup di malam hari dengan menu yang itu-itu saja nasi telor rebus, telur yang dimasak bersama nasi atau jika sudah di akhir bulan cukup puas dengan nasi plus kecap bahkan terkadang hanya nasi berkuahkan air. 

Beruntung aku punya sahabat yang baik yang terkadang mengajakku ke rumahnya perbaikan gizi, istilah populer di kalangan mahasiswa masa itu, ibunya punya usaha catering yang sering mengundangku ke rumahnya untuk menginap. Sahabat tak kan kulupakan jasamu dan orang tuamu semoga Allah membalas kebaikan kalian.

Tak terasa waktu bergulir hingga aku di penghujung masa studi alias mahasiswa tingkat akhir yang harus menanggung konsekuensi menyusun skripsi ditambah lagi dibimbing oleh dosen yang terkenal killer seantero prodi. "Blash...Kamu memang tidak mau dibimbing ya," teriaknya sambil melempar proposal skripsiku ke arah pintu, saat kujelaskan bahwa aku mengganti redaksi pembahasannya juga karena saran beliau.

Kupungut lembaran kertas yang berserakan di lantai karena masih dijepit dengan klip penjepit kertas, kemudian bergegas keluar sambil menghapus kasar air mataku, tak kupedulikan beberapa pasang mata menatapku syok yang juga menunggu untuk bimbingan dengan bapak tersebut. 

Jatuh luruh kubersimpuh di lantai kamar kosku mengadukan pedihnya hatiku, kurang rajin apa aku konsul dengan beliau, kurang sabar apa aku menunggu beliau yang suka mengulur waktu bahkan membatalkan waktu janjian bimbingan seenaknya. Untung saja hari itu kosanku sedang sepi karena semua sedang di kampus tak kupedulikan suaraku yang meraung kencang meluapkan seluruh sesak di dada.

***

Kini semua lara dan lelah itu terbayar, justru aku berterimakasih pada orang-orang yang telah membantuku untuk kuat seperti sekarang ini, berkat sikap keras kalian padaku kini aku bisa menantang ujian dengan tegar dan berhasil meraih mimpiku. Semoga Allah mengampuni kalian dan meninggikan derajat kalian di sisi-Nya," doaku dalam hati sebelum naik ke pesawat menuju ke tempatku selanjutnya mengadu nasib, tawaran bekerja sebuah instansi di tanah Pasundan.

Sukabumi, 03 Desember 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun